Perahu Retak (1996), Temukan di Indonesia Hari Ini

Workshop Perahu Retak
Tiga kelompok kemudian dipersilahkan mempresentasikan hasil diskusi mereka. Semua jawban mewakili angle yang berbeda dan sama menariknya. Tentu semua juga punya kelebihan dan kekurangan masing-masing dan itulah kenapa kita perlu Sinau Bareng. Sebab pada Sinau Bareng kita saling mengisi, saling melengkapi dan menjangkepi sudut-sudut pandang menjadi lingkar pandang. Kita bersama berjuang menuju keutuhan-keutuhan.
Ada yang menarik ketika kelompok Kopi Hitam sedang presentasi, Mbah Nun berinisiatif membatalkan pertanyaan nomor lima diganti dengan pertanyaan mengenai kalimat “aku heran” dalam lirik tersebut. Pertanyaannya adalah “apa saja yang membuat heran saat ini?” Juru bicara kelompok Kopi Hitam ternyata seorang pemuda yang masih berusia belia yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Sang pemuda menyatakan keheranannya dengan kurikulum yang sedang berlangsung saat ini, bagaimana berlangsungnya pola pendidikan yang dialaminya dan pandangannya mengenai “kurikulum masa depan”.

Mbah Nun sangat mengapresiasi dan menyatakan bahwa dengan adanya pemuda-pemuda yang masih belia sudah memiliki daya nalar dan kritisisme, kita bisa optimis menyongsong masa depan bangsa ini. Selalu ada celah untuk kita menemukan optimisme dan ini selalu kita temukan di berbagai majelis Maiyahan.
Sementara di luaran sana, berbagai kaum sedang sibuk mentransmisikan kecemasan, menularkan kekerdilan. Berbagai pihak sedang berusaha meyakin-yakinkan orang bahwa golongannya harus berkuasa, ideologinya harus bertahan dan kalau tidak maka lawan ideologinya akan menguasai, mengeksploitasi dan sebagainya. Tentu ada yang perlu kita cemaskan secara rasional, misal Mbah Nun kemukakan bahwa yang mengkhawatirkan memang adalah harta kekayaan tanah ini. Tapi itu juga tetap dengan penenangan bahwa bukan itu inti kenapa kita perlu lebih kritis.

Kelompok-kelompok lain juga tak kalah menarik. Bila ditarik benang merahnya, secara garis besar rata-rata berpendapat bahwa yang perahu adalah gambaran bangsa ini yang sedang mengarungi gelombang zaman. Kata perahu menurut kelompok Jimpitan, dipakai karena walau bahtera dan kapal lebih besar tapi prinsip dasarnya adalah dari perahu juga. Sementara menurut kelompok Indonesia Damai yang dijubiri oleh Mas Prabowo yang bukan capres, perahu digunakan karena dia lebih kultural seperti perahu bercadik dalam prasasti di candi Borobudur. Sekali lagi, semua jawaban sama menarik dan sama saling mengisi. Mana yang benar? Mari kita cari bersama.
Ada satu jubir dari kelompok Indonesia Damai yang ternyata seorang pemuda dari Ende, Flores. Dikatakan olehnya bahwa lagu Perahu Retak ini dulu sangat populer di kota asalnya, sehingga malam ini terasa sangat nostalgik buatnya apalagi bisa bertemu dengan Mbah Nun yang merupakan pencipta lirik dalam lagu tersebut.

Mbah Nun khusus meminta KiaiKanjeng membawakan lagu Gundul Pacul karena lagu ini adalah harta sejarah yang mengingatkan kita semua bahwa pada situasi demokrasi, kedaulatan ada pada rakyat dan kedaulatan itu dititipkan pada pihak tertentu yang bernama pemerintah. Pihak yang dititpi mesti menyunggi amanah itu di atas kepalanya, bukan hanya di bahu, pundak atau punggung, jangan sampai amanah itu “ngglimpang”.
Nomor Gundul Pacul pun melantun. Setelahnya Pak Tanto Mendut dipersilahkan membabarkan keliaran-keliaran pikirannya, beliau juga bersama Pak Dalang Sis yang pada saatnya di penghujung malam dipersilahkan membabarkan beberapa hal. Pak Tanto Mendut menyoroti bahwa pada dasarnya, ketika orang-orang di media sosial berbicara mengenai kebenaran yang mereka cari sebenarnya adalah persetujuan dan penghormatan.
