CakNun.com
Tadabbur Hari ini (36)

Muhammad Sanad Kita Semua

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 2 menit

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ

(Al-Fatihah: 1-7)

Untuk hal tertentu, tidak bisa dan tidak mungkin kita meninggalkan sanad. Sanadlah yang menjadi alur bersambungnya kebenaran di dalam waktu. Buah tidak boleh tidak tahu, tidak peduli atau melupakan bunga. Demikian juga bunga terhadap ranting. Dan seterusnya hingga ranting, dahan, batang, akar, biji, tanah dan seluruh yang terlibat dan berjasa terhadap proses terjadinya buah.

Tidak ada kebenaran nilai tanpa diinformasikan secara jelas setiap simpul waktu sejarahnya. Sampai-sampai setiap manusia identitasnya tidak mungkin otentik dan mandiri. Karena kita tidak pernah ada tanpa Bapak Ibu kita. Mari berterima kasih kepada para leluhur Bangsa Jawa, yang mewariskan takdzim yang sangat panjang kepada nasab atau sanad kelahiran: Bapak Ibu tidak ada tanpa Kakek-Nenek, Buyut, Canggah, kemudian terus ke asal mula hingga 18 generasi: Wareng, Udheg-udheg, Gantung Siwur, Gropak Senthe, Debog Bosok, Galih Asem, Gropak Waton, Cendheng, Giyeng, Cumpleng, Ampleng, Menyaman, Menya-menya, Trah Tumerah.

Terkadang ada informasi nilai yang mengandung kebenaran yang layak kita akui dan terima. Tetapi informasi itu tidak disertai oleh runutan sanad yang bisa dipertanggungjawabkan — lantas kita meragukan tidak hanya asal-usulnya, tapi kita tolak dan buang juga muatan kebenarannya.

Akhirnya terjadi perpecahan dan pertengkaran antara kelompok yang membuangnya dengan kelompok lain yang mencoba rasional dan bijak mengakomodasi kandungan nilai kebenarannya, meskipun tetap dengan mencatat bahwa itu tidak kuat sanadnya. Pertengkaran itu bisa tidak terbatas pada konteks ikhtilafiyah, tapi juga menjadi khilafiyah, bahkan menjadi perpecahan yang disertai kebencian, termasuk kemungkinan menang kalah dalam perpolitikan.

Urusan sanad akhirnya bisa mengendap dan membengkak menjadi soal harga diri, keunggulan suatu golongan, kemenangan atau kekalahan kelompok. Firqah.

Kita memilih sikap bijaksana, “bilhikmah”, serta kerendah-hatian dalam kesadaran bahwa manusia ini siapapun dia selalu pasti dikepung oleh keterbatasan, kekhilafan, kesalahan, keterpelesetan. Maka kalau bisa itu semua tidak usah kita tingkatkan menjadi permusuhan, maksiat, dosa, yang menjadikan kita rawan menjadi “almaghdlubi ‘alaihim”, apalagi sampai “dhollin”.

Masalah sanad landasannya adalah kejernihan informasi, validitas asal-usul demi validitas sejarah. Itu pun berlaku untuk ranah tertentu, umpamanya Ilmu Hadits dan sejumlah hal lain.

Lebih afdhal kalau kita juga memilih menikmati luasan dari makna sanad. Misalnya Rasulullah Muhammad Saw. adalah sepenuhnya sanad kehidupan kita untuk mencapai ridla dan keselamatan di hadapan Allah Swt. Kanjeng Nabi adalah sandaran hidup kita dunia akhirat. Di dalamnya terkandung klausul syafaat atau hak prerogatif beliau untuk menyelamatkan kita.

Kita terbiasa melantunkan shalawat yang menyebut dengan kosakata yang eksplisit bahwa Muhammad adalah sanad kehidupan kita. Tentu bukan hubungan darah dengan beliau Muhammad bin Abdullah. Melainkan keterkaitan dan ketergantungan hidup kita dengan posisi beliau sebagai kekasih utama Allah Swt. Apalagi kalau didasarkan juga pada informasi tentang “Nur Muhammad”.

يَا إِمَامَ الرُّسْلِ يَاسَنَدِي أَنْتَ بَابُ اللَّهِ مُعْتَمَدِي

Wahai pemimpin para Rasul sanadku, engkaulah pintu Allah sandaran nasibku.”

Kita merayu dan memohon:

فَبِدُنْيَايَ وَآخِرَتِي يَا رَسُوْلَ اللَّهِ خُذْ بِيَدِي

Maka di dunia dan akhiratku, mohon peganglah tanganku.”

Dan masih panjang lagi ungkapan cinta dan harapan kita kepada beliau. Bahkan anak-anak muda yang kita sering meremehkannya dengan menganggap mereka sebagai anak-anak budaya pop yang budayanya dangkal, menunturkan syair dalam lagunya:

Siang dan malam yang berganti
Sedihku ini tak ada arti
Jika kaulah sandaran hati
Kaulah sandaran hati

Emha Ainun Nadjib
4 Juni 2023.

Lainnya

Mengabdi Tidak Sama dengan Menyembah

Mengabdi Tidak Sama
dengan Menyembah

Perlu ditegaskan dan diingat-ingat bahwa “na’budu” bisa berarti menyembah, bisa juga mengabdi. Kita harus mengerti persis penerapan proporsionalnya. Jangan sampai pengabdian kita kepada tokoh yang bukan Tuhan terseret sampai menjadi menyembah.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Bargaining Power kok ke Allah

Bargaining Power kok ke Allah

Kalau sadar tidak sanggup jadi Tuhan, ya jangan ngatur-ngatur atau maksa-maksa keputusan-Nya. “Ishbiru wa shabiru” saja. Bersabar saja terus dan selalu perteguh lagi dan lagi kesabaranmu.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version