CakNun.com

Kegelisahan Negeri Ini yang Tak Pernah Selesai

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 4 menit
Image by an adi from Pixabay

Yang paling mengkhawatirkan dari negeri ini bukan semata-mata korupsi, atau hantu militerisme yang konon katanya bisa bangkit lagi dari liang sejarah. Bukan pula partai-partai politik yang isinya orang-orang mabuk kekuasaan. Bukan. Itu semua hanya gejala permukaan, ibarat panas di kulit karena luka dalam di jantung.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana pola pikir kita sendiri telah menjadi musuh bangsa ini. Pikiran kita — ya, kita sendiri — diam-diam sudah dikunci dalam kerangkeng bernama orientalisme, disandera oleh cara pandang asing tentang siapa kita, harus jadi apa kita, dan bagaimana kita mesti membangun masa depan kita.

Kita tak sadar bahwa pikiran kita sendiri sudah lebih pro-Amerika daripada Amerika, lebih Stanford daripada Indonesia, lebih Barat daripada Barat. Maka dari itulah, ketika seorang presiden — sebut saja Pak SBY — tampil dengan rapi, kalem, penuh sopan santun dan wibawa, kita tidak sadar bahwa beliau bukan sekadar orang, tapi ide. Bukan hanya ide, tapi perpanjangan tangan dari sistem. Sebuah sistem yang tak lagi terasa asing karena telah terlalu lama tinggal dalam otak dan hati kita.

Pak SBY itu bukan semata-mata pribadi. Beliau adalah versi upgrade dari Pak Harto — bukan dengan gaya kasar dan tangan besi, tapi dengan senyum manis dan kebijakan yang katanya “progresif”. Tapi yang sebenarnya progresif bukanlah bangsa ini, melainkan kepentingan global yang ingin membentuk kita sesuai gambar mereka.

Dulu, setelah Bung Karno tumbang, kita diseret masuk ke era yang disebut “pembangunan”. Di sanalah segalanya dimulai: bagaimana simbol-simbol kemajuan, teknologi, dan modernitas dijadikan kendaraan baru untuk menjajah. Hari ini kita berada di titik yang nyaris sama: kolaborasi Stanford dan elite negeri ini berpotensi mengulang sejarah empat dekade silam. Bedanya, simbol yang dipakai kini lebih canggih: Green Growth, Digitalisasi, Teknologi Bersih, AI, dan 4.0. Tapi modusnya masih itu-itu juga: menundukkan bangsa ini lewat ide-ide yang tampak canggih tapi sesungguhnya kosong makna kebangsaan.

Lihat saja, katanya teknologi bersih ini masa depan dunia. Tapi pasar globalnya baru satu persen, dan itu pun butuh 20-40 tahun untuk bisa menembusnya. Itu bukan pembangunan, itu pengalihan kesadaran. Kita digiring untuk menyembah simbol, bukan substansi. Dikasih ilusi bahwa kita sedang maju, padahal kita cuma jadi kelinci percobaan.

Dan lucunya, para tokoh kita hari ini yang jadi pion-pion proyek besar itu bukan siapa-siapa. Pak SBY, meski kini menjabat direktur aliansi hijau dunia, secara politis sudah out of play. Putranya, yang dielu-elukan, juga tak lebih dari vote-getter. Tapi jangan salah: dalam sistem seperti ini, kekuatan tidak selalu tampil dalam bentuk kekuasaan. Yang lebih penting adalah policy impact — efek kebijakan. Dan dalam hal ini, mereka tetap sangat berpengaruh.

Sektor demi sektor di negeri ini terus-menerus disetir oleh pendekatan orientalis. Birokrasi kita lebih percaya pada blue print Bank Dunia daripada pada kearifan lokal sendiri. Akademisi kita lebih sibuk mengejar pengakuan jurnal bereputasi internasional daripada membela penderitaan rakyat kecil. Kita lelah bukan karena kerja, tapi karena kehilangan arah. Karena kita disuruh berlari menuju tujuan yang bukan kita tentukan sendiri.

Kita harus sadar bahwa saat ini Amerika bukan lagi kekuatan penuh seperti dulu. Oligarki global yang mereka simbolkan tengah berada di ambang keruntuhan. Banyak prediksi menyebut bahwa mereka sedang menuju chaos, bahkan perang sipil. Tapi justru di saat seperti itu, mereka semakin agresif menanamkan pengaruh ke negara-negara seperti kita. Lembaga seperti National Democracy Endowment yang sempat dibekukan malah dihidupkan lagi, sebagai alat untuk menggerakkan kudeta sipil bergaya lembut, membajak demokrasi dari dalam.

Janji-janji indah tentang Revolusi Industri 4.0, society 5.0, atau apapun istilahnya itu, tidak bisa menjawab pertanyaan paling sederhana: Mengapa dalam sistem demokrasi, kekayaan justru makin terpusat di tangan segelintir orang? Dan kenapa negara-negara yang mereka sebut “tidak demokratis” justru bisa membangun ekonomi lebih adil untuk rakyatnya?

Pertanyaan seperti ini hanya bisa dijawab kalau kita berani memerdekakan cara berpikir kita sendiri. Kalau kita berani mengatakan: cukup sudah kita menjadi bangsa fotokopi dari peradaban orang lain. Sudah saatnya kita menulis ulang manuskrip masa depan kita sendiri.

Jika kita tak bisa mengubah negeri ini, setidaknya kita jangan ikut-ikutan merusaknya.

Sebab negeri ini bukan hanya tanah dan bangunan, bukan cuma data ekonomi dan indeks pembangunan manusia. Negeri ini adalah doa-doa ibu kita yang tak pernah putus di sepertiga malam. Negeri ini adalah keringat para petani yang tak pernah diliput media. Negeri ini adalah air mata diam para guru desa yang digaji tak seberapa, tapi tetap setia menyalakan lentera ilmu di tengah gelapnya zaman.

Maka jika hari ini kita merasa hampa, sepi, marah, dan gamang… mungkin itu bukan karena negara sedang gagal. Mungkin karena hati kita sendiri yang tak lagi punya tempat untuk kebenaran, kejujuran, dan keberanian. Kita tersesat bukan karena gelap, tapi karena kita sendiri memadamkan cahaya dalam dada.

Kita tak bisa selamanya menyalahkan Amerika, Tiongkok, Stanford, IMF, atau kekuatan global lainnya. Sebab selama kitanya sendiri masih mudah dibeli, masih rela dijadikan pion, masih bangga menjadi tiruan, maka siapa pun bisa menguasai negeri ini, tanpa harus mengirim tentara satu pun.

Sudah waktunya kita berhenti jadi penonton dalam teater besar bangsa ini. Sudah waktunya kita naik ke panggung dan berperan sebagai manusia merdeka — yang berpikir sendiri, yang memilih sendiri, yang berjalan dengan kaki sendiri.

Karena seperti kata manusia agung:
“Bangsa ini akan berdiri bukan karena siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling setia.”

Setia pada tanahnya, pada rakyatnya, pada sejarahnya, dan pada Tuhan yang menitipkan semuanya.

Dan kalau kita tak bisa mengubah negeri ini, setidaknya kita jangan ikut-ikutan merusaknya.[]

Nitiprayan, 22 Mei 2025

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Kapitalisme di Pangkuan Ibu Pertiwi

Kapitalisme di Pangkuan Ibu Pertiwi

Kalau kita mengira kapitalisme itu barang baru — barang impor dari Belanda, Amerika, atau paket kiriman dari IMF — maka itu artinya kita sedang melupakan nenek moyang kita sendiri.

Toto Rahardjo
Toto Rahardjo
Exit mobile version