CakNun.com
Daur 164

Wirid Makalah

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit

Ketika ditanya oleh Sapron kenapa seperti tak henti-hentinya mengungkapkan hal tentang tadabbur, Markesot menjawab: “Wiridan”

“Kok wiridan?”, tanya Sapron, “Wiridan kan baca doa diulang-ulang, baca asma Allah atau entah apa lainnya dalam bahasa Arab”

“Itu juga wiridan, ini juga wiridan”

“Wiridan kan biasanya khusushan sesudah shalat atau bersila tengah malam, memutar biji-biji tasbih, umik-umik baca ini 1000 kali, baca itu 3333 kali dan yang semacam itu”

“Itu juga wiridan, ini juga wiridan”

“Wiridan kok seperti presentasi makalah, saat dan tempatnya juga tidak menentu, bahkan sambil methingkrang angkat kaki, bahkan diselai minum kopi”

“Ini juga wiridan, itu juga wiridan. Garis lurus dari jiwa kita ke Allah, syukur dikabulkan muncul garis lurus dari Allah ke jiwa kita. Seperti garis sinar laser, bukan cahaya yang menyebar. Muatan garis lurusnya wirid, posisinya dzikir, membangun tegangan ingat kebersamaan dengan Allah, arusnya bisa dimuati pengharapan, keluhan, permohonan, pernyataan cinta dan kepasrahan total”

“Wirid dan dzikir katanya spiritual, bukan intelektual”

“Bangunan dan mekanisme wirid ditata secara intelektual. Apalagi dzikir. Mengingat. Memadatkan ingatan. Itu peristiwa di kepala. Menyatu nuansanya dimensinya dengan dada hati qalbu fuad shudur. Kalau mantapnya mengingat sesuatu 4444 kali ke hadapan Allah, itu juga pekerjaan sel-sel otak, hati tak bisa menghitung, sementara kepala tak paham cinta”

“Wah, ndak cocok dengan yang dipahami umum, terutama para pengikut Thariqat

“Kita perlu angkat topi kepada para pengikut Thariqat. Mereka hamba yang memperjuangkan kemuliaan dan cinta di hadapan Allah. Kelemahan mereka biasanya ada satu: menyangka hanya mereka yang berthariqat. Mengira wiridan hanya sebagaimana yang mereka tradisikan. Sehingga kurang waspada dan kurang mensyukuri sesungguhnya ada cara-cara tanpa batas untuk mencintai Allah. Tidak terbatas kata-kata yang diucapkan, tidak terbatas cara mengucapkan, tidak terbatas bahasa tubuh dan kulturalnya. Kebanyakan mereka hanya mengenal satu jenis aplikasi, dan mereka berpikir bahwa wirid dan dzikir sama dan sebangun dengan aplikasi yang mereka ketahui dan lakukan”

“Jadi Sampeyan sebenarnya juga ahli-wirid, Cak Sot?”

“Ahli wirid bukan pakar wirid. Ahli wirid maksudnya setiap jiwa manusia adalah rumah rohani, di mana masing-masing hamba yang dititipi jiwa oleh Allah itu menjadi tuan rumah. Kalau di dalam jiwanya berlangsung wirid dan dzikir, maka dia adalah tuan rumah wirid dan dzikir”

“Wah, jadi kata ‘ahli’ itu kacau ya pemaknaannya?”

“Rata-rata kata dikacau oleh pemaknaannya”

“Wirid Makalah itu mungkin-mungkin saja ya?”

“Lho apa yang tidak berdzikir: nafasmu, detak jantungmu, mengalirnya darahmu, berputarnya sel-sel terkecilmu. Tuhan memberitahukan bahwa semua yang di langit dan bumi bertasbih kepada-Nya, shalat kepada-Nya, berdzikir dan wiridan kepada-Nya. Tidak hanya manusia dan makhluk hidup lainnya. Tapi juga gunung, angin, daun, embun, asap, ikan-ikan dan burung-burung. Bahkan burung disebut langsung oleh Tuhan sebagai contoh makhluk yang bertasbih dan sholat”

“Lucu ya kambing berdzikir, anjing wiridan, angin semilir bertasbih, gunung menegakkan shalat…”

“Allah menginformasikan bahwa mereka semua itu mengetahui caranya masing-masing untuk bertasbih dan melakukan shalat. Jadi kasihan kalau para pelaku Thariqat dan manusia yang rajin beribadah menyangka hanya mereka yang shalat dan tasbih kepada Allah. Lebih kasihan lagi kalau karena itu mereka lantas merendahkan orang-orang yang tidak melakukan seperti yang mereka lakukan. Mereka jadi sombong karena merasa lebih dekat kepada Tuhan dibanding siapapun saja yang bukan anggota Thariqat mereka”

“Lebih lucu lagi kalau orang mendengar kata tasbih, yang muncul di benaknya adalah bulatan-bulatan benda kecil yang ditali, diikat, disatukan dalam suatu rangkaian bulatan”

“Tuhan memberi ujian kepada manusia, Tuhan mengisi jiwa mereka dengan kesukaan kepada benda. Untuk diuji apakah mereka berhenti pada benda itu, tasbih butir-butir itu, atau menemukan bahwa hal itu hanya alat untuk rohani tasbih yang sejati kepada-Nya”

“Jadi orang yang ndremimil mulutnya mengucapkan nama-nama Tuhan, sambil duduk di bawah pohon, dengan wajah melamun, ekspresinya tidak bersambung dengan lingkungannya – itu tidak pasti orang gila, atau orang frustrasi, orang ngengleng, tapi jangan-jangan dia sedang wiridan ya?”

“Lho jangankan yang ndremimil dan duduk. Kalau orang membiasakan mengisi jiwanya dengan ingatan kepada Tuhan, ketika tertidur pun aliran darahnya, detak jantung dan keluar masuk nafasnya wiridan”

“Kalau tercampur-campur dengan ingatan kepada yang selain Allah?”

“Pasti tercampur. Memori di kepala manusia yang menggerakkan saraf-sarafnya dan mengaliri darahnya, pasti bermuatan hal-hal yang ia serap dan rekam dari peristiwa-peristiwa di dunia. Dan itu mereka bawa masuk ke ruang wirid mereka, untuk dilebur menyatu ke dalam ingatan kepada Allah”

“O, jadi konsentrasi khusyuk kepada Allah tidak harus berarti membuang segala sesuatu yang selain Allah”

“Lho kok dibuang. Dibawa, dipanggul, dimuat oleh otak, hati dan jiwa, kemudian ditumpahkan ke ruang dzikrullah, menyatu dengan Allah dan musnah. Apa saja musnah pada Allah. Bukannya dunia mengandung Allah, tapi Allah mengandung dunia. Jangan pernah bilang di dunia atau dalam kehidupan ada Tuhan. Terbalik. Di dalam Tuhan ada dunia dan kehidupan”

“Memang sukar ya mengatur konstruksi kesadaran. Mentang-mentang kita percaya adanya Tuhan, lantas menganggap Tuhan adalah bagian dari kita. Kemudian Tuhan menjadi karyawan yang kita suruh siap memenuhi keperluan-keperluan kita. Tuhan kita angkat menjadi Kepala Dinas Pengabulan Doa”

“Tidak perlu marah pada kenyataan itu. Tuhan memang menciptakan manusia dengan berbagai kelengkapannya termasuk kelemahan, minimalnya ilmu, sedikitnya pengetahuan, lalainya kesadaran dan konyolnya hitungan”

“Tapi tetap saja menggelikan kalau melihat Sampeyan ndridhil omong seperti sedang mempresentasikan makalah ilmiah, tapi Sampeyan sebut itu wiridan”

“Lho ndak usah perduli bentuknya. Seaneh apapun munculannya, bentuknya, formulanya, bunyinya, ekspresi tubuhnya, asalkan yang berlangsung di dalam jiwa manusia adalah ketekunan untuk mencintai-Nya, kerajinan untuk menyapa-Nya, disiplin untuk setia kepada-Nya, itu wiridan namanya”

“Jadi wiridan tidak harus wudlu dulu, shalat, bersila, pegang tasbih, terus umik-umik bibirnya, bergerak-gerak tubuhnya ke kiri ke kanan ke depan ke belakang….”

“Itu juga baik. Karena manusia memerlukan caranya masing-masing untuk mendorong jiwa maju lebih mendekati Tuhan”

“Kalau ada yang caranya butuh bebauan atau wewangian untuk lebih mudah membangun suasana kejiwaanya, sehingga dia membakar kemenyan? Katanya itu syirik”

“Kemenyan itu salah satu jenis tanaman ciptaan Tuhan. Kemenyan tidak ada kaitan dzatiyah dengan syirik akau kufur. Kasus kafir dan musyrik terletak di dalam jiwa manusia. Sudah pasti kemenyan bisa menjadi sebab yang dilewati atau dipakai manusia untuk syirik kepada Tuhan”

“Memang banyak yang begitu tho?”

“Tidak hanya kemenyan, juga mobil, uang, jabatan, harta benda, mall, sukses, reputasi, eksistensi diri dan apa saja bisa menyebabkan manusia menomersatukannya dengan menomerduakan Tuhan. Bahkan shalat, kesalehan, ketekunan ibadah, pun bisa membuat manusia menyembahnya, sehingga bukan lagi Tuhan yang dinomersatukannya. Tetapi letaknya syirik bukan di harta benda atau kemenyan, melainkan di dalam dismanajemen internal jiwa manusia”

“Kalau bakar kemenyan untuk merangsang datangnya Setan atau Jin?”

“Silakan Setan Jin Peri Perayangan Druhun Dimemonon Lengeng datang ke kita. Gunanya bisa untuk melaporkan kepada Tuhan bahwa mereka tidak mampu mengganggu kekhusyukan ibadah kita kepada-Nya. Mereka itu makhluk ciptaan Tuhan, kita bertoleransi dan mempersilakan mau apa saja, tapi jangan pernah menyangka bahwa mereka sanggup mempengaruhi iman kita kepada-Nya”

Lainnya

Kemewahan Sebagai Barang Mainan

Lebih 40 tahun Sapron dijejali oleh ceramah-ceramah Markesot. Isi kepala, dada dan perut Sapron adalah ceramah Markesot.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version