CakNun.com
1979

Menghisap Klembak Menyan *)

Dari Kumpulan Puisi Nyanyian Gelandangan

Menghisap klembak menyan
Berselonjor di kursi panjang
Sinambi rengeng-rengeng
Merasakan zaman yang makin ngengleng

Menghisap klembak menyan
Ada yang aneh dari suara-suara gamelan Perkutut di serambi depan
Seperti sedang memanggil hantu siluman

Seperti ada yang menggertak
Tidur lelap kita
Di luar, langit retak
Oleh semburat cahaya

Apa yang kini bisa dipegang?
Berjalan ke utara malah sampai ke selatan
Ketenangan selama ini justru menakutkan
Bapak dan anak makin tak berkesinambungan

Awan berarak, cakrawala menggeliat
Muncul tanda-tanda dari kedipan bintang-gemintang
Lihatlah segala yang tak pernah terlihat
Tiap desah napas menyimpan pisau perang

Menghisap klembak menyan
Meredam derita dan kesengsaraan
Di tengah orang-orang berbondong-bondong
Akankah kita tempuh sebuah lorong

Nanti kalau ketemu Gusti Allah
Kita minta digendong!

Hm. Gamelan berdentang
Menyusuri inti sangkan paran
Langit amber banjir bandang
Masuk cangkir jadi wedang!

“Anakku Thole sing bagus dhewe!
Hiduplah seperti gamelan yang gandhem
Nguntal telor setengah matang
Nguntal cindhil, nguntal jagat
Dileg dadi sakkrikil

Gung lewang lewung
Ngudang perkutut manggung
Nyunggek mbulan aniani lintang
Para widadari dak wadahi keranjang!”

“Lhadalah Rama ini nglaras ya?”
“Ngudarasa, Le”
“Ya wis sekarepmu
“Wudasukma!”
Yang penting hidup ini mesti seneng
Daripada enggak seneng
Kan lumayan seneng tho, Le?”
“Inggih, Rama
Tinimbang ditagih utang
Luwih becik rengeng-rengeng!”

Sang Bapak menghisap rokok kretek
Menghirup kopi tubruk
Menghisap penthil susu bumi
Menghirup samudera
Glegeken idune Gusti Allah.

“Tapi nanti dulu, Rama!
Gamelan itu memang gandhes
Tapi musik kami ini rock ’n roll
Lha wong kami ini modern”
“We lha kok cluthak!”
“Rama!”
“Apa, Le!”
“Kami sudah telan
Telormu yang setengah mateng
Kami jadi tikus-tikus
Yang kamu makan dengan rakus
Mana bisa kami nguntal jagat
Lha wong kami malah diuntal oleh jagat
Rama! Keranjang kami bodhol
Para widadari ucul
Ada yang mulia bagai Ibu Sitti Mariam
Tapi banyak juga yang dijual eceran
Rama! Jiwa seseg, tubuh ringseg….”

“Kokehan metu, Le
Begadang itu tak baik
Angin malam itu jahat
Lebih baik belajar bagaimana selamat”

“Rama!”

“Ya, Le?”

“Hostess Mynce perkututmu
Hotel bertingkat panggungmu
Kaugugurkan buah suci rembulan
Kaurampas bintang kemuliaan
Bidadari Eropa dan Jepang
Meluncur di tenggorokan
Rama!
Hidup kami ini
Sesag dan tegang!”

“Ha, malah bingung
Aja gupuh-gupuh, Le
Aja ngaya-aya
Jagat iki amba
Ana dina ana upa”

“Inggih Rama
Ana sabdha ana memala!”

“Elho! Sabdhane sapa
Memala apa?”

“Sabdha Panjenengan
Memala kula!”

Lainnya

57

57

Tuhanku
inilah nasib seorang hamba-Mu: seekor ulat yang lunak tubuhnya bergeletar-geletar di permukaan kulit
lengan kirinya menuku leher hingga seluruh bulu-
bulu tubuhnya berdiri karena putik kelembutannya
diraba-raba olehnya.
ia ambil potongan kayu kecil untuk menjentiknya
agar terlempat, tapi tak bisa, bahkan tiba-tiba seekor
ulat lain yang bentuknya lentik dan penuh rambut
harus menggeriap di permukaan kulit lengan
kanannya menuju leher.
ia tersentak dan bangkit!—tiba-tiba ia yakin bahwa
ia hanya terbangin dari sebuah mimpi—ia
bergembira setengah mati karena itu, tapi tak sedia
dalam ingatannya ulat itu masih menempel di
kulitnya dan ia tak mau ulat itu terseret mengusik-usik
dan menggores kenangannya.
ia ingin tidur lagi dan bermimpi menjentik ulat
itu agar terlempar dan gagal berjalan menuju tempat
persembunyiannya, tapi tak bisa, setiap kali jari
menjentiknya, ribuan kaki-kaki ulat itu yang berbaris
menempel erat-erat di kulitnya, menggeriap-geriap,
hingga terasa juga di rongga
dadanya.
maka terpaksa ia potong lengan kirinya dan lengan
kanannya, darah mengucur deras, mengucur terus
tidak kunjung tuntas, dan tiba-tiba dari arah dadanya
mendadak muncul seekor ulat yang warnanya
menggeriapkan sehingga kulit-kulitnya tak berani
bersentuhan dengan apapun, bahkan kedua telapak
kakinya ingin meloncat dan terbang saja agar tak
menyentuh tanah, tetapi tatkala dilakukan hal itu
ternyata tubuhnya toh menyentuj udara.
dan celaka! dari arah-arah ubun-ubunnya, keningnya,
pipinya, telinganya, hidung dan mulutnya, terasa
ulat-ulat berjalan mengoles-oleskan kelembutannya,
semua menuju leher!—tidak, ia tak mau—maka
ia iris pipinya, ia cungkul matanya, ia papras hidung
nya, ia gali ubun-ubunnya, ia tebas telinganya,
ia sayat-sayat dadanya, ia hancur leburkan seluruh
tubuhnya, ia tak mau ulat-ulat itu diam-diam
menuju lubang gelap persembunyian dan
mengancam jiwanya, tapi wahai! Tiba-tiba seluruh
tumpukan kepingan-kepingan tubuhnya itu kini
menjadi ulat-ulat-ulat nyawanya terkesiap
dan ia merasa dicelupkan ke dalam cairan
lendir-Mu—itu semua membuatnya takut
bergerak dan tak berani tak bergerak takut berdenyut
dan tak berani berdenyut.

9

9
63

63

Tuhanku
pikiran kami tak punya hati
sehingga dunia kami congkak.
Tuhanku
hati kami tak punya pikiran
sehingga dunia kami
berserak-serak

5

5
Exit mobile version