Muter-Muter Lama Ke Muter-Muter Baru
Ada suatu jenis skala prioritas nilai yang diyakini oleh sejumlah manusia. Bahwa yang primer adalah apakah kita selamat atau tidak di depan Allah. Soal hidup atau mati, sehat atau sakit, kaya atau miskin, hidup berprestasi atau biasa saja, termasyhur atau tak dikenal, sukses keduniaan atau bangkrut, bukan urusan utama. Yang utama adalah apakah kita dicintai oleh Allah ataukah dibenci. Hidup dan mati sama sekali bukan masalah, dan itu perkara teknis ruang waktu belaka.
Maka pasal utama nilai kehidupan adalah sikap dan pandangan pribadi dalam kaitannya dengan pergaulan dengan Tuhan. Ilmu yang dikenal manusia menyebut itu bab akidah dan akhlaq. Kalau bab akidah dan akhlaq vertikal ini tidak tepat atau tidak sebagaimana seharusnya menurut Tuhan, maka segala sukses dan prestasi peradaban dunia menjadi tidak signifikan dan tidak produktif secara kesejatian hidup. Irama dzatil ‘imad yang dahsyat di kurun Nabi Hud, atau peradaban teknologi fantastis di zaman masyarakat Atlantis atau juga di zaman Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, dengan kaum Jin sebagai arsitek -arsitek dan ASN-nya, dengan setan-setan sebagai Angkatan Lautnya, serta komunitas Hud-hud sebagai intelijennya, yang teknologi mutakhir abad 20-21 mungkin hanya sepersepuluh spektakularitasnya — tetap juga semua berujung keruntuhan.
Kalau bicara kecanggihan peradaban teknologi, era Nabi Mbah Ibrahim dan Kanjeng Nabi Muhammad sendiri adalah era kesederhanaan hidup. Nabi Ibrahim menghancurkan berhala-berhala saja manual teknis fisik. Di zaman Kanjeng Nabi Pamungkas tukang sol sepatu saja belum ada, sehingga beliau menjahit sepatu dan pakaiannya sendiri. Tidak ada industri tikar atau kasur yang aneh dan manja, karena kalau orang sudah benar-benar mengantuk: ia tidak bisa lagi membedakan antara kasur, galar bambu atau permukaan batu di punggungnya.
Jangankan lagi teknologi gelombang, internet dan medsos. Manusia masih utuh dan efektif peralatan kemanusiaannya, sehingga tidak butuh alat bantu WA, IG, broadcast, streaming atau video conference yang memang diperuntukkan bagi ummat manusia yang sudah tumpul batin dan akalnya. Misalnya seusai kemenangan perang Fathul-Makkah dan Rasulullah berpidato: “Ya ayyuhannas, laisa hadzal yaum yaumul malhamah, walakinna hadzal yaum yaumul marhamah.” Saudara-saudara sekalian, hari ini bukanlah hari pembantaian. Hari ini adalah Hari Kasih Sayang – waktu itu Pasukan Islam nyewa sound system dengan kapasitas berapa agar vokal Kanjeng Nabi terdengar di tepian bukit-bukit dan gurun? Terus kelak di abad 20-21 kaum muda Muslimin merayakan Valentine Day sebagai hari kasih sayang.
Itulah sebabnya di Maiyahan kita ulang-ulang tema materialisme, kapitalisme dan hedonisme. Tanyakan kepada Sabrang peta tentang barang-barang yang diproduksi massal oleh industri dan kapitalisme modern adalah barang-barang tidak penting, yang sekunder banget untuk kehidupan substansial ummat manusia. Dan gelombang tidak penting itulah yang dimenangkan oleh Revolusi Industri Renaissance di Perancis-Italia yang sangat legendaris dan dikagumi oleh ummat manusia.
Maka fakta yang paling menonjol dari ummat manusia abad 20-21 adalah karakter “gumunan”, gampang kagum terhadap hal-hal yang kasat mata. Teknologi batin kemanusiaan mereka kanak-kanak terus, paling jauh remaja. Peradaban abad 20-21 manusia di dunia adalah peradaban ABG. Apalagi di tanah airmu sendiri ini yang bangsanya sangat menikmati ketertindasan. Sangat menikmati diremehkan dan direndahkan oleh bangsa-bangsa Barat dan Arab. Sangat bangga disebut “Negara Dunia Ketiga”.
Apalagi dengan dunia entertainment, infotainment di media-media massa, yang semena-mena merayakan kerendahan derajat batin kemanusiaan. Mengagumi selebritis, mengangkat mereka jadi wakil rakyat, dan kita menunggu siapa artis yang akan diangkat menjadi Presiden, karena kriterianya adalah akseptabilitas publik, dan yang rakyat gumun kagum adalah boneka-boneka. Idolatry. Pemberhalaan. Pembonekaan. Kemudian klub pengagumnya marah-marah mengamuk seperti anak kecil kalau bonekanya diganggu.
Dan perayaan peradaban gumunan itu tidak berhenti di tayangan-tayangan TV meskipun ada Corona atau virus buatan apapun, meskipun ada Tsar Bomba atau agas VX, atau HAARP, senjata laser LaWS, “Little Boy” atau “Fat Man” seperti di Nagasaki Hiroshima, atau ada “idza zulzilatil ardlu zilzalaha” atau “idza waqa’atil qaqi’ah” kayak apapun — tetap saja TV infotainment jalan berkibar-kibar berbinar-binar dengan kecengengan dan kekonyolan yang katanya paling digamari oleh penonton.
Kalau kembali ke awal tulisan ini, betapa amat jauhnya “Yang utama adalah apakah kita dicintai oleh Allah ataukah dibenci. Hidup dan mati sama sekali bukan masalah, dan itu perkara teknis ruang waktu belaka.” Apa itu? Sok agamis. Hanya masyarakat abad 20-21 yang menyangka bahwa Agama adalah urusan Tuhan, Nabi, shalat, pasar buka-sahur Ramadlan, mudik, cium tangan, silaturahmi. Bahwa pasar bebas tak terkait agama, bahwa studi S1 sampai S3 tidak berhubungan dengan agama, bahwa mal dan gedung pencakar langit itu nothing to do dengan agama, bahwa IT, streaming, broadcast itu ada di sini sementara agama letaknya nun jauh di sana di benua lain sama sekali. Belum pernah ada abad peradaban di mana manusia terperosok ke dalam kebodohan sampai serendah dan sedalam itu. Manusia ini bagusnya ditakdirkan hidup di Era Dinosaurus sekian ratus juta tahun silam.
Maka kalau memang harus ditanyakan apa yang akan berubah pada kehidupan manusia pasca-Corona nanti, hanya bisa dibayangkan perubahan pada barang-barang yang tidak penting itu. Hal-hal yang sekunder, seriuh-rendah apapun, hal-hal yang di luar rentang garis abstrak Sangkan-Paraning Dumadi. Akan ada perubahan dari kecengengan lama menuju kecengengan baru. Dari kekonyolan lama ke kekonyolan baru. Dari kemanjaan lama ke kemanjaan baru. Dari muter-muter lama ke muter-muter baru.
Muter-muter itu tidak ada pangkalnya tidak ada ujungnya. Tidak jelas dasarnya, tidak jelas pencapaiannya. Tidak ada sangkan paraning dumadi. Asafa ya asafa. Faya asafa. Faya asafa. Kasihan aduh kasihan. “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab).
Kalau Tuhan bilang “Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi,” (Shad), kaum cendekiawan akademisi di zaman ini mengkategorikan itu dongeng.
Apalagi “Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud, dan Kami telah melunakkan besi untuknya,” (Saba), Itu disebut halusinasi, tidak verifikatif secara historis.
Tapi pada saat yang sama Parikan Kartoloan ya tidak punya mesin kemanusiaan untuk mengapresiasi:
Iki ngono hasile rapat wingi, wis disahno, di-approve direksi
Terinspirasi kehidupan hewani, Judule : Wajah Pejabat Negri Ini
Anake gajah jenenge bledug, bledek imitasi arane geludug
Jaman cilik kakehan dijegug, bareng wis tuwek dadi belegug
Kucing cilik jenenge cemeng, delondonge Semar jenenge Gareng
Nom-nomane hobby-ne gelang-geleng, sampek awake kuru kerempeng
Anak macan diarani gogor, pelurune pistol jenenge pelor
Kerjo nok solo omahe nok Bogor, bareng akhir wulan itung-itungane tekor
Daughter of Cecak is named sawiyah, after Thursday Javanes call Jemuah
Jaman kos-kosan panganane sego uyah, bareng dadi pejabat, golekane enggon basah
Putrane segawon dipun undang kirik, kancinge rasukan naminipun benik
mBahas devisa bade ekspor jangkrik, survey teng Puncak pados em… Ping keripik
Papinya cempe namanya wedhus, WC jongkok dinamai kakus
Gagal berdagang terjun jadi politikus, urusan wong cilik ogah-ogahan ngurus
Anake unto iku unto anakan, ditekakno tekan negeri Yaman
Dadi legislatif omongane celometan, sing penting lancar, nyirik kiri-kanan
Belo lahir dari rahim mama kuda, dibesarkan di bonbin Surabaya
Anak lima punya Bank semua, hartanya diaudit… Ditangkap KPK