CakNun.com

EMHA

Dimuat dalam rubrik Sketsa Majalah MATRA edisi Oktober 1995
N. Riantiarno
Dibaca 3 mnt

Pengantar

Sekelumit fenomena Emha di zaman ORBA yang kerap menjadi langganan pencekalan berhasil ditangkap oleh N. Riantiarno (sutradara Teater Koma) dan ditulis untuk rubrik Sketsa Majalah MATRA pada 1995.

Toto Rahardjo

Pada suatu hari sahabat saya, Emha Ainun Nadjib, mengikrarkan akan berhenti menulis dan berbicara. Demikian berita yang dilansir oleh media massa. Saya tergetar.

Beberapa hari kemudian, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Soesilo Soedarman serta Menteri Kehakiman Oetojo Oesman menggelar konferensi pers. Bagaikan sedang berduet, mereka mengaku tengah menggodok suatu peraturan yang intinya akan menghapus segala bentuk ritual perizinan. Penghapusan itu terutama ditujukan bagi kegiatan keagamaan dan sosial budaya. Diharapkan peraturan itu bisa selesai Desember 1995. Pendek kata, warga negara dijamin akan lebih bebas berbicara serta mengutarakan pendapatnya. Saya semakin tergetar.

Untuk ceramah, seminar, dan diskusi, Oetojo Oesman menjamin bahwa kegiatan itu dapat dilaksanakan tanpa izin. Tapi, penyelenggaranya harus memberitahu polisi lebih dulu. Dan sebagai bukti bahwa kegiatan sudah diberitahukan, “Pihak kepolisian akan memberikan tanda bukti berupa sepotong kertas yang redaksinya masih dalam tahap penggodokan.” Tampaknya, “sepotong kertas” itu masih tetap harus ada. Saya lebih tergetar lagi. Hari esok, kelihatannya, semakin penuh harapan.

Beberapa waktu lalu, semoga kita masih ingat, seorang pejabat tinggi menyatakan (bahkan menjamin) tidak akan ada lagi pelarangan pentas puisi dan teater. Tidak lama kemudian, dua pelarangan pentas terjadi. Tapi sementara itu, ini sungguh luar biasa, kegiatan para petinggi pemerintahan dan para konglomerat berpuisi serta berdeklamasi malah semakin marak. Puisi serasa wajib ada hampir pada setiap upacara.

Emha, dan juga Rendra, adalah sosok yang paling sering terkena getah pencekalan. Tidak bisa dimungkiri, kedua vokalis itu memang dikenal sangat lantang. Tapi betulkah Cak Nun benar-benar berniat menghentikan sepak terjangnya? Atau itu hanya sikap mutung sejenak dari seorang budayawan romantis seperti dia? Tak ada yang bisa menebak.

Emha salah satu dari kekayaan nasional. Kehadiran opininya sangat berharga. Orasi dan tulisan-tulisannya tajam. Penyampaiannya jernih. Pikiran-pikirannya mudah dicerna, dan tidak mbulet. Mumpuni. Dialah Gareng, Petruk, Bagong, atau bahkan Semar di dalam Goro-goro itu. “Panakawan modern”. Bukan hanya pesan-pesan pembangunan serta kesuksesannya saja yang disampaikan, tapi juga ekses-ekses dan penyimpangannya. Tidak semua “panakawan” berani, ikhlas, dan arif mengungkap hal itu dalam atmosfer politik seperti sekarang ini. Kini, Emha malah merasa sebagai Togog. Ya, pokoknya panakawan-lah.

Banyak “panakawan” dan dalang saat kini yang sudah merelakan dirinya menjadi corong. Goro-goro berubah sifat jadi “kapling komersial” yang semakin diperebutkan. Kita kehilangan sosok seperti Ki Nartosabdo. Masa kita harus kehilangan Emha juga?

Ketika kecurigaan terhadap fungsi dan pekerjaan kesenimanan merebak, Emha pernah berujar, “Salah satu cara untuk memelihara agar realitas kehidupan tidak mati adalah dengan menanam mimpi-mimpi.” Sungguh tepat. Sekarang ini, bahkan berniat menggelar mimpi pun kita semakin tidak punya daya lagi.

Dan terus terang, saya, juga banyak teman lain, tidak percaya Emha sungguh-sungguh berniat hendak berhenti menulis dan berbicara. “Karma” Emha adalah melakukan kedua hal itu. Dengan begitu dia sudah berbuat. Di majalah ini, Februari 1992, dia pernah berikrar. “Saya bukan orang sakti, tapi hujan dan badai yang paling dahsyat pun tetap ada sela-selanya dan Anda dapat mementaskan sedikit kemerdekaan di dalamaya.”

Syukur. Dua minggu lalu, pada kesempatan peluncuran buku barunya — Oples (Opini Plesetan) — Emha menyatakan bahwa yang sedang dia lakukan cuma semacam, “…dekonstruksi diri. Saya berbicara bukan ketika ingin berbicara, tapi ketika saya merasa wajib berbicara.” Kabarnya, dia sangat marah ketika dituduh menulis hanya untuk mengerak duit. Sabar, Cak.

Kisah wayang menyebut, untuk mendapatkan kesaktian, Arjuna harus bertapa di dalam hutan gung liwang liwung. Tapi, kata orang, kesaktian yang lebih ampuh seyogianya diperoleh Arjuna dalam olah-tapa di hutan kota penuh godaan ini, di lautan kekuasaan penuh ketidakpastian.

Tampaknya, pementasan kemerdekaan “gaya” Cak Nun akan tetap bergulir.

Lainnya

EMHA

EMHA

Pengantar

Sekelumit fenomena Emha di zaman ORBA yang kerap menjadi langganan pencekalan berhasil ditangkap oleh N.

N. Riantiarno
N. Riantiarno
Liberalisasi Pendidikan Alam

Liberalisasi Pendidikan Alam

Sebagai suatu institusi, Ainun jauh lebih berarti dibanding ribuan bahkan laksaan lulusan dunia sekolahan. Dengan berandai-andai, kalau Ainun tidak berhenti sekolah, apakah yang terjadi?

Ashadi Siregar
Bang Hadi
Exit mobile version