Allah dan Muhammad
Sapron bercerita: “Ada Kiai yang menafsirkan bahwa Alif adalah posisi orang shalat ketika berdiri. Lam ketika ruku’. Dan Mim tatkala bersujud”
“Tidak salah”, kata Cak Sot, “kalau itu adalah jalan taqarrub ilallah. Tapi ia juga belum tentu benar kalau tema kita adalah denotasi sesuatu hal”
“Jadi salah atau benar?”, Sapron bertanya.
“Kesalahan denotasinya tidak membatalkan kebenaran taqarrub-nya”, jawab Cak Sot, “toh itu merupakan bukti pengakuan bahwa ia patuh kepada parameter manusia Muttaqin, orang-orang yang bertaqwa: “Kitab ini, tak ada keraguan padanya, merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa, yang percaya kepada yang gaib...” [1] (Al-Baqarah: 2-3).
Tiba-tiba terdengar Tarmihim tertawa. “Sekarang saya lebih mengerti tentang yang Cak Sot kemukakan bahwa kejelasan sesuatu dari Tuhan tidak bisa serta merta kita ukur iya tidaknya atau jelas tidaknya dengan parameter budaya kita. Selama ini kita semua kalau mendengar kata gaib asosiasi kita selalu pada dunia Jin, hantu, keremangan dan kegelapan”
“Padahal jauh lebih banyak yang gaib dibanding yang seolah-olah nyata dalam kehidupan manusia”, Brakodin menambahkan, “cinta itu gaib. Hati setiap orang sebenarnya gaib bagi orang lainnya. Bahkan hati kita sendiri sering gaib bagi kita sendiri. Sekurang-kurangnya sering terdapat ruang-ruang gaib di dalam hati dan pikiran kita sebagai manusia…”
Tiba-tiba Sapron memotong. “Kalau bagi saya, Alif Lam Mim itu jelas maksudnya adalah Allah dan Muhammad. Terus siapa lagi kalau bukan Allah dan Muhammad. Mim-nya jelas Muhammad. Allah-nya kan tidak cukup diinisialkan dengan Alif saja atau Lam saja. Jadi harus Alif Lam dan Mim. Saya tidak mau makna yang lain lagi. Pokoknya hidup ini ya Allah dan Muhammad. Yang selain beliau berdua hanya sekunder dan tersier”.