CakNun.com

Ilmu, Gelar, Uang: Sebuah Jalan Sepi yang Ramai

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 3 menit
Photo by Bob Price

Katanya mencari ilmu. Tapi apa iya? Sebab yang dicari ternyata bukan ilmu, melainkan gelar. Katanya mengejar gelar, tapi ujung-ujungnya cuma supaya dapat kerjaan. Katanya butuh kerjaan, tapi ternyata cuma ingin uang. Maka kita bertanya-tanya, jangan-jangan sejak awal bukan ilmu yang dicari, tapi gaji bulanan. Dan ilmu hanya papan nama yang digantung di dahi untuk menipu diri sendiri.

Inilah nasib pendidikan kita yang sudah mirip terminal bus: ramai, sibuk, tapi orang-orangnya tidak tahu benar ke mana tujuan sejatinya. Mahasiswa kuliah bukan karena haus ilmu, tapi karena lapar pekerjaan. Dosen mengajar bukan karena cinta pengetahuan, tapi karena absen dan tunjangan profesi. Orang tua rela jual sawah agar anaknya kuliah tinggi — supaya nanti bisa duduk di kantor ber-AC dan nggak perlu lagi ikut panen padi.

Kita sudah terlalu lama disuruh ikut perlombaan yang kita sendiri tak tahu kenapa harus ikut. Sejak SD diajarkan bahwa nilai 100 adalah segalanya. Maka anak-anak kita bukan lagi pencari makna, melainkan pengejar angka. Padahal Einstein saja lulus kuliah dengan nilai pas-pasan. Tapi anak-anak kita dipaksa jadi ranking satu, padahal hidup tidak pernah memberi ranking, hanya memberi pelajaran.

Zaman Nabi dulu, orang mencari ilmu supaya bisa mengenal Tuhan. Zaman Wali Songo, orang belajar supaya bisa menebar kasih sayang. Sekarang? Ilmu diburu hanya agar bisa ikut CPNS atau daftar BUMN. Kalau bisa dapat gelar S2 dari luar negeri, wah, makin dipuja. Padahal tak jarang, setelah lulus, tak punya teman berdiskusi, tak punya guru tempat mengaji, tak punya murid untuk diajak berbagi.

Kita hidup di zaman di mana S1 dianggap belum cukup pintar, S2 belum cukup hebat, S3 belum cukup mapan. Tapi semua gelar itu tetap tak bisa menjawab pertanyaan sederhana: “Kamu ini belajar buat apa sih?” Dan jawabannya seringkali: “Ya supaya bisa kerja.” Kalau ditanya lagi, “Kerja buat apa?” Jawabannya polos: “Ya supaya dapat uang.” Kalau ditanya, “Uang buat apa?” Jawaban akhirnya mengejutkan: “Biar bisa sekolahin anak sampai S3 juga.”

Maka berputarlah roda kebingungan ini seperti komedi satir yang tak lucu-lucu amat. Ilmu dikerdilkan menjadi tiket. Gelar disulap menjadi topeng. Pekerjaan menjadi tuhan kecil. Dan uang? Uang adalah kiblat yang sujudnya kita pertahankan bahkan saat azan berkumandang.

Kita semua mungkin akan bertanya, “Apakah engkau sekolah untuk menjadi manusia, atau sekadar jadi pegawai negeri?” Sebab manusia sejati tidak gelisah soal gaji, tapi gelisah kalau hidupnya tak memberi arti. Ilmu bukan untuk dipamerkan di undangan pernikahan atau kartu nama, tapi untuk menyala dalam laku, berpendar dalam hidup, dan menghangatkan siapa pun yang bersentuhan dengannya.

Maka, kita berharap agar anak-anak kita tak tumbuh seperti kita: pintar tapi tidak bijak, sukses tapi hampa, bergelar tapi tak berguna. Mari kita ajari mereka bahwa ilmu adalah jalan pulang ke rumah jiwa. Bukan sekadar jalan pintas menuju kantor. Mari kita kembalikan ruh pendidikan sebagai pencarian makna, bukan perburuan jabatan. Agar kampus tak lagi jadi pasar gelar, dan sekolah tak lagi jadi pabrik ijazah. Karena ilmu bukan soal di mana engkau belajar, tapi untuk siapa engkau hidup.

Barangkali kita memang perlu rehat sejenak dari hiruk-pikuk perlombaan yang bernama pendidikan ini. Duduk bersila di pinggir jalan, menatap wajah anak-anak kita yang masih jernih. Lalu bertanya pelan-pelan, “Nak, kamu ingin jadi apa?” Bukan supaya bisa menjawab “dokter” atau “insinyur,” tapi supaya kita bisa tahu: apakah ia ingin jadi manusia yang utuh — yang belajar bukan untuk gelar, bekerja bukan demi gaji, dan hidup bukan sekadar mengejar angka-angka di rekening.

Ilmu yang sejati tidak membuat kita merasa tinggi, tapi membuat kita makin tahu betapa kecilnya kita. Gelar yang mulia bukan yang ditempel di belakang nama, tapi yang tersemat di laku hidup sehari-hari. Dan uang yang berkah bukan yang banyak jumlahnya, tapi yang memberi manfaat bagi banyak manusia.

Kalau begitu, mari pelan-pelan kita luruskan niat. Kalau mencari ilmu, niatkan untuk menyalakan cahaya. Kalau mencari kerja, niatkan untuk memberi guna. Kalau mencari uang, niatkan untuk berbagi. Karena pada akhirnya, hidup bukan soal apa yang kita dapat, tapi apa yang kita beri.[]

Pakem, 24 Juli 2025

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Governmental Organization Tutup Buku

Governmental Organization Tutup Buku

Era 1990-an itu, bukan hanya zamannya celana cutbray terakhir sebelum punah, atau kaset pita yang kalau pitanya kusut kita gulung pakai pensil 2B.

Redaksi LKMS
LKMS
Exit mobile version