Agar Potorono Tetap Menjadi Potorono
Saya berjalan sendirian karena rombongan sudah sampai panggung. Saya menyibak samudera manusia dan menyaksikan bazaar makanan minuman dan dagangan lain yang biasa dipajang saat ada Sunday Morning Market di lapangan desa Potorono. Meenurut informasi, sebelum ada pandemi setiap ada kegiatan Sunmor yang dirintis oleh ITB, ditiru UGM kemudian menjadi mode di banyak tempat, termasuk di Potorono selalu ramai pengunjung. Sebelum pandemi tercatat ada 250 pedagang yang memajang dagangannya di Sunmor ini. Ketika pandemi pedagangnya dibatasi 50 pedagang agar tidak terjadi kerumunan. Saya saksikan pedagang aneka macam barang ini cukup banyak dan cukup membuat suasana pengajian Ngaji Syukur ini mirip sekali dengan suasana pengajian Maiyah.
Saya bergerak menuju panggung, di sela-sela hadirin yang duduk di atas plastik sambil menikmati minuman dan kudapan. Saya bisa mencapai panggung dibantu oleh Cah Kokam dan Banser yang mungkin sudah ada yang kenal sama saya. Begitu duduk di pinggir panggung, saya lihat massa pengajian sangat banyak, dan tampak banyak yang mengenakan dress code pengajian Maiyah, mengenakan kopiah putih merah. Warga desa Potorono yang hadir tumplek menyatu dengan hadirin dari Cah Maiyah dari berbagai penjuru kota dan desa.
Setelah acara formal berupa sambutan tuan rumah, Pak Lurah Prawata, dan deklarasi damai Pikades, langsung pengajian Ngaji Syukur digelar oleh Mbah Nun bersama KiaiKanjeng. Diawali dengan klarifikasi atau mbabar soal lantunan shalawat yang setelah jelas atau clear dunung-nya dalam peta pengetahuan kebudayaan dan peta kesadaran hadirin, baru KiaiKanjeng bersama hadirin melantunkan lagu shalawat. Malam itu pengajian dihiasi dengan lantunan lagu Aja Lamis oleh Pak Lurah yang menegaskan komitmen Kalurahan dalam mengabdi kepada kepentingan warga desa.
Malam itu ibarat dalam ilmu beladiri kelas atas model Jawa Nagasasra Sabukintenan, Mbah Nun dalam pengajiannya ini mampu melontarkan ajian Pacar Wutah. Berbagai pengertian, informasi, harapan, ulasan, kesadaran nilai dan indahnya hidup sebagai Wong ndesa yang berkepribadian serta berkarakter kuat Mbah Nun lontarkan diselingi dengan dialog dan musik KiaiKanjeng. Hadirin cukup serius sekaligus santai menyimak dan sekali-sekali tertawa terpingkal karena segarnya ungkapan yang dilontarkan Mbah Nun.
Hadirin sangat antusias kemudian bisa tumbuh keberanian untuk menjadi bagian interaktif dalam pengajian ini. Ketika personel KiaiKanjeng memandu ‘pertunjukan dramaturgi pengajian musikal simulatif’ yang membuat konten pendidikan politik terproses oleh masyarakat desa Potorono semua terlihat aktif dan bersemangat. Hadirin diajak untuk memahami dan mengatasi salah paham tentang perbedaan atau kebinekaan, sampai kemudian sampai pada kesadaran saling pengertian dan bersatunya jiwa dan semangat warga pada ide pesatuan di balik kebinekaan ini.
Demokrasi model desa Potorono yang akan dilangsungkan lewat pemilihan Kepala Desa hendaknya dipahami dan disadari berdasar nilai-nilai yang telah disimulasikan dalam kegiatan drama musik dan gerak teatrikal dihias nyala ribuan lampu flash handphone pada puncaknya. Semua kemudian tampak senang, gembira, bahagia dan segar meski waktu sudah mendekati tengah malam.
Pengajian Ngaji Syukur ini ditutup dengan lagu khas KiaiKanjeng, dengan sambutan terima kasih tuan rumah atas kehadiran warga Potorono dan para tamu, juga atas keadiran dan pengajian yang disampaikan Mbah Nun bersama KiaiKanjeng. Samudera manusia berdiri dan mereka ingin menyalami Mbah Nun. Karena keadaan tidak memungkinan tidak semua hadirin kebagian jabat tangan dengan Mbah Nun.
Mbah Nun bersama rombongan Kadipiro meninggalkan lapangan desa Potorono dengan makin mantapnya harapan bahwa Potorono tetap menjadi Potorono, warganya tetap bergaul secara komunal, guyup, tetap suka ngangsu kawruh, sregep nyambut gawe, senantisa ngabekti marang Gusti Allah. Itulah hakikat dan makna menjadi Cah atau Wong Potorono yang sejati. Saya pun bersyukur sampai pada kesadaran ini. Potensi desa Potorono terdiri 9 pedukuhan yang memiliki sumber daya pembelajar sebanyak 2500 orang lebih dan ribuan kaum terpelajar dari berbagai generasi, warga desa yang kaya mampu memakafkan 30 lokasi tanah wakaf untuk dibangun masjid dan mushalla, memiliki 28 orang kaum rois yang memimpin upacara adat keagamaan di desa serta tersedianya 50 khatib dan muadzin se-Potorono. Warga Banguntapan adalah jago dalam menyumbangkan tanah wakaf. Dalam satu Kapanewon Banguntapan tercatat ada 228 lokasi tanah wakaf yang kemudian dibangun untuk masjid dan mushalla dan bangunan untuk kepentingan sosial lainnya.