Master Key of Maiyah
Sinau Bareng sebagai salah satu metode penjalinan nilai (komunikasi yang bermuatan silaturahmi) sudah dijalankan ribuan kali di ribuan tempat dan ratusan titik lainnya.
Segala muatan kehidupan alam, manusia dan sejumlah makhluk lain sudah disentuh, dirambah, bahkan diselami dan didalami.
Segala wilayah ilmu dan daerah-daerah pengetahuan sudah dikembarai, dipelajari, belajar dari itu semua, dicatat, dianalisis, diobjektifi, dijernihi dan diilmui serta dihikmahi.
Segala kemungkinan ijtihad, inovasi, invensi, fenomenologi, time tunneling ke masa silam dan masa depan, sudah diupayakan secara maksimal.
Sangkan paran dari Allah Swt Al-Awwal wal-Akhir, Al-Hayyu al-Qoyyum, dialektika kehidupan dan maut, berbagai makna hidup dan arti kematian, sudah dikhusyuki dan di-ta’qil maupun di-ta’aqqul.
Segala hal tentang makhluk ajaib yang bernama Indonesia sudah dikelilingi, dibulat-pandangi, dijarak-pandangi, digendong dengan cinta, diperlakukan penuh kasih sayang dan disinau-barengi dengan empati dan cinta — jauh melebihi Indonesia mempelajari dirinya sendiri beserta seluruh penduduk dan penghuninya.
Segala jenis rasa syukur, segala model kebingungan, segala macam stress dan frustrasi, segala formula akhlaq dan perlakuan, segala cara untuk mengayomi, mengasuh, merawat, menjaga dan nguri-uri Indonesia sudah dimaiyahi.
Para Jannatul Maiyah, Jamaah Maiyah, Warga Maiyah, Simpatisan Maiyah, ikan-ikan di lautan Maiyah, partikel-pertikel hidup di udara Maiyah, dan semuanya, sudah menemukan kedaulatan dirinya. Sudah menemukan kematangan hidupnya. Sudah menegakkan keseimbangan riwayatnya. Sudah mengutuhkan dan membulatkan eksistensi dan perannya. Sudah mengubah sejarahnya. Sudah mengakarkan diri dan diakrabi dengan ketenangan batin dan kenyamanan jiwa. Sudah tegak mentalnya. Teguh jiwanya. Tatag madhep mantep ke masa depannya.
Manusia-manusia Maiyah sudah membijaksanai hidupnya masing-masing, keluarga dan masyarakat setitarnya.
Akan tetapi rasanya Maiyah masih minus bagi sejarah Indonesia. Maiyah bukan hanya masih kurang bermanfaat bagi Indonesia, bahkan belum dikenal oleh Indonesia. Jangankan diapresiasi, dilihat gunanya, atau diharapkan perannya. Dikenal sewajarnya pun belum.
Tetapi apakah Indonesia harus kenal Maiyah? Apakah Indonesia memerlukan Maiyah? Apakah ada hal-hal dalam Maiyah yang membuat Indonesia merasa perlu hidup dan bekerjasama dengannya?
Maiyah sampai hari ini masih merupakan Jalan Sunyi, lorong kesenyapan, suara yang tak terdengar, warna yang tidak tampak, nyanyian dalam sepi, tembakan-tembakan ke ruang kosong, gol tanpa gawang, senapan tanpa sasaran, angin tanpa ruang.
Hari ini aku mendengar beribu-ribu suara yang menyertai perulang-ulangan firman Allah SWT: “Fabiayyi alai Robbikuma tukadzdziban...”
Di kerumunan riuh rendah suara yang beribu-ribu lapisan itu terdapat kata yang terselip di tengah-tengahnya: “Master Key of Maiyah”.
Tetapi kata itu membungkam mulutku. Sementara telingaku melebar seluas ruang alam semesta. Aku siap mendengarkan suara-suara berikutnya terlebih dulu, yakni yang terdengar dari para penghuni wilayah Semesta Maiyah, sekurang-kurangnya dari para penduduk Negeri Maiyah.
Yogya, 17 Februari 2019
Emha Ainun Nadjib