CakNun.com

Mengantar Anak-anakku
Ke Gerbang Peradaban Baru

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 10 menit

Peradaban Bersahaja

Sangat tidak mudah menentukan anak-anak kami akan dimasukkan ke Sekolah atau Pesantren mana. Ada sebab yang berasal dari iklim keluarga dan nasab kami turun temurun. Ada juga sebab-sebab yang berasal dan berada di luar rumah kami: situasi sosial Indonesia, iklim budaya masyarakat, habitat kependidikan di Sekolah-sekolah, serta berbagai masalah khas zaman ini.

Photo by Indra Dewa on Unsplash

Kami dua orangtua anak-anak kami, terutama saya, berasal dari keluarga turun temurun yang tidak istimewa, hanya rakyat biasa, tanpa riwayat kependidikan yang memadai, tanpa sejarah tentang sukses, bukan tokoh masyarakat, tidak kaya secara ekonomi, tidak menonjol di bidang apapun. Tetapi selama sekian generasi, regenerasi yang kami lakukan berlangsung aman-aman saja. Turun temurun anak-anak selalu bisa bersekolah, sekadar supaya tidak kehilangan integritas di lingkungannya, supaya bisa menyesuaikan diri dengan irama dan kepatutan budaya zamannya.

Turun temurun keluarga kami hampir tidak ada yang sukses dan hebat pencapaiannya dalam pendidikan formal. Kondisi itu tidak menjadi masalah bagi kami turun temurun, karena yang utama bagi kami adalah keselamatan di hadapan Allah Swt. Di bidang aqidah, kami bereskan dalam pendidikan sehari-hari di rumah. Bidang mengaji Al-Qur`an, tradisi perilaku akhlaq dan budaya Islam, di luar rumah ada Komunitas Langgar atau masyarakat kecil yang berpusat di Mushalla atau Masjid, yang secara tradisional-informal anak-anak dilatih keIslamannya secara literer, ketekunan beribadah maupun perilaku akhlaq Islamiyahnya.

Di luar rumah dan Komunitas Langgar juga masyarakat sangat baik. Iklim sosial budaya dan keagamaan masyarakat di lingkungan kami turun temurun merupakan Sekolah Sosial, Sekolah Budaya, Sekolah Keagamaan, yang sangat menolong pertumbuhan anak-anak kami. Kami turun temurun hidup di tengah masyarakat pedusunan yang sangat indah, selalu saling tolong menolong, didik mendidik, jaga menjaga, selamat menyelamatkan. Masyarakat adalah sebuah keluarga besar yang semua anggotanya saling menyayangi dan melindungi.

Peradaban Canggih

Tetapi itu semua luntur, pupus, bahkan sirna, sejak Negara Indonesia menjadi modern. Fondasi sosialnya berubah, konstruksi bangunan budaya berubah, landasan dan tujuan hidupnya berubah. Kami digiring memasuki Peradaban baru yang serba canggih. Pencapaian-pencapaian teknologi tinggi, besar, raksasa sampai mikro dan nano, membuat segala sesuatu serba hebat dan dahsyat, sampai manusianya tenggelam dan terpendam.

Bagi manusia yang penting bukan kemanusiaannya, tapi status sosial, harta benda dan kekuasaannya. Bagi Sekolah dan Universitas, bukan ilmu yang penting, tapi gelar kesarjanaannya. Bukan tujuan hidup yang penting, tapi jumlah pemilikan keduniaannya. Dalam ber-Agama yang utama bukan ridla Allah, tapi gaya kealimannya, branding keulamaan, gengsi kecendekiawanan, serta keuntungan materi di dunia maupun pahala materiil di Sorga. Di semua peta sosial, yang primer bukan kebenaran, kebaikan, dan kemuliaan – melainkan kemenangan, kegagahan, dan keunggulan.

Masyarakat Indonesia didesak tanpa bisa mengelak untuk memeluk Agama Globalisasi. Tuhannya Maha Berkuasa, tidak bisa dilihat dan ditemukan secara pancaindera: mungkin segerombolan makhluk hebat Internasional atau entah apapun, yang mengatur keuangan, peta kekuasaan dan muatan pikiran manusia sedunia. Malaikat dan Iblisnya mungkin beberapa mesin kekuatan politik di sejumlah titik.

La tudrikuhul abshar, wa Huwa yudrikul abshar, wa Huwal Lathiful Khabir”: Ia tak bisa dilihat oleh semua makhluk, Ia mampu melihat semua makhluk, Ia Maha Lembut dan Maha Mengabarkan”. Tuhan Globalisasi tak terlihat, tetapi mengabarkan Kitab-Kitab Suci kepada kami. Ada Kitab Suci Kapitalisme, Sosialisme, Komunisme, Liberalisme, kemudian gabungan-gabungan seperti Kapitalisme-Liberal, Komunisme-Kapitalis, Sosialisme-Liberal dan berbagai ramuan lainnya. Termasuk pendirian Agama-agama baru seperti Radikal, Fundamental, Moderat dll.

Semua itu tumpah ke masyarakat kami dan hujan deras ke atap-atap rumah keluarga-keluarga kami. Bahkan membanjiri lantai rumah kami, merapuhkan tembok dan tiang, melembabkan ruang, memanaskan suhu, membusukkan perangkat-perangkat, mengkumuhkan keseluruhan rumah kami, menghembuskan kecemasan dan kebingungan di hati kami. Dan yang paling menyedihkan: memecah-belah keluarga dan masyarakat kami.

Sebagai Bapak-bapak dari dusun, saya selalu mendambakan ada Negarawan, Filosof, Begawan atau Panembahan yang menjelaskan apa sesungguhnya yang sedang menimpa kami, serta saran kami harus melakukan apa terutama untuk putra-putri kami, yang akan menempuh masa depan ketika kelak kami sudah tiada.

Peradaban Laba

Bahkan beberapa puluh tahun terakhir ini Komunitas Langgar sudah sirna, diganti oleh tayangan prime-time televisi. Semua yang di luar rumah menjadi ancaman: narkoba, penculikan, pikiran buruk, saling curiga, permusuhan, egoisme, masyarakat terpecah belah oleh Pilkada, Pileg, dan Pilpres. Kalau anak-anak keluar rumah, otaknya dimasuki sampah-sampah, hatinya menjadi comberan, alam pikirannya dikuasai konsumtivisme dan hedonisme. Seluruh Agama Globalisasi mendidik anak-anak kami menurun kualitasnya dari hamba-hamba Allah menjadi hanya manusia-manusia yang semakin lama semakin berkecenderungan melorot ke level kebinatangan.

Meskipun demikan anak-anak harus tetap masuk Sekolah. Tetapi Sekolah-sekolah semakin tidak fokus kepada anak-anak didiknya yang manusia dan hamba Allah. Sekolah mengabdi kepada pencitraannya sebagai Lembaga Pendidikan. Sebagai Lembaga Pendidikan ia mengabdi kepada citra Dinas Pendidikan Daerah, yang juga mengabdi kepada citra atau gengsi atau harga diri Kabupaten dan Provinsi. Anak-anak duduk di kelas 6 atau 3 tahun, nasibnya ditentukan oleh beberapa jam mengerjakan soal-soal beberapa mata pelajaran. Mungkin sebenarnya anak saya tidak perlu bersekolah tiap hari, berinteraksi, belajar bergaul, belajar berbeda, belajar bermasyarakat dan sosialisasi. Cukup saya kursus sendiri fokus agar bisa mengerjakan sosl-soal ujian 2-3 hari. Karena angka hasil tiga hari itulah “sorga”-nya anak bersekolah.

Agar supaya Lembaga Sekolah, Pamong Pendidikan dan Kabupaten dan Provinsi wilayah kependidikan bisa bersinar wajahnya, tinggi gengsinya, unggul dari pesaing-pesaingnya – maka dirunding bagaimana caranya memastikan anak-anak nilainya antara 90-100. Maka demi akhlaq di mana Guru harus menolong muridnya, Sekolah menolong semua siswanya, Pemerintah menolong rakyatnya, Ulama menolong ummatnya: muncul kesepakatan resmi maupun subversif untuk menyediakan jawaban ujian yang diberikan kepada siswa yang mengikuti ujian. Ada juga yang secara diam-diam berjualan jawaban ujian. Nasib anak didik diperalat untuk laba materi.

Anak-anak menjadi alat kepentingan orang-orang tua. Siswa-siswi menjadi onderdil dari ambisi Lembaga Pendidikan. Generasi anak-anak dan remaja menjadi kendaraan bagi nafsu dan salah ilmu para pelaku Institusi Kependidikan. Sekolah-sekolah Favorit dikejar oleh setiap orangtua untuk mendesakkan anaknya agar bisa menjadi siswanya. Sekolah Unggul menerima murid-murid pandai dan keunggulan serta kefavoritannya didasarkan atas berkumpulnya murid-murid pandai, bukan berdasarkan filolosi, metode, dan manajemen kependidikannya yang kondusif untuk pengembangan ilmu dan kepribadian anak-anak didik.

Peradaban Ranking

Anak bungsu saya di kelas 4 SD berkata: “Sekolah yang baik dan unggul adalah Sekolah yang mencari anak-anak tidak pandai untuk menjadi muridnya, kemudian dididik menjadi pandai. Yang menerima anak-anak nakal untuk dididik menjadi anak-anak baik”.

Pernyataan anak kami itu tampaknya tidak berasal dari kecerdasan atau ketajaman persepsinya. Melainkan dari habitat nasab dari mana ia dilahirkan. Yang turun temurun tidak pandai di Sekolah. Maka pola berpikir kami agak terbalik dari umumnya masyarakat. Kami Ibu Ayah anak ini bersama dua kakaknya bersyukur anak-anak kami tidak pernah masuk Ranking nilai terbaik di Sekolahnya. Kami mafhum karena kami adalah turunan keluarga awam, tidak pandai, tidak unggul. Sehingga memang tidak ada iklim yang membuat anak-anak terlibat secara mental, psikologis, dan budaya untuk menang melawan teman-temannya.

Sesekali kami memancing anak bungsu itu “Apa tidak ada keinginan untuk sekali-sekali masuk Ranking”. Ia menjawab, “Jangan. Si Anu dan si Fulan si Tole saja yang juara. Banyak teman-teman yang sedih kalau tidak Juara”. Memang banyak orangtua yang bangga berlebihan kalau anaknya hebat, dan frustrasi berlebihan kalau anaknya tidak hebat, menurut parameter yang menjadi mainstream citra kependidikan sekarang.

Anak-anak kami tidak ada yang hebat di Sekolah. Itu meringankan beban kami dari kekhawatiran bahwa kalau orang hebat itu cenderung “menghebati” orang lain. Makin lama orang makin bernafsu untuk bukan hanya unggul, tapi mengungguli orang lain. Sedangkan turun temurun keluarga kami memang tidak ada yang hebat dan unggul bersekolah, meski semaksimal apapun kami berjuang. Kami mensyukuri qadla dan qadar Allah ini. Tetapi diam-diam kami menghibur diri dalam inferioritas itu: bahwa ‘pinter sekolah’ tidak sama dengan ‘pinter hidup’. Bahwa keunggulan akademik hanyalah bagian kecil dari keseluruhan dan keutuhan potensi-potensi manusia. Bahwa kecerdasan manusia adalah mozaik potensialitas yang dunia Sekolah hanya memahami bagian-bagian tertentu saja.

Apalagi semua unsur dan peristiwa dalam kehidupan ini adalah hembusan belaka dari kemauan Maha Pencipta. Semua daya upaya dan pencapaian manusia tetap berada dan patuh di dalam kuasa Tuhan, takdir, nasib, Lauhul Mahfudh, serta fenomena ‘hidayah’ dan ‘amr’. Makhluk hidup adalah anak-anak panah yang diluncurkan oleh Maha Pemanahnya. Makhluk tidak berkuasa atas busurnya dan tidak pernah mengerti titik di mana ujung panahnya akan menancap. Maka turun temurun dalam tradisi pendidikan keluarga kami, yang utama adalah pembiasaan dan peneguhan komitmen anak-anak panah keluarga kami kepada Maha Pemanah, Busur dan titik tancapnya di masa depan. ‘Allamal insana ma lam ya’lam:  Allah mengajari langsung kepada manusia apa yang ia belum ketahui.

Peradaban Berbeda

Akan tetapi itu sekadar hiburan terbatas di lingkup rumah keluarga kami. Begitu menengok ke luar jendela dan pintu, kami tetap pusing ke mana anak-anak akan kami sekolahkan? Supaya aman aqidahnya, aman akhlaqnya, aman isi akalnya dan arah pemikirannya, aman fisiknya dari penculikan dan narkoba, aman orientasi hidupnya dari hawa negatif dan serbuk beracun penjajahan Agama Globalisasi?

Tuhan menuntun Ibunya anak-anak menemukan Sekolah yang kami analisis dan rasakan sebagai punya kemungkinan terbesar untuk menyediakan aman-aman-aman itu semua bagi anak-anak kami. Ketika kami datang mendaftar, mulai terasa bahwa memang ini habitat yang agak berbeda dibanding yang kami cemaskan. Ketika kami mengantarkan anak-anak kami mulai memasuki Asrama, anak-anak kami disambut oleh siswa-siswi kakak kelasnya, disapa, berkenalan, dibawakan tasnya, diantarkan ke kamar tempat tinggalnya, kemudian ditemani, diberi berbagai informasi, sampai anak-anak kami mengerti di mana dan harus bagaimana berlaku di tempat yang baru itu. Ini agak “shocking” bagi kami secara budaya. Ini Peradaban yang berbeda.

Senior melayani yunior. Yang lebih berpengalaman menuntun yang belum berpengalaman. Semula kami sedikit khwatir oleh tradisi budaya sebagian Sekolah di mana siswa-siswi baru adalah “orang asing yang harus di-plonco supaya menjadi tidak asing”. Puji Tuhan di Sekolah dan Asrama ini, anak-anak kami bukan orang asing, semua murid dan Guru adalah sahabat sesama pembelajar kehidupan. Guru di kelas dan Senior di Asrama bukan ‘atasan’, bukan orang yang lebih pandai, bukan penduduk lama yang lebih berkuasa dari penduduk baru.

Ini semacam benih Peradaban Berbeda yang melegakan dan menerbitkan harapan. Anak-anak kami tidak dikumpulkan untuk diceramahi harus begini tidak boleh begitu. Anak-anak bukan bukan kumpulan manusia bodoh yang dinasihati oleh orang-orang pandai. Anak-anak bukan prajurit yang berbaris dipelototi oleh Komandannya. Anak-anak bukan pesakitan atau narapidana yang diawasi oleh Sipir. Sekolah bukan barak indoktrinasi atau sel-sel penjara “brainwashing”.

Anak-anak hanya memperoleh bagian lembaran semacam teks reward and punishment, “pahala dan adzab”, sebagaimana setiap manusia hidup harus mengenali akibat dan tanggungjawab atas apapun yang ia lakukan. Lembaran itu hanya peta detail dari “ngundhuh wohing pakarti” kalau pakai idiom Jawa. Atau “fa man ya’mal mitsqola dzarrotin khorion yaroh, wa man ya’mal mitsqola dzarrotin syarron yaroh”, kalau parameter dari Allah di Al-Qur`an.

Peradaban Undat-undat

Kalau anak menyikat gigi dengan mengambil odol temannya tanpa izin, dapat point minus sekian. Kalau terlambat sekian menit masuk kelas, point minus sekian. Kalau di luar beberapa jam free time masih bawa handphone point minus sekian. Kalau mencuri minus sekian, dan langsung kehilangan hak untuk meneruskan keberadaannya di situ, karena satu kali mencuri sudah mencapai batas maksimal point minus.

Lembaran itu bagi kami merupakan peradaban yang lebih parah lagi bedanya. Maklum kami orang dusun, tidak punya banyak pengetahuan tentang metode pendidikan. Kalau anak-anak ketahuan masih bawa handphone di luar free time, Pembimbing mendatanginya dan berkata santun: “Boleh handphone-nya saya simpankan supaya tidak hilang?”. Si anak pasti akan mencari tahu secara prosedural ke mana besok ambil kembali handphone-nya. Ia tahu ada tambahan daftar point minus di lembarannya. Tapi ia tidak ditimpa “damprat dan undat-undat”, di mana Guru dan Pemimbing seperti menikmati kesalahan anak-anak dan merayakannya: “Kamu ini ngerti peraturan atau tidak? Kan sudah tahu begitu selesai free time, handphone dan lain-lain harus disimpan. Kenapa kamu masih melakukan aktivitas yang jelas dilarang? Kamu bisa membaca apa tidak?”

Seorang siswa berlari mengejar Gurunya karena ia terlambat menyerahkan lembaran jawaban. “Mohon maaf Pak saya terlambat menyerahkan, tadi kaget kok Pak Guru sudah tidak ada di kelas…”. Pak Guru tersenyum, memegang pundaknya dan tangan lainnya membenahi kerah baju anak itu, dan berkata: “Oh, saya yang minta maaf. Kamu tidak terlambat menyerahkan, saya yang terlalu cepat meninggalkan kelas”. Kemudian Guru itu menggandeng tangan anak itu mengantarkannya ke kamarnya di Asrama.

Ini juga bukan sekedar soal akhlaq dan budaya. Ini sudah peradaban. Banyak kaget-kaget lainnya yang pelan-pelan kami ketahui dan alami. Baik budaya mengajar para Guru di kelas, perlakuan di kamar-kamar Asrama, formasi indah pergaulan antara yang lama dengan yang baru, prinsip-prinsip kemanusiaan yang diterapkan, filosofi kependidikan dan sosial budaya, tradisi muatan-muatan pemikiran anak-anak, atau habitat karakter dan kepribadian yang merupakan akulturasi bagi anak-anak untuk pertumbuhannya tepat, nilai-nilai pilihannya tidak mubadzir, orientasi masa depannya akurat dan sesuatu dengan ‘fadhilah’ yang Allah tentukan bagi masing-masing makhluk-Nya.

Anak-anak kami di sini diamankan dari berbagai jenis ‘racun’ globalisasi, materialisme, feodalisme, hedonisme, lebaiisme. Pada saat yang sama anak-anak dirabuki bakatnya, diperkembangkan potensinya, dipacu kreativitasnya, dirangsang berbagai kemampuannya.

Sekolah Peradaban Manusia

Sekolah ini tetap mematuhi garis haluan kependidikan nasional, tetapi mengembangkan atmosfer sehari-hari yang mempeluangi setiap anak berkembang potensinya, bakatnya, dan kepribadiannya. Ini bukan Sekolah yang dikontrak oleh Industri dan Pabrik-pabrik untuk memproduksi dan men-supplay manusia robot, onderdil, dan spare part. Ini bukan Sekolah yang mencetak murid-murid menjadi mur dan baut yang diukur tingkat produktif kapitalistiknya. Ini adalah Sekolah untuk membangun Peradaban Manusia.

Secara keseluruhan, atmosfer kependidikan di Sekolah dan Asrama ini membuat kami orangtua merasa aman dan lega atas pertumbuhan anak-anak kami. Kami meyakini bahwa anak-anak saya sudah menjadi penumpang Bahtera Pendidikan yang mengantarkan mereka ke masa depan yang selamat dan menyelamatkan. Tidak kami sesali bahwa anak kami tidak istimewa menurut ukuran-ukuran akademik, karena sekurang-kurangnya mereka menjadi terpacu untuk memaksimalkan apapun saja yang memang wajib dipacu sebagai anak dan manusia. Rapor di keluarga kami adalah perjuangan dan tanggung jawab, bukan hebatnya pencapaian.

Salah satu puncak ‘shocking’ fakta peradaban Sekolah ini yang kami rasakan adalah prestasinya di berbagai Lomba Regional, Nasional dan Internasional. Selama hanya tiga tahun lebih Sekolah ini memproduksi 40 medali internasional dalam Olimpiade berbagai bidang ilmu, karya budaya dan olahraga. 97 medali Nasional dan 138 medali Regional. Terakhir Sekolah ini menjadi semacam Juara Umum, Sekolah yang memproduksi Juara Internasional terbanyak, di Genius Olimpiad di Oswego, State University of New York, bulan Juni 2017 yang lalu. Anak-anak menjadi Juara-juara itu bukan tujuan Sekolah ini, melainkan akibat positif dari budaya, akhlaq dan manajemen kependidikan yang mereka terapkan.

Peradaban Sekolah ini menerjemahkan etos “competitiveness” tidak mengarah ke permusuhan dengan persaingan yang saling menegasikan. Melainkan menjinakkannya dengan perspektif nilai yang lebih besar dan lebih prinsipil dari Peradaban Manusia: yaitu kerjasama universal, persaudaraan, dan kasih sayang, dengan mentradisikan kegiatan-kegiatan untuk menikmati indahnya kesatuan bangsa dan kemanusiaan.

Dan, sekadar ungkapan rasa syukur: rupanya Tuhan tidak tega kepada keluarga kami. Dalam keawaman kami, Ia menganugerahi bonus di mana anak kami ada juga di daftar pemenang Genius Olimpiad itu, sesudah sebelumnya dihadiahi keterlibatan internasional di Olympiade Turki di Istanbul, berkeliling di 10 kota lainnya, serta di Denmark dan Norwegia. Allah Maha Pecinta Agung, setiap hamba-Nya ditaburi atau sekurang-kurangnya seperti kami: diciprati rahmat-Nya.

Peradaban Abal-abal

Sampai pada suatu hari seorang Presiden di salah satu Negara di Bumi mengumumkan bahwa ada ribuan Sekolah-sekolah yang mendidik murid-muridnya untuk menjadi teroris di lebih 200 Negara, yang terkait dengan sebuah gerakan di Negara yang dipimpin oleh Negara itu. Terorisme dalam arti melakukan kekerasan, kekejaman, pemboman, pembunuhan dan berbagai jenis kelalilam yang lain. Tuduhan itu juga termasuk kepada Sekolah di mana anak-anak kami berada. Saya ditelpon dan langsung berangkat ke Sekolah anak-anak saya. Di sana sudah ramai, banyak Polisi, petugas Imigrasi dan para wartawan.

Tentu saja para pengkerumun itu pun tidak paham apa yang dimaksud sebagai “Sekolah Teroris”. Tuduhan Sekolah “Teroris” itu dalam pengertian terorisme sebagaimana “violence” yang dikenal wacana politik dunia. Bukan “terror” yang dalam tulisan ini saya maksudkan sebagai semacam “kejutan budaya kependidikan” yang “shocking” bagi kami.  Padahal kami tahu bahwa tidak sedikit di antara siswa-siswi Sekolah ini yang mengidolakan Presiden itu yang dipuja-puji seluruh dunia dan digadang-gadang menjadi “Khalifah Kaum Muslimin se-Dunia”. Karena di Sekolah dan Asrama ini, anak-anak tidak didera oleh infiltrasi ideologi, pengkaderan politik, akulturasi budaya Bangsa tertentu atau pembaiatan menjadi bagian dari suatu Ajaran atau Gerakan apapun. Sekarang Sekolah mereka didesak untuk dibubarkan oleh idola mereka, dengan sejumlah transaksi dengan Negara-Negara yang bersangkutan.

Siang itu, karena di Sekolah ini di antara wali-wali murid hanya ada saya, maka saya tidak bisa mengelak dari kerumunan dan desakan para petugas Kepolisian, karyawan-karyawan Imigrasi dan para Wartawan. Tidak ada pilihan lain kecuali menjawab serbuan mereka. Dan dengan gugup dan kelabakan saya menjawab:

“Negara dan Pemerintah Indonesia dihina oleh Pemerintah yang Anda sebut itu terutama Presidennya. Mereka menuduh bahwa NKRI adalah Negara abal-abal, Negara yang tidak punya Pemerintahan sebagai Negara-Negara normal lainnya, tidak punya Intelijen dan sistem keamanan – sehingga bisa ada Sekolah Teroris yang dibiarkan hidup lebih 25 tahun. Itu Presiden main-main dan melecehkan Indonesia. Sebagai warganegara, saya tidak terima, tidak ikhlas dunia akherat, dan sudah tampak di mata saya siapa yang akan awet lestari dan siapa yang akan terjungkal dan mengalami kehancuran. Ini soal waktu saja. Idza ja`a ajaluhum la yasta`khirunas-sa`ah. Kalau sudah tiba momentumnya, tak ada yang sanggup menundanya…Seluruh Dunia sedang berada di depan pintu gerbang Peralihan Peradaban baru, yang kebanyakan penghuni Dunia belum punya ilmu untuk bisa melihat dan menyadarinya”.

Gerbang Peradaban Baru

Maka kemudian alhamdulillah Tuhan menuntun Pemerintah Indonesia, dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pendidikan hingga Presidennya, meletakkan diri pada jalur pikiran sebagaimana jawaban saya atas wawancara darurat itu.

Sesudah itu berlangsung sejumlah kerepotan dan bahaya bagi sejumlah Guru yang terkait dengan tuduhan abal-abal itu: tetapi cacing-cacing terus menggeliat, dan setiap manusia tak henti berikhtiar. Dan tanggal 6 Juli 2017 lusa, dua anak kami yang lain, mulai masuk Asrama di Lembaga Pendidikan yang sama sebagaimana saya ceritakan di tulisan ini.

Abad 20-21 di muka bumi adalah Abad Talbis. Talbis adalah strategi global di mana Iblis berkostum dan bermake-up wajah seperti Malaikat. Adam dan Hawa diperdaya. Juga kita semua anak turunnya. Neraka diperkenalkan sebagai Sorga, juga sebaliknya. Baik diburukkan, buruk dibaikkan. Benar dan Salah dibalikkan. Pahlawan dituduh Pengkhianat, Pengkhianat melantik diri menjadi Pahlawan. Begitulah pengetahuan, ilmu, pandangan hidup, peta politik, nilai-nilai kebudayaan dan peradaban saat ini: bergelimang Talbis. Tetapi itu semua itu berada di ujung jalan, dan kemudian beralih ke zaman baru. Anak-anak saya harus menjadi bagian dari fajar hari terbitnya matahari Peradaban Baru.

Yogya 4 Juli 2017.

Lainnya

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Rakyat kecil kebagian remah kemakmuran berupa upah buruh murah, dan negara kebagian remah kemakmuran berupa pajak.

Nahdlatul Muhammadiyyin
NM
Exit mobile version