CakNun.com

Menyadari Seruan Langsung dari Allah hingga Resolusi Ahlul Ludruk

Catatan Majelis Maiyah Padhangmbulan, 19 Februari 2019, Bagian 3/habis

Para pemain hanya memerlukan treatment, semacam kesepakatan bersama tentang garis besar adegan per adegan, tidak perlu panduan detail seperti tertulis dalam skenario pementasan drama modern. Hal itu menjadi mudah karena ludruk telah menjadi darah daging, sudah nggetih dalam aliran kesadaran para pemain. Mereka ngludruk bukan saat di atas panggung saja—hidup sehari-hari pun mereka jalani dengan kesadaran ludruk.

Saya jadi teringat pembahasan tentang maestro yang pernah disampaikan Mbah Nun. Cak Ketut, Cak Langgeng dan Cak Taji adalah para maestro—mereka menjadi tuan rumah ludruk dalam diri mereka. Ya, mereka adalah ahlul ludruk, orang yang menemukan fadlilah Tuhan.

Mbah Nun juga menyampaikan peran hidayah Tuhan dalam setiap pementasan. Hanya berbekal kesepakatan garis besar adegan per adegan, para pemain dituntut untuk ahli melakukan improvisasi secara spontan. Improvisasi antar para pemain ini akan gagal kalau tidak dipandu oleh hidayah Tuhan.

Dan lihatlah, sekecil atau seremeh apapun konflik yang ditampilkan oleh Cak Ketus Cs, berhasil membuat hati kita bergembira. Hanya gara-gara mangkel sebab salah paham ditawari kernet bus jurusan Surabaya, alur guyonan menggelinding renyah dan mengocok tawa jamaah. “Bekal untuk bahagia itu sederhana,” tandas Mbah Nun. “Kamu bahagia atau tidak bergantung pada tingkat resolusi hidupmu.”

Bahkan Mbah Nun sendiri tidak segan untuk menyatakan, “Sak jane aku iki yo ludrukan.” Maksudnya, walaupun Beliau tinggal dan hidup lama di Yogyakarta, bahkan melanglang buana hingga ke sudut-sudut terpencil dunia, bergaul dengan beragam kalangan dan berinteraksi dengan bermacam-macam budaya, personalitas sebagai wong nJombang tidak pernah luntur. Pada kesempatan yang lain, Mbah Nun bahkan menyampaikan, “Aku iki arek angon desa Mentoro.”

Silakan para sedulur Maiyah mencakrawalai sendiri pernyataan Mbah Nun tersebut dengan satu catatan: personalitas kita adalah anugerah dari Tuhan. Identitas hendaknya tidak menggeser personalitas.

Malam itu Tuhan menghadirkan adegan min haitsu laa yahtasib. Usai penampilan ludruk Wijaya Kusuma, Mbah Nun menyerahkan amplop yang berisi sejumlah uang entah berapa sebagai ungkapan kemesraan antara jamaah Padhangmbulan dengan para maestro ludruk. Sesaat kemudian Mbah Nun melepas kopiah Maiyah yang Beliau kenakan. Dengan menggunakan kopiah tersebut jamaah diajak berbagi kemesraan sesuai kemampuan “resolusi” uang masing-masing.

Terkumpul sekitar lima juta rupiah dari jamaah. Mas Didik diminta membuka amplop dari Mbah Nun dan menghitung jumlahnya. Amplop itu berisi tujuh juta rupiah. Total rezeki min haitsu laa yahtasib malam itu sekitar dua belas juta rupiah, dan diserahkan langsung oleh perwakilan jamaah Padhangmbulan kepada Mas Didik.

Bulan depan pengajian Padhangmbulan akan kembali hadir. Mengutip ungkapan Mbah Nun dalam Tajuk berjudul Master Key of Maiyah: “Segala jenis rasa syukur, segala model kebingungan, segala macam stress dan frustrasi, segala formula akhlaq dan perlakuan, segala cara untuk mengayomi, mengasuh, merawat, menjaga dan nguri-uri Indonesia sudah dimaiyahi,“—kita patut bertanya kepada diri sendiri, apakah resolusi hidup kita mengalami peningkatan? []

Lainnya

Exit mobile version