Puasa dan Penyakit Kanker
Membaca tagline Cak Nun tentang puasa yang diunggah seorang kawan membuat saya ‘bangun’ dari kemalasan saya menulis, apapun sebabnya. Nah, kira-kira tagline tersebut berbunyi:
‘Puasa akan membuatmu (lebih) peka terhadap sekitarmu’.
Saya mengartikan tagline tersebut dalam dimensi sosial yang saya maknai bahwa puasa akan sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Apakah dalam tata cara dan perilaku sehari hari dalam hubungannya sesama manusia maupun dalam perilaku ‘pengabdiannya’ kepada Tuhannya.
Dalam beberapa pesannya Cak Nun juga sering menyebut, bahwa sebenarnya kita setiap hari berpuasa, walaupun tidak dalam bulan Ramadhan. Dengan segala macam penjelasannya. Akan tetapi di lain pihak juga ada sebagian lapis masyarakat kita ‘berhari raya’ tiap hari.
Saya kemudian berpikir tentang makna puasa terhadap badan secara mikro, secara seluler, secara dunia kecil di tubuh manusia, tepatnya di tingkat sel. Karena saya bekerja di lingkungan anak-anak yeng menjadi guru saya, yang mengajari saya tentang dunia penyakit keganasan, yang lebih sering disebut dengan penyakit kanker. Lho apakah ada hubungannya tagline Cak Nun tersebut dengan penyakit kanker? Ada atau tidak saya akan mencoba mencarinya dan saya akan belajar dari hal tersebut. Kata yang menggelitik saya adalah ‘puasa’ dan ‘peka’
Saya mencoba mencaritahu dengan menulusuri pustaka yang ada.
Pada sebuah penelitian yang dilakukan di California, US dan dipublikasikan pada sebuah jurnal bereputasi pada Desember 2014, diperoleh kesimpulan bahwa puasa yang dilakukan antara 9-12 jam, akan mencegah obesitas (kegemukan), di mana obesitas tersebut akan memicu timbulnya penyakit kanker.
Memang ada beberapa skala kegemukan yang bisa kita ukur sendiri dengan banyak rumus yang ada di dunia maya, dengan mengukur Indeks Massa Tubuh kita. Nah, dari kata kunci ‘obesitas’ tersebut para ahli dalam penelitian itu akhirnya juga berpikir bahwa puasa akan bisa dipakai sebagi salah satu modalitas penyembuhan kanker.
Pada penelitian lain, yang dilakukan pada mencit menunjukkan bahwa pola diet yang meniru puasa yang dilakukan dalam waktu dua bulanan mengurangi kejadian penyakit kanker. Hasil serupa didapatkan dalam uji coba percontohan oleh ilmuwan yang sama dengan subjek 19 manusia. Percobaan itu menunjukkan penurunan biomarker dan faktor risiko kanker. Penelitian dengan judul ‘A Periodic Diet that Mimics Fasting Promotes Multi-System Regeneration, Enhanced Cognitive Performance, and Healthspan’ ini sudah dipublikasikan di jurnal Cell Metabolism pada bulan Juli 2015.
Saya yakin pasti banyak lagi publikaasi yang menyangkutkan puasa dengan kesehatan, puasa dengan penyakit, puasa dengan upaya penyembuhan penyakit, maupun yang menghubungkan puasa dengan penyakit keganasan atau kanker. Baik dalam aspek kejadian/penyebabnya maupun aspek pengobatannya.
Sementara ini pendapat yang masih kuat bercokol dalam praktek penyembuhan kanker adalah makan yang banyak supaya tubuhmu kuat, banyak kalori dan protein agar tubuhmu mampu menerima ‘gempuran’ kemoterapi yang diberikan. Logis. Masuk akal! Bahkan saya sudah bertanya kepada para ‘guru’ saya apa yang mereka lakukan selama menjalani kemoterapi. Beberapa dari mereka menyatakan bahwa ‘saya tidak puasa karena mau menjalani kemoterapi’.
Tapi apakah seperti itu pada kenyataannya?
Dalam sebuah studi tahun 2016, yang dilakukan antara peneliti dari AS dan Italia dan hasilnya sudah diterbitkan di jurnal ilmiah ‘Cancer Cell’ pada bulan Juli 2016, menyimpulkan bahwa dalam penelitian menunjukkan bahwa kombinasi puasa dan kemoterapi akan memperlambat perkembangan kanker payudara dan kanker kulit.
Metode pengobatan gabungan ini menyebabkan tubuh menghasilkan sel progenitor limfoid umum (CLP) dan limfosit infiltrasi tumor lebih banyak. CLP adalah sel bakal limfosit (yang merupakan sel darah putih) yang bermigrasi ke tumor dan dikenal untuk membunuh tumor. Sementara itu pada penelitian yang sama mencatat bahwa kondisi ‘puasa’ (bahasa dalam penelitian itu: kelaparan jangka pendek) membuat sel kanker sensitif terhadap kemoterapi sekaligus melindungi sel normal, dan juga mendorong produksi sel-sel induk.
Lalu ketika di poliklinik kemarin saya ketemu dengan salah satu ‘guru’ saya dan saya tanya:
“Puasa nggak, Le?”
“Mboten, Dok.”
Malah kemudian saya balik ditanya.
“Apa boleh puasa?”
Dengan mantap saya jawab, “Sangat boleh!”
Yogyakarta, awal puasa 1443 H.