CakNun.com

Koperasi Rasa Orde Baru: Dari Rakyat, oleh Instruksi, untuk yang di Atas

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 3 menit
Photo by Zaphiel Quinveil on Unsplash

Katanya dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Tapi di Indonesia, rumus itu sering diubah jadi dari rakyat, oleh pejabat, untuk konglomerat. Coba lihat koperasi. Di buku-buku kuliah, terutama yang ditulis Bung Hatta — Bapak Koperasi kita yang sungguh sayang tanah air tapi mungkin kini hanya bisa geleng-geleng kepala di alam baka — koperasi itu adalah perwujudan dari kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Sebuah lembaga bersama yang mengedepankan kesetaraan, solidaritas, dan partisipasi. Singkatnya, koperasi itu rakyat kecil kumpul bareng biar nggak kecil terus.

Tapi begitu turun ke bumi Nusantara yang penuh intrik dan surat edaran itu, semua berubah. Di belahan dunia lain, koperasi tumbuh dari jerih payah rakyat: petani, nelayan, tukang becak, sampai ibu-ibu arisan. Tapi di Indonesia, koperasi bisa lahir dari sepucuk surat edaran, atau lebih hebat lagi: instruksi Presiden! Bayangkan, organisasi rakyat dibentuk pakai gaya militer. Ini koperasi apa pasukan serbu?

Koperasi yang mestinya punya prinsip “one person, one vote” — satu orang satu suara — malah diganti dengan prinsip baru: “one man for all.” Jadi satu orang yang punya kuasa, bisa menentukan nasib semua anggota. Demokrasi koperasi jadi kayak pemilu zaman orba, sudah ada hasilnya bahkan sebelum rakyat mencoblos.

Bisa kita bayangkan rapat anggota koperasi di desa-desa yang harus nunggu “petinggi kecamatan” datang dulu biar sah. Anggota koperasi yang mau protes malah disuruh diam, “Ndak usah repot mikir, ini sudah dari atas.” Kalau Bung Hatta dulu menyebut koperasi sebagai jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme, di Indonesia koperasi berubah jadi jalan tikus menuju proyek pemerintah yang asal-asalan.

Barangkali ini semua terjadi karena bangsa kita belum sungguh-sungguh percaya pada kekuatan rakyat. Kita masih merasa bahwa kalau tidak ada komando dari atas, rakyat pasti bingung, kacau, dan gagal. Maka koperasi pun harus diberi petunjuk teknis, struktur organisasi, baju seragam, dan jangan lupa: laporan pertanggungjawaban tahunan yang tebal tapi tidak pernah dibaca.

Namun jangan menyerah dulu. Koperasi sejati masih ada. Ia hidup di pasar-pasar tradisional, di komunitas petani organik, di kelompok ibu-ibu kampung yang menyiasati harga minyak goreng. Mereka tidak pernah belajar koperasi dari seminar nasional, tapi dari gotong royong, dari musyawarah, dan dari prinsip sederhana: kita kuat karena bersama.

Yang perlu kita lakukan bukan membangun koperasi dari instruksi, melainkan dari kesadaran. Kesadaran bahwa hidup ini bukan perlombaan siapa paling kaya, tapi perjuangan siapa yang paling mampu berbagi.

Dan kepada Bung Hatta di alam sana, maafkan kami yang telah mengubah idealismemu menjadi proyek pelat merah. Tapi tenang, Bung. Masih ada anak cucu bangsa ini yang sedang belajar membangkitkan kembali koperasi: bukan dari kertas, tapi dari hati.

Di negeri ini, koperasi bisa mati karena terlalu banyak aturan dari atas. Tapi bisa juga hidup kembali kalau kita mulai percaya pada kekuatan dari bawah. Sebab perubahan besar tidak selalu datang dari gedung tinggi — kadang cukup dari warung kopi kecil, di mana orang-orang biasa berbicara jujur dan bekerja bersama.

Kita harus jujur mengakui: koperasi di Indonesia bukan gagal karena rakyat tidak mampu, tapi karena terlalu sering dirampas oleh birokrasi, dijadikan alat proyek, dan dikungkung dalam struktur yang tidak demokratis. Prinsip “dari, oleh, dan untuk rakyat” tak lebih dari slogan di spanduk pelatihan, sementara praktiknya adalah “dari rakyat, oleh elit, untuk segelintir.”

Selama koperasi masih diperlakukan sebagai perpanjangan tangan kekuasaan, bukan sebagai alat kedaulatan rakyat, maka ia akan terus jadi boneka administrasi. Kita tidak kekurangan konsep, tidak kekurangan sejarah, bahkan tidak kekurangan tokoh panutan seperti Bung Hatta — yang kita kekurangan adalah keberanian untuk membebaskan koperasi dari kungkungan negara dan mengembalikannya ke tangan rakyat.

Jika koperasi sejatinya adalah bentuk perlawanan terhadap ketimpangan, maka membangun koperasi hari ini bukan sekadar urusan ekonomi, tapi tindakan politik: politik membela yang lemah, meruntuhkan dominasi segelintir, dan menegakkan kembali martabat rakyat. Tanpa itu, koperasi kita tak lebih dari nama indah dengan isi palsu — semacam gedung megah yang kosong, dipakai rapat sekali setahun, lalu dikunci kembali oleh yang merasa punya kunci.[]

Nitiprayan, 31 Juli 2025

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Governmental Organization Tutup Buku

Governmental Organization Tutup Buku

Era 1990-an itu, bukan hanya zamannya celana cutbray terakhir sebelum punah, atau kaset pita yang kalau pitanya kusut kita gulung pakai pensil 2B.

Redaksi LKMS
LKMS
Exit mobile version