Membaca Diri dalam Cermin Retak: Sastra, Sejarah, dan Politik Jawa


Begini lho, Saudara-saudara…
Saya ini wong Jawa. Lahir, besar, dan hidup dalam tanah yang katanya subur makmur loh jinawi. Tapi suatu hari, saat saya duduk menyimak narasi soal sejarah perang Diponegoro, sastra Jawa, dan transisi sosial dari kraton ke rakyat lalu balik lagi ke kraton, saya tiba-tiba merasa jadi orang asing di rumah sendiri.
Bukan karena ceritanya membosankan. Justru asik banget. Mengalir, mengajak kita menyusuri sungai-sungai sejarah yang selama ini ditutup rapat rapat dengan gundukan ingatan yang disusun penguasa. Tapi, ya itu tadi, kesimpulan saya sederhana saja: saya ternyata tidak ngerti apa-apa.
Lha kok bisa? Karena sejak kecil kita ini tidak pernah dikasih bahan bacaan yang mengajak kita mengenal siapa sebenarnya diri kita, dari mana kita berasal. Yang kita hafalkan sejak SD adalah nama-nama raja dari India, pahlawan nasional yang dibekukan dalam poster dinding kelas, dan narasi sejarah yang tidak pernah selesai. Tidak ada pelajaran yang benar-benar membuka kisah: bagaimana kesusastraan Jawa berkembang, bagaimana politik di tanah Jawa ini sejak sebelum Hindu sampai ke Orde Baru itu berganti rupa, tapi tetap saja menyimpan pola yang sama: kekuasaan selalu bermain di atas kertas, rakyat di bawah hanya membaca dengan lidah tergigit.
Saya baru tahu — dan ini saya tulis dengan perasaan malu campur geli – bahwa dinasti Mataram Islam yang sekarang berlanjut di Yogyakarta itu asal-usulnya bukan dari ningrat tinggi, tapi dari petani Blora. Lah iya to? Petani yang naik kelas karena kekuasaan, dan lalu sistem bahasa dibikin: ngoko – kromo inggil, untuk mengukuhkan kelas sosial. Bahasa jadi alat kekuasaan, bukan lagi alat komunikasi. Dari situlah sastra Jawa berkembang — bukan hanya jadi tembang atau serat, tapi juga jadi pagar kekuasaan. Yang boleh menulis dan dibaca adalah mereka yang duduk di kraton. Yang di luar kraton? Menyimak sambil menunduk.
Tapi sejarah ini tidak selalu berjalan satu arah. Ada masa ketika rakyat mengambil kembali ruang sastra. Ketika tembang-tembang rakyat, cerita rakyat, dan budaya lisan menjadi lebih hidup dibanding serat-serat istana. Tapi setelah itu? Kembali lagi kraton mengambil alih. Mungkin karena kekuasaan selalu ingin punya panggung, dan rakyat selalu punya cerita tapi tak diberi mikrofon.
Bahwa sejak zaman Diponegoro, sudah terjadi dikotomi yang jelas: siapa yang pro-kolonial, siapa yang melawan. Tapi sejarah menulisnya dengan kabur. Yang melawan jadi pemberontak, yang menjilat malah dipuja. Dan kemudian, sejarah kita dihancurkan lagi pada 1965. Bukan hanya orang-orang yang dibunuh, tapi seluruh epistemologi — cara berpikir, cara bertanya, cara memandang dunia — juga dibumihanguskan. Yang tersisa hanyalah buku paket dan kurikulum yang tak pernah jujur.
Kalau bangsa ini tak berani menyelami sejarahnya, maka kita akan selalu kebingungan dalam menghadapi diri sendiri. Kita akan jadi bangsa yang terus menerus bertanya: siapa kita ini sebenarnya? Dan itu bukan pertanyaan filsafat yang butuh dijawab oleh profesor. Itu pertanyaan anak SD yang mestinya sudah dapat jawabannya di ruang kelas yang sederhana.
Tapi karena pendidikan kita sejak dini tidak mengajarkan membaca diri, maka kita tumbuh jadi dewasa yang fasih membaca luar negeri tapi gagap menjawab soal kampung sendiri.
Ya begitulah.
Kadang saya merasa, bangsa ini seperti sedang berkaca pada cermin yang retak. Gambarannya selalu terpecah. Tapi kita tetap nekat menyisir rambut sambil tersenyum palsu.
Pecaz ndahe.
(Dan cermin itu, ya kita sendiri.)
Nitiprayan, 7 Mei 2025