CakNun.com

Di Belakangku

Dimuat di Majalah Sastra Horison No. 11 tahun 1979

Akhirnya terjadi kisahnya yang konyol ini ketika datang seseorang, entah siapa ia, yang mengemukakan kepadaku bahwa Tuhan itu sesungguhnya berada di belakangku.

Sebenarnya kisah ini bermula sejak masa kecilku. Yakni ketika pikiranku pertama-tama bertumbuh, maksudku ketika aku mulai sadar bahwa di dalam mengerjakan hidup ini aku harus berpikir.

Di Belakangku karya Emha Ainun Nadjib, Majalah Sastra Horison No. 11 Th. 1979
Di Belakangku karya Emha Ainun Nadjib, Majalah Sastra Horison No. 11 Th. 1979

Syahdan maka segala sesuatu kupikirkan adanya. Mula-mula pertanyaan sederhana saja kepada Ibu:

— Bu, Ibu! Sebenarnya aku ini dilahirkan oleh Ibu lewat mana? —

— Ibuku tertawa. Dan karena waktu itu bersama Ibu ada juga banyak perempuan lain, maka merekapun ikut tertawa. Aku tidak merasa tersinggung. melainkan terus bertanya:

— Hayo, lewat mana Bu! —

— Lewat ketiak — jawab Ibu. —

Aku lantas meraih tangan Ibu dan memegang ketiaknya Tetapi jelas kulihat tidak ada lubang di ketiak itu yang memungkinkan aku lewat padanya.

— Ah, bagaimana mungkin Bu. Ketiak Ibu tidak berlubang! —

Ibu dan para perempuan itu makin tertawa. Kini malah terbahak-babak. Aku merasa kecut dan penasaran. Aku tak mau mundur. Setiap kali ada kesempatan aku terus menanyakan hal itu kepada ibu. Tetapi satu kali pun tak pernah aku memperoleh jawaban yang memuaskan pikiranku. Bahkan secara tak disengaja akhirnya ini merupakan catatan pertama dalam pikiran hidupku tentang sesuatu yang gamblang tetapi tak kudapat jawabannya yang pasti.

Bersangkut paut dengan Ibu pula beberapa waktu kemudian aku memprotes suatu keadaan yang tidak bisa kumengerti. Sepanjang pengetahuanku Ibuku tidak pernah beromong-omong dengan Kakek, suami Nenek. Mereka seperti orang tidak kenal dan seperti saling menganggap tidak ada. Suasana ini jelas tidak sedap bagi perasaanku dan merupakan pertanyaan berat bagi pikiranku. Padahal mereka sama-sama sayang padaku. Ibu rajin mengajariku mengaji, membaca, bersopan santun dan aku setiap hari selalu diberinya pengertian-pengertian. Sedangkan Kakekku tak kalah sayang padaku. Jika bangun tidur di pagi hari aku hanya mau berhenti menangis kalau Kakek yang menggendongku dari tempat tidur. Kemudian beliau kusuruh mbrangkang dan aku naik di atas punggungnya kemudian aku hanya sudi dimandikan oleh beliau. Kakek sangat sayang kepadaku. Beliau rajin memberikan jajan dan membikinkan barang kerajinan untuk PR sekolah. Beliau selalu sabar kalau kopi di cangkirnya kuhabiskan dan telor makannya kurampok. Beliau mengajariku bermain remi, mencurikanku sebatang tebu di kebun tanaman tebu, mengajakku nonton bioskop dan mengajariku bermain sepak bola. Banyak sekali jasa—jasanya terhadap kepuasan perasaanku. Sekali-sekali aku membalas jasa itu ketika Kakek memintaku untuk memijatinya dengan cara berjalan di atas tubuhnya dan bahkan kepalanya.

Aku tidak bisa mengerti kenapa kedua orang yang sama-sama menyayangiku ini tidak saling berteguran. Apalagi Ibu pernah menegurku ketika aku tak mau bertegur sapa dengan seorang kawan bermainku sesudah kami berkelahi di sungai ujung desa. Pikiranku sama sekali tidak bisa membenarkan kenyataan itu.

Tetapi beberapa tahun kemudian aku bisa membereskan kedua pertanyaan itu ketika aku tahu dari lubang mana sebenarnya kelahiranku dilewatkan, dan ketika oleh Ibu aku dikasih tahu bahwa Kakekku itu sesungguhnya seorang perampok. Katanya Kakek tak ada hubungan darah dengan Ibu. Jadi juga dengan aku. Kakek adalah suami Nenek sesudah Nenek bercerai dengan Kakekku yang sebenarnya.

— Tetapi Kakek amat sayang padaku — kataku.

— Sssst! — jawab Ibu.

— Tetapi Bapak kok bersikap biasa sama Kakek? —

— Bapakmu hanya lamis —

Aku mengerti. Tetapi tetap ada sesuatu yang mengganjal di perasaanku. Cintaku ternyata kemudian tidak luntur terhadap Kakek maupun Ibu. Bahkan ketika akhirnya Kakek meninggal diserang tetanus, aku begitu merasa kehilangan, sedih dan sedikit menangis. Aku akhirnya mulai sadar bahwa ada di dalam kehidupan ini sesuatu yang bisa dimengerti oleh pikiran, tetapi tidak menjawab seluruh ganjalan kegelisahan dalam diriku. Akan tetapi terus terang aku lantas bingung. Dengan apa hidup ini dijawab, jika pikiran tidak mutlak menjamin? Sedangkan tiada lain, di dunia ini aku inginkan sesuatu yang konkrit.

Rasa bingungku itu makin mantap ketika di sekolah, pada suatu hari, aku bertanya kepada Bapak Guru:

— Bapak mengatakan Tuhan itu tak mungkin lebih dari satu. Bapak ibaratkan dengan kapal. Kapal nachodanya lebih dari satu, maka akan perang dan kapal tak tentu arah, bahkan akhirnya hancur. Sementara itu Bapak mengatakan juga bahwa Tuhan itu Maha Bisa. Ini amat bertentangan. Kalau dua nakhoda memang akan berperang, tapi kalau Tuhan, karena ia Maha Bisa, maka pasti bisa dibereskan. Di samping itu, kenapa Bapak bilang Tuhan tak mungkin lebih dari satu, padahal Tuhan itu serba mungkin. Ia bahkan bisa sejuta, atau bisa tidak ada sama sekali! —

Bapak Guruku tegang: Juga kawan-kawanku sekelas.

— Sekarang aku bertanya Pak Guru. Kalau memang Tuhan itu Maha bisa, maka apakah ia bisa menciptakan satu Tuhan lagi yang segala sesuatunya persis dengan Dia? —

— Pak Guruku makin tegang. Tajam-tajam aku memandang pusat matanya. Akhirnya ia bergerak. Berjalan menuju tempat dudukku. Setelah sampai, ternyata aku tidak memperoleh jawaban apa-apa. Ia hanya mengelus-elus rambutku.

Kebingunganku makin lengkap. Tapi tiadanya jawaban itu menumbuhkan perasaan lain dalam diriku. Aku merasa menang. Menang kepada Bapak Guru, tetapi juga seakan-akan menang atas Tuhan.

Di sekolah tingkat lebih lanjut, aku juga bertanya:

— Nabi bilang sorga ialah segala yang di luar bayangan kita. Artinya kalau kita membayangkan sesuatu tentang sorga, maka ia pasti bukan sorga. Pak Guru, jadi kalau begitu Tuhan lebih lagi dong. la pasti berada jauh di luar yang bisa kita bayangkan. Sedangkan selama ini kita menyebut Tuhan itu Maha Besar. Maha Tinggi. Maha Asih, bahkan ada keadaan di mana Tuhan marah atau murka. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana Tuhan yang jauh berada di luar bayangan kita itu bisa kita sebut dengan sekian banyak kata? Benarkah Tuhan itu Maha Besar? Sifat Maha Besar itu sedikitnya bisa kita sentuh, sedangkan Tuhan sama sekali tidak bisa dibayangkan sajapun, apalagi di sentuh.—

Lainnya

Lelaki ke-1000 di Ranjangku

Lelaki ke-1000 di Ranjangku

Lelaki pertama yang meniduriku adalah suamiku sendiri dan lelaki yang mencampakkanku ke lelaki kedua adalah suamiku sendiri…

Anak-anakku yang Tercinta

Anak-anakku yang Tercinta

Anak-anakku, kita hidup tidak tergantung mereka. Kitalah yang paling tahu soal-soal kita sendiri. Selebihnya yang perlu kita pegang hanyalah kesadaran kita tentang kebenaran.

Stempel

Stempel

Ijasah

Ijasah
Exit mobile version