CakNun.com

Keutuhan Ketakdhiman Abah Yai

Rizky D. Rahmawan
Waktu baca ± 3 menit

Boleh dibilang Abah Yai ini beruntung, sebab Pondok Pesantrennya pernah berkesempatan untuk dirawuhi secara khusus oleh Mbah Nun. Kala itu Mbah Nun rawuh dalam rangka memenuhi undangan tasyakuran hari ulang tahun pesantren yang Abah Yai rintis dan rawat selama 15 tahun.

Pesantren yang Abah Yai pimpin terbilang muda juga mungil. Muda sebab usianya masih sangat belia, mungil sebab sejak ia rintis pesantren itu sedari Abah Yai lulus mondok itu hingga kini jumlah santrinya masih berjumlah puluhan, tidak sampai menembus angka ratusan.

Kalau digabung dengan murid PAUD dan Aliyah, divisi sekolah formal yang ada di kompleks pesantren jumlahnya baru sekitar 150 anak. Pesantren yang tidak bertembok dengan warga itu halaman belakangnya bersambung langsung dengan sawah dan kolam-kolam ikan, laboratorium alam bebas bagi santri-santrinya.

Abah Yai ini masih muda, baru menginjak 41 tahun usia. Murah senyum dan berperangai santun adalah ciri khasnya. Santri-santri yang bandel jangankan pernah dijewer apalagi disetrap, bahkan ditegurpun mungkin tidak pernah. Pola pendidikan yang Abah Yai terapkan memang lain dari yang lain. Banyak yang berdecak heran, apa gerangan aliran pendidikan yang dianut Abah Yai. Tidak ada pemaksanaan disiplin, tidak ada galak-galakan.

Namun, mungkin sebab berkah dari ketulusan dan ketelatenan Abah Yai, pesantren tak kurang-kurang dari perolehan prestasi. Ketika terakhir kali Mbah Nun & Kiai Kanjeng hadir di Alun-Alun Kota beberapa waktu lalu, santriwati-santriwati asuhan Abah Yai secara spontan mendapat kesempatan tampil di atas panggung. Mereka melantunkan beberapa nomor sholawat dengan penuh percaya diri. Mereka juga berkesempatan berdialog dengan Mbah Nun.

Mbah Nun sangat mengapresiasi kepercayaan diri dan keberanian para santriwati saat tampil. Selain penuh percaya diri, mereka juga tampil secara lugu sesuai orisinalitasnya, tidak dibuat-buat, begitu adanya, tetapi menarik penampilannya. Tak heran ketika pada kesempatan Maiyahan beberapa hari berikutnya yakni di Kenduri Cinta, Mbah Nun menuturkan ulang kesan Beliay terhadap penampilan santriwati-santriwati itu.

Bahwa setiap orang mempunyai modalitas yang berbeda-beda. Santriwati-santriwati itu bakatnya berani dan kendel. Bakat menjadi anak metal sebetulnya. Untunglah mereka ditemukan oleh pengasuh yang tepat sehingga menjadi pelantun sholawat yang lantang dan percaya diri.

Bagi yang menyaksikan penampilan percaya diri, suara lantang dan aksi yang tidak gojak-gajek di panggung kala itu, mungin menebak pasti Abah Yai-nya juga garang bahkan mungkin galak. Tetapi siapa menyangka, justru kebalikannya, kalau Abah Yai adalah perangai yang santun dan begitu tawadhu’.

Pada kesempatan Mbah Nun hadir di Alun-Alun Kota kemarin, ndilalah bersamaan dengan Abah Yai mempunyai jadwal lain di kota yang berbeda, sehingga ia tidak bisa hadir di acara. Namun, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan bersilaturahim dengan Mbah Nun, Abah Yai datang lebih awal menuju tempat transit di bungalow sebuah penginapan. Kala itu, sejak bakda Ashar Abah Yai sudah datang di teras bungalow hendak sowan ke Mbah Nun.

Sayangnya, Mbah Nun baru saja masuk untuk beristirahat setelah sebelumnya menempuh perjalanan jauh. Abah Yai pun dengan setia menunggu di luar. Ia datang bersama istri dan anak-anaknya. Termasuk anak bungsu yang baru lahir. Selain silaturahim, keperluan Abah Yai adalah memohon suwuk untuk anak bungsunya. Ketika Mbah Nun rawuh di pondok tahun lalu dan dimohonkan do’a kepada Mbah Nun, si bungsu masih di dalam kandungan.

Memilih ngleseh bersama panitia di Teras. Abah Yai setia menunggu. Ketika menjelang Adzan Magrib, sudah cukup lama Abah yai menunggu, saya melihat ia jengkar dari duduknya. Pikir saya, Abah Yai hendak berpamitan pulang dan menitip salam saja untuk Mbah Nun. Memang kumandang adzan seringkalidijadikan excuse yang ringan untuk berpamitan dengan sopan saat bertamu.

Tetapi ternyata Abah Yai tidak hendak pamit, Abah Yai bangkit dari duduknya untuk beranjak menuju tempat untuk menunaikan sholat Maghrib. Usai Maghriban, Abah Yai kembali ke teras. Tetap setia ia menanti Mbah Nun selesai istirahat dan berkenan menerima tamu.

Hingga beberapa waktu kemudian Mbah Nun sudah selesai beristirahat dan bersiap-siap untuk menuju alun-alun Kota. Menjelang adzan Isya, akhirnya penantian panjang Abah Yai terbayar. Ia berjumpa dengan Mbah Nun dan memintakan suwuk untuk anak bungsunya.

Abah Yai ini, meski terbilang ulama muda, tetapi cukup di-takdhim-i oleh semua kalangan. Ulama-ulama sepuh mengaguminya sebab kesetiaan dan ketekunannya dalam merintis dan merawat pondok. Bantuan untuk pondok lebih banyak dibantu sekeliling tidak pernah pontang-panting membikin proposal. Sehingga pondoknya tumbuh begitu alamiah, tanpa prestasi kebesaran yang wah, kalah jauh dengan pondok-pondok yang jauh lebih besar.

Bupati dan para pejabat juga sangat respek kepada Abah Yai, sebab ia memilih untuk tidak ikut cawe-cawe di pemerintahan. Terompah Abah Yai sangat mahal untuk menyentuh lantai Pendopo. Tidak sedikit tawaran-tawaran bantuan yang indikatif bersayap politis ditolak tanpa eman-eman.

Lempengnya Abah Yai juga ditunjukkan dengan kesetiannya pada pondok. Demi kesetiaannya, bahkan ia memilih menjadi nahdliyin gel-gelan. Maksudnya, ia tidak menerima jabatan kepengurusan formal di NU Kabupaten. Padahal ia berpeluang besar untuk itu.

Pada saat Mbah Nun & Kiai Kanjeng sedang sianu bareng di Alun-Alun Kota. Sebab Abah Yai tidak bisa mengikuti acara tersebut, Abah Yai sempat menelpon salah satu kawan saya. Lalu meminta kawan saya membiarkan teleponnya agar jangan ditutup, hingga lebih setengah jam ia menyimak wejangan-wejangan dari Mbah Nun dari balik gagang telepon.

Dari Abah Yai, saya belajar mengenai keutuhan ketakdhiman. Apa yang tidak saya miliki sebab mungkin saya tidak menempuh penempaan sebagaimana yang Abah Yai remaja tempuh di pondok pesantren.

Keutuhan ketakdhiman yang membuat meskipun ia seorang Abah Yai tetapi tak jengah menunggu momen pertemuan dengan sosok yang ia takdhim-i. Meski harus nglemprak di teras berlama-lama.

Keutuhan ketadkziman yang membuat Abah Yai tidak melik jabatan politik, jabatan structural organisasi serta tidak tergiur oleh iming-iming proposal. Serta Keutuhan ketakdhiman yang membuat santri-santri asuhan Abah Yai tumbuh berprestasi sesuai dengan otentisitasnya masing-masing.

Lainnya

Mengantar Anak-anakku Ke Gerbang Peradaban Baru

Mengantar Anak-anakku
Ke Gerbang Peradaban Baru

Abad 20-21 di muka bumi adalah Abad Talbis. Talbis adalah strategi global di mana Iblis berkostum dan bermake-up wajah seperti Malaikat. Adam dan Hawa diperdaya. Juga kita semua anak turunnya. Neraka diperkenalkan sebagai Sorga, juga sebaliknya.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version