Memelihara Kekerdilan
“Tidaklah demikian, tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan Al-Qur`an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan”. [1] (Al-Maidah: 64)
Mestinya yang bertambah-tambah di dunia adalah kedurhakaan dan kekafiran kebanyakan mereka yang di luar Islam. Tetapi prakteknya tak kalah pula hal itu terjadi di kalangan Kaum Muslimin sendiri, dalam berbagai konteks.
Ummat seakan-akan dibiarkan dan dipelihara minimalnya pengetahuan Islamnya, sehingga kebutuhan mereka terhadap ceramah Agama, pencerahan, tausiyah atau apapun namanya, menjadi pasar komoditas sangat tinggi.
Kemudian mental Islam puber itu mempelesetkan pelakunya pada klaim-klaim hukum atau fiqih. Kebanyakan mereka lalai bahwa hak mutlak pewajiban, penghalalan dan pengafiran adalah berada di tangan Allah belaka – sementara mereka dan semua yang selain Allah, hanya menyetujui atau turut berpendapat bahwa ini wajib, itu halal dan yang sana haram.
Bukan mereka subjek utama hukum halal haram, melainkan Allah. Bahkan para Rasul dan Nabi pun tidak memiliki saham absolut atas kehidupan alam semesta dan manusia, yang membuat mereka logis untuk punya otoritas mewajibkan atau mengharamkan sesuatu atas manusia. Semua Kaum Muslimin mengalami betapa arus budaya dan perilaku Takfiry, kebiasaan mengafirkan sesamanya, itu telah menciptakan retakan-retakan yang luar biasa destruktif dalam kehidupan Kaum Muslimin yang seharusnya merupakan “ummat yang satu”.