Cakrawala ‘Alaminal Fatihah
Mungkin mayoritas manusia di muka bumi tidak mengenal Al-Fatihah, yang “sakaguru”nya atau tiang utamanya adalah “Maliki yaumiddin”, sehingga manusia memposisikan diri untuk “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”.
Mungkin mayoritas manusia di muka bumi tidak mengenal Al-Fatihah, yang “sakaguru”nya atau tiang utamanya adalah “Maliki yaumiddin”, sehingga manusia memposisikan diri untuk “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”.
Gagasan pluralitas dan pluralisme adalah ciptaan Allah, yang diberlakukan antar-makhluk-makhluk maupun intra-makhluk. Benda, batu, tumbuh-tumbuhan, hewan, Jin, manusia sangat berbeda satu sama lain, serta bahkan berbeda pada masing-masing kemakhlukannya.
Betapa tidak mudahnya menjalani nilai dalam hidup ini. Maka sikap ruku’ dan sujud adalah pembelajaran dan pelatihan sangat utama untuk menyelamatkan kehidupan.
Maiyah setengah mati mengupayakan diri untuk setia universal, mencari koordinat hidup yang bukan “kita dan mereka”, tidak sibuk membeda-bedakan diri dengan lainnya.
Begitu kita memasuki gerbang “Bismillahirrahmanirrahim”, kita sadar bahwa sedang menapakkan kaki ke dalam ruang Maha, semesta yang tak terhingga. Yang pertama dan paling kita rasakan adalah kekerdilan kita sebagai manusia. Keterbatasan, kesempitan, kerendahan dan mungkin kehinaan kita sebagai manusia.
Bahkan mereka gembira dan merasa nikmat menghina dan merendahkan sesama manusia, karena merasa berada di pihak Tuhan, atau siapapun yang “mereka tuhankan”.
Apakah karena sifat Rahman Rahim maka Allah menghalangi Ibnu Muljam menghunjamkan pedangnya ke punggung Sayidina Ali bin Abi Thalib usai shalat Subuh?
Al-Fatihah menjadi kornea mata kita. Al-Fatihah menjadi jantung dan aliran darah kita. Al-Fatihah menjadi mata pandangan kita.
Lebih afdhal kalau kita juga memilih menikmati luasan dari makna sanad. Misalnya Rasulullah Muhammad Saw. adalah sepenuhnya sanad kehidupan kita untuk mencapai ridla dan keselamatan di hadapan Allah Swt.
Maka segala yang Allah limpahkan, umpamanya “hidayah”, juga infinity. Bangsa Jawa mengistilahkan “tan kinaya ngapa, tak kena kinira”. Tidak seperti apapun dan tidak bisa disentuh oleh perkiraan yang bagaimanapun.
Kita khusyu melakukan shalat malam, kemudian berdzikir dan memohon kepada Tuhan. Kalau Allah berkenan, kita memperoleh qabul tanpa terlebih dulu berurusan dengan verifikasi Imam Tirmidzi dan Abu Hurairah.
Tampaknya logis kalau tradisi sanad ilmu Islam tidak bersentuhan dengan “’allamal insana ma lam ya’lam”. Allah mengajari manusia segala sesuatu yang ia tidak atau belum tahu.
Dan ia menjadi Iblis atau di-Iblis-kan oleh Allah karena “rumangsa bisa”. Sok tahu. Tidak tanya-tanya dulu. Kontan saja menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam.
Membaca Al-Fatihah rasanya berbeda ketika keadaan hidup kita sedang nyaman dan lumayan bahagia, dibanding ketika kita sedang sumpeg, galau atau frustrasi karena problem yang tak henti-henti menimpa.
Kalau kita lapor ke teman kita bahwa sudah berbulan-bulan kita tidak sanggup membayar hutang, teman kita tidak bertanya “Menurut siapa?”. Ya menurut kita, lha wong kita yang berhutang.
Waspada, ada Allah lho. Jangan semberono, jaga perilaku. Awas Allah Maha Mengetahui setiap perbuatan kita dan Maha Mengerti semua hal. Kita wajib selalu mawas diri dalam kekuasaan Allah.
Oo apa berangkat dari ini saja ya. “Perjumpaan Taqwa dengan Al-Fatihah”. Tetapi segera saya dicegat oleh diri saya sendiri yang menohokkan pertanyaan: “Emangnya taqwa itu apa?”
Kita tenang-tenang saja. Seakan-akan pasti aman sampai Kiamat. Tidak mungkin terjadi hal-hal yang di luar perkiraan kita. Sampai suatu hari “mak bedunduk”. “Innallaha Khobirun bima ta’malun”.
Bagaimana mungkin Kanjeng Nabi mentranskripsikan wahyu yang bertaburan itu sehingga sekarang kita “tinggal enak dan terima jadi” berupa 30 juz, 114 surat, 6.236 ayat, dan 77.845 kata. Padahal tidak ada tape recording, gadget perekam atau alat-alat analog atau digital apapun.
Manusia tidak berada pada posisi takjub kepada Allah. Karena hampir seluruh bangunan ilmu, teknologi, politik dan manajemen peradaban manusia memang tidak mencerminkan apresiasinya terhadap “al’aziz al’hakim”, Allah yang Maha Agung dan Maha Bijaksana.
Kebanyakan manusia melihat sesuatu, misalnya buah mangga, tidak membuatnya takjub, sehingga juga tidak menerbitkan rasa syukur. Karena ia melihat dan memakannya dengan pikiran statis dan mono-awareness.
Manusia membayar total dengan “IyyaKa na’budu wa iyyaKa nasya’in”, kemudian “shirathal mustaqim” ditawarkan olehNya, namun manusia “membeli”nya dengan “Ihdina”.
Orang main “jathilan” atau “jaran kepang” kita tuduh musyrik karena kita anggap bekerjasama dengan Setan, padahal si penuduh ini sendiri yang membawa-bawa Setan ke urusan Jathilan.
Yang mereka lakukan adalah mentaati, mengagumi, mensubya-subya, menjunjung-junjung, membela mati-matian dan seterusnya dengan kadar dan taraf yang bisa disebut menuhankan. Bahasa umumnya mungkin memberhalakan.