Atmosfer yang Compatible dengan Turunnya Hidayah
Kamis kliwon malam Jum’at legi, pada awal bulan (1/10/2020), Pengajian Padhangmbulan dilangsungkan dalam suasana sederhana dan apa adanya. Masih bertempat di sebelah timur ndalem kasepuhan, malam itu hadir Cak Dil, Cak Yus, Cak Amin Bangbangwetan serta teman-teman jamaah yang setia dan menyetiai pengajian Padhangmbulan hingga tuntas.
Tidak ada tema spesifik yang ditentukan. Namun, sebagaimana tradisi pengajian Padhangmbulan yang pembahasannya kerap mengandalkan “takdir”, dialog justru mengalir secara natural. Pembahasan seputar kegiatan menanam di lingkup pertanian, perjodohan antara tanah, bibir, air, udara dan elemen alam lainnya dicermati tidak terutama sebagai peristiwa alam biasa. Tuhan hadir di setiap perjodohan itu.
Cak Yus menekankan pentingnya mengubah mindset ketika kita berhadapan dengan temuan-temuan baru. Kotoran hewan misalnya, yang selama ini dibuang-buang, sesungguhnya bisa dimanfaatkan melalui proses daur ulang. Selain bisa diproses jadi pupuk kandang, kotoran hewan memiliki potensi lebih dari yang selama ini kita ketahui. Untuk itu, mindset harus dibenahi, demikian ujar Cak Yus.
Saya jadi teringat Mbah Nun yang kerap berpesan agar konsep membuang sampah perlu dikaji ulang. Sampah adalah produk kebudayaan manusia modern. Sedangkan dalam konsepsi hubungan Khaliq dan makhluk tidak ada konsep sampah — polusi, limbah atau apapun yang harus dibuang dan disingkirkan. Memang sulit dimengerti: mosok Tuhan menciptakan konsep sampah dan barang buangan?
Kesadaran kita adalah kesadaran yang dituntun oleh rabbanaa maa khalaqta haadzaa baathilaa. Ulul albab disebut Allah sebagai “Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.” (Q.S. Ali Imran: 191)
Ciptaan Tuhan tentu bukan hanya benda atau materi yang kasat mata. Realitas, fakta, fenomena, gejala alam, perilaku sosial, ekonomi, politik, budaya, agama — mulai ruang lingkup komunal global hingga detail perilaku individual — merupakan ayat yang “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Q.S. Ali Imran: 190)
Pada konteks itu, Mbah Nun menawarkan perilaku Daur. Tidak ada sampah karena “yang terbuang” bisa didaur kembali sehingga tidak ada yang sia-sia terbuang.
Bagaimana kita melakukan daur pikiran di tengah kepungan wabah? Mas Hilmi, seorang guru dari Surabaya, menemukan hikmah bahwa dalam pembelajaran daring akibat wabah Corona, siswa dan guru saling merindukan kegiatan belajar secara tatap muka. Kerinduan yang kini kembali muncul setelah hilang selama puluhan tahun akibat kegiatan belajar di sekolah dijejali oleh formalisme pendidikan.
Bahkan tingkat stres orangtua yang mendampingi anak belajar di rumah justru disebabkan oleh penerapan kurikulum dan mata pelajaran yang mbundel nyingseti. Bahan pelajaran sangat padat tapi lemah relevansinya dengan dasar-dasar filosofi pendidikan. Semua keribetan dan keributan pendidikan itu tidak lebih untuk memenuhi nafsu industrialisme yang resmi menjadi madzhab pendidikan modern.
Salah satu dasar filosofi belajar yang diungkapkan oleh Cak Dil adalah gembira saat belajar. Orangtua memang tertekan mendampingi anak-anak belajar. Tapi, apakah anak-anak juga mengalami hal yang sama? Belum tentu, karena bagaimanapun dunia anak-anak adalah dunia bermain. Di sela-sela kegiatan belajar di rumah mereka bisa “mencuri waktu” kapan saja untuk sepedahan, balbalan, play(on). Aktivitas yang selama ini dianggap mengganggu proses belajar.
Tantangannya, di tengah wabah seperti ini bagaimana kita memiliki kelengkapan cara pandang yang akurat dan seimbang agar bisa mereguk air suci rabbanaa maa khalaqta haadzaa baathilaa di setiap jengkal kesadaran kita?
Malam itu Pengajian Padhangmbulan tidak sekadar menjawab pertanyaan oleh opo alias dapat apa. Laba materi bukan orientasi utama. Laba kekuasaan juga bukan tujuan primer. Bagi manusia nilai, manusia ruang, menikmati atmosfer yang compatible dengan turunnya hidayah dari langit adalah nikmat yang tak bisa didustakan.