Supremasi Pendidikan Adalah Mendidik Anak Menemukan Fadilahnya


Membenahi Narasi Cara Berpikir
Jelang akhir tahun pelajaran, beberapa rekan, sahabat, tetangga, hingga saudara, mengirim pesan WA kepada saya. Isi pertanyaan mereka nyaris sama. Menanyakan tentang syarat pendaftaran, sistem zonasi, biaya masuk sekolah, atau uang gedung, dan tak ketinggalan perihal mutu kualitas sekolah. Pertanyaan tersebut wajar terlontar. Mereka, para orangtua ingin menggali informasi selengkap mungkin sebelum memutuskan anaknya akan sekolah di mana.
Sebagai seorang pengajar, yang sekaligus orangtua, saya tidak serta merta menjawab ragam pertanyaan dari mereka. Bahkan yang saya sampaikan ke mereka bukan jawaban final. Tetapi lebih ke narasi cara berpikir. Agar para orangtua tidak gegabah, dan bersikap bijak dalam menentukan pilihan.
***
Sampai hari ini, tak ayal masih banyak orangtua yang berhasrat menyekolahkan anaknya di sekolah dengan label favorit atau unggulan. Sekolah unggulan dianggap berkualitas dalam segala hal. Baik tenaga pendidiknya, fasilitas sekolah, sarana dan pra-sarana, berikut sistem pembelajaran yang diterapkan.
Tidak ada yang salah orangtua menyekolahkan anaknya di sekolah unggulan. Asal orang tua mampu (secara finansial) dan si anak mau. Sayangnya, terkadang orang tua memaksakan anak masuk di sekolah unggulan, padahal si anak sebetulnya tidak menginginkannya.
Pertanyaannya, yang mau sekolah itu anak atau orang tua?
Tidak Ada yang Unggul, Semua Bersifat Relatif
Bicara sekolah dengan label unggulan, rasanya kini sudah tabu. Pasalnya sekarang berlaku yang namanya sistem zonasi. Di mana syarat siswa bisa masuk ke sekolah itu berdasarkan jarak tempuh rumah calon siswa dengan sekolah. Bukan lagi dengan skor nilai ujian (NEM), atau piagam prestasi.
Dengan demikian, sistem zonasi berdampak pada randomnya kemampuan IQ & EQ para siswa. Ekosistem kelas dan sekolah menjadi beragam. Kompleks. Bermacam-macam. Lantas, masihkah pantas sekolah mengklaim diri sebagai sekolah unggulan? Apa parameternya?
Jika sekolah mengaku dirinya unggul, maka yang diprioritaskan adalah pemasaran. Promosi ke publik untuk “menjual” keunggulannya. Dalam konteks ini, di sebuah jurnal di kanal caknun.com, Mbah Nun sempat menyinggung. Bahwa kalau dirimu cantik, jangan ngomong sendiri kamu cantik. Tapi biarkan orang lain yang mengatakan kamu cantik. Sebab kalau dirimu mengatakan sendiri, itu namanya kemayu. Begitu pula dengan unggul. Biarkan publik yang menilai sekolah itu unggul atau tidak. Kalau sekolah kok mengatakan/ melabeli dirinya sendiri unggul, itu lebih condong ke arah sombong.
Sebetulnya, tidak ada sekolah yang benar-benar unggul. Semua bersifat relatif. Mungkin sekolah A unggul di bidang X dari sekolah B. Di sisi lain, sekolah B unggul di bidang Y, dari sekolah A. Sementara itu, sekolah C, D, E, atau F, mungkin juga punya keunggulan di bidang lain dibanding sekolah A dan B. Dan seterusnya.
Begitu pun manusianya. Dalam kasus ini murid/ siswa. Siswa A mungkin unggul di matematika. Siswa B unggul di bahasa Inggris. Siswa C unggul di olahraga sepakbola. Siswa D unggul di bidang saint. Siswa E unggul di seni olah vokal. Siswa F unggul di seni tari. Dan lain-lain.
***
Keberadaan sekolah atau siswa tidak untuk saling mengungguli satu sama lain. Setiap anak (siswa) pasti memiliki (dikaruniai) keunggulan masing-masing. Demikian pula sekolah. Dan sekolah, dalam hal ini para guru menjadi garda terdepan pendidikan yang bertugas mendeteksi aneka potensi keunggulan (fadilah) para siswa untuk kemudian digali, dipupuk, disupport, dibimbing, dilatih, dipoles, agar terus tumbuh kembang dan bersinar (grow and glow).
Di samping pengajaran dan pengembangan potensi anak dilakukan di sekolah, orangtua di rumah juga wajib mendukung aktif. Jangan pasrah bongkokan kepada sekolah. Kita tahu, durasi anak di sekolah dengan di rumah lebih banyak di rumah. Maka mentor utama pendidik dan pembimbing anak tetap ada di pundak orangtua. Madrasah pertama anak adalah orangtua. Terlebih seorang ibu. Dan seyogianya, para orangtua dan guru saling berkomunikasi — bersinergi dalam mendampingi proses belajar anak.
Supremasi Pendidikan
Tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati hari Pendidikan Nasional. Apa yang kita lihat hari ini, pendidikan kita semakin diseret kapitalisme. Salah satunya dengan label sekolah unggulan. Dengan memakai tagline unggulan, sekolah ingin mencari murid sebanyak-banyaknya. Dengan mendapatkan murid banyak, maka laba keuntungannya juga banyak. Demikian cara kerja kapitalisme.
Jika sistem kapital digunakan dalam dunia pendidikan, maka fokusnya adalah untung rugi. Mekanismenya, dagang atau dodolan. Meski faktanya, dalam praktik pendidikan sekolah terdapat unsur dagangnya juga. Sekolah butuh dana untuk membeli piranti ruang kelas, perangkat pembelajaran, bangun gedung, dan segala tetek bengek yang dibutuhkan instansi sekolah. Dan itu tidak bisa dihindari. Akan tetapi itu bukanlah esensi.
Seperti yang diungkapkan Mbah Nun, supremasi pendidikan di sekolah/ madrasah/ pesantren bukan pada urusan label favorit atau unggulan, punya murid/ santri yang banyak, memiliki fasilitas yang lengkap atau memadai. Itu semua hanya penunjang. Tetapi supremasi pendidikan adalah mendidik anak menemukan fadilahnya (keunggulannya) sehingga kelak bermanfaat bagi dirinya dan khalayak.
***
Di bulan pendidikan ini, telah 72 tahun Mbah Nun hidup mendidik kami. Baik lewat tutur, teladan, maupun tulisan. Beliau adalah guru bangsa. Tetapi biar kami yang menyebutnya. Tidak pernah habis mata air nilai dari Simbah yang kami uyup. Kami terus belajar menebar nilai-nilai itu. Seturut fadilah dan ranah kami masing-masing. Tidak ada yang lebih indah yang kami hadiahkan untuk Simbah, selain doa Al-fatihah. Setiap saat. Sepanjang hayat.
Gemolong, 7 – 8 Mei 2025