CakNun.com

Seribu Wajah di Cermin Ramadlan

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 1 menit

Mungkin karena puasaku sedikit membersihkan batinku, maka sangat tampak oleh pandangan mataku beribu bayang-bayang wajahku sendiri, yang terpantul dari sekitarku.

Kalau bayangan wajahku adalah budayawan, sastrawan, seniman, pekerja ilmu, Ustadz, Kiai, bahkan seakan-akan Ulama, Mursyid dan sejumlah bayang-bayang lagi — itu template rutin dan klise lama.

Tapi ada yang keterlaluan: wajahku ditutupi wajah Nabi. Aku dianggap tidak punya kesalahan. Padahal (mengutip Abu Nawas): “dzunubi mitslu a’dadir-rimali”, dosaku menghampar seperti pasir memenuhi sabana.

Ada juga yang gila: aku dituhankan, dianggap bisa mengabulkan doa, menaburkan hidayah dan menabur qabul. Istighfarku 1000x hidup tak cukup untuk mengeliminirnya.

Padahal, yang paling mendekati kebenaran adalah aku berwajah Iblis: tidak ada titik yang bukan perbuatan buruk. Bahkan kalau terdapat satu dua goresan kebaikan, ternyata itupun bagian dari keburukanku.

Lainnya

Sedulur Tani

Sedulur Tani

Pada zaman yang lalu jika usai panen, sedulur tani dapat membeli sekian gram emas, namun sekarang justru tak ada segram pun emas yang mampu dibeli — sebaliknya malah emas yang ada justru tergadaikan untuk membeli benih, pupuk, dan pestisida.

Toto Rahardjo
Toto Rahardjo
Exit mobile version