CakNun.com
Kebon (240 dari 241)

Berat Hatiku Kepada Indonesia

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 6 menit
Foto: Adin (Dok. Progress)

Saya tidak berkeberatan dan tidak kecil hati melihat Indonesia dengan pemerintahnya, kaum intelektualnya, lembaga-lembaga penyangganya, para stakeholders-nya, semakin ke sini, semakin ke era-era mutakhir, semakin bergerak ke ujung waktu, semakin meremehkan Islam. Bahkan bukan sekadar tidak mencerminkan perilaku bahwa mereka percaya kepada Islam. Mereka bukan sekadar tidak belajar, mempelajari dan menggali ilmu, pengetahuan dan hikmat untuk keperluan masa depan Negara dan Bangsa Indonesia.

Tetapi bahkan mereka benar-benar semakin meremehkan Islam. Semakin melecehkan Allah dan firman-Nya. Semakin tidak peduli kepada manusia yang menurut saya paling pandai sepanjang zaman. Paling tinggi IQ-nya. Paling mulia perilakunya. Paling bijaksana jiwanya. Paling penuh cinta hatinya. Yakni Rasulullah Muhammad Saw. Bahkan dari seluruh wacana dan komunikasi kebangsaan dan kenegaraan yang bergulir beberapa tahun terakhir, sangat terasa bahwa di bawah sadar mereka tergumpal stigma negatif tentang Islam, kecurigaan, olok-olok dan Islamophobia dalam bentuk yang bermacam-macam.

Salah satu kemungkinan latar belakangnya adalah kaum Muslimin sendiri yang gagal mengenalkan dan mengantarkan Islam kepada Indonesia. Ummat Islam sendiri yang tidak berhasil melalui peran dan integritas kebangsaan mereka, mempersentuhkan Rahman Rahimnya Allah, kemuliaan hati Rasulullah Saw dan rahmat lil’alamin -nya wahyu Islam dari langit.

Saya tidak minder karena itu. Saya tidak ambruk karena itu. Bahkan saya tidak kecewa, karena Allah Swt sendiri melalui Al-Qur`an sendiri menginformasikan hal-hal tentang kualitas makhluk manusia. Allah sendiri yang menegaskan bahwa “Aktsaruhum la ya’qilun”. Kebanyakan manusia tidak mendayagunakan akalnya. “Shummun bukmun ‘umyun fahum la yarji’un”. Mereka tuli, bisu dan buta, dan tidak akan bisa melangkah kembali kepada Allah. Mereka sudah mulai dan akan terus kabur kanginan kemudian tercampak di Neraka.

Allah sendiri yang merumuskan kondisi dan perilaku manusia itu, melalui rangkaian firman-firman-Nya. Bahwa “Mereka membeli kesesatan dengan ongkos hidayah untuk membayarnya”. Api yang mereka nyalakan dengan dekade-dekade pembangunan akan padam, sehingga mereka akan diliputi kegelapan dan mereka tak lagi bisa melihat masa depan. Mereka mengaku beriman, tetapi kepada Syaitan di kandungan hati dan akal, mereka menyatakan “kami sependapat dengan kalian”.

Mereka diam-diam menganggap berislam adalah kebodohan bagi peradaban Milenial yang mereka banggakan. “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh itu beriman?”. Mereka tidak mengaku bahwa mereka membangun dan menjalankan negara perusakan dan penghancuran. Mereka merasa bahwa yang mereka lakukan adalah pembangunan dan selalu mengadakan perbaikan-perbaikan. Sehingga Allah memperingatkan: “Ingatlah, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar”. Mereka pikir sistem bernegara dan struktur otoritas, birokrasi dalam susunan kerakyatannya adalah “Qalu innama nahnu mushlihun”. Sesungguhnya kami sedang membangun. Kami adalah orang-orang yang saleh. Kami adalah pemerintah, bangsa dan masaysrakat yang salah. Bahkan anak-anak di sekolah-sekolah kanak-kanak sudah hafal lagu “Aku Anak Saleh”.

Menurut Allah juga semua yang barusan saya tuliskan ini, bahkan ratusan ribu kalimat yang sudah saya torehkan dan hampir 100 buku yang saya terbitkan, ribuan kali Maiyahan dengan masyarakat, juga tidak ada gunanya, dan saya tidak kecewa oleh kenyataan itu. “Sawa`un ‘alaihim aandzartahum am lam tundzirhum la yu`minun”. Sama saja kamu beri peringatan atau tidak, mereka tetap tidak percaya. Tetapi saya juga tidak menjadi frustrasi oleh kenyataan itu. Dan atas ayat Allah berikut ini jawaban saya adalah: Tidak. Kalla. La. Tsumma La. Wa la.

فَلَعَلَّكَ بَٰخِعٞ نَّفۡسَكَ عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِمۡ إِن لَّمۡ يُؤۡمِنُواْ بِهَٰذَا ٱلۡحَدِيثِ أَسَفًا

Maka apakah barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada Al-Qur`an.”

Bahkan saya, di dalam tulisan Kebon terakhir ini, tetap mensyukuri betapa Sila Ke-3 Pancasila, yakni “Persatuan Indonesia”, sangat dijelaskan kandungannya oleh Al-Qur`an. Persatuan Indonesia atau Nasionalisme keIndonesiaan. Rasa bersama semua bangsa Indonesia, tanpa bergantung pada di mana tinggalnya, apa agamanya, apa profesinya, apa latar belakangnya, masing-masing dan semua “sama rasa sama rata”. Kalau penduduk Papua pusing kepala, penduduk Jawa dan pulau-pulau lainnya turut merasakan sakitnya. Kalau ada yang bersedih, lainnya berempati. Kalau ada yang menderita, lainnya menolong. Kalau petani sengsara, semua rektor, dekan, dosen, ulama, pastur, pengusaha dan pejabat, turut merasakan kesengsaraannya. Demikian berlaku satu sama lain. Demikianlah Allah menciptakan manusia Muhammad. Demikianlah Muhammad memperlakukan semua manusia di bumi.

لَقَدۡ جَآءَكُمۡ رَسُولٞ مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ عَزِيزٌ عَلَيۡهِ مَا عَنِتُّمۡ حَرِيصٌ عَلَيۡكُم بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ رَءُوفٞ رَّحِيمٞ

Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kalangan kemakhlukanmu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”

Saya sendiri lebih setengah abad mengekspresikan dan melakukan segala hal dalam hidup saya dengan landasan hati yang tidak tega kepada bangsa Indonesia dan sesama manusia. Pada tahun 1974 saya dikasih Tuhan puisi berjudul “Muhammadkan hamba”, ternyata maksudnya adalah saya dibimbing dan diperjalankan melalui lorong nasib untuk selalu berat hati saya kepada Indonesia, sebagaimana Muhammad “’azizun ‘alaihi ma ‘anittum, haritsun ‘alaikum bilmu`minina ra`ufun rahim” kepada semua ummat manusia.

Hatiku sungguh berat mempersaksikan, memperhatikan, mengingat, dan mengenang Indonesia, namun tak akan aku terjerembab ke lembah ejekan Allah “Fala’allaha bakhi’un nafsaka ‘ala atsarihim in lam yu`minu bihadzal haditsi asafa”. Memang “asafa”, kasihan bener. Maka aku mendoakan bahkan meyakini perkenan keajaiban Allah atas keterlanjuran paradoks Teks Proklamasi Indonesiaku 1945, pilihan bentuk pengelolaan tanah airnya, ketentuan mengimpor prinsip pengelolaan rakyat yang tidak tepat ada landasan filosofis dan manajemen universal maupun nasionalnya. Juga tidak ada sanad atau sandaran ilmu dan kebijaksanaan dari sejarah nenek moyangnya sendiri.

Meskipun tidak bersedih, aku memohon atas dasar hak prerogatif syafaat kekasih Allah Muhammad Saw. agar Allah bermurah hati menyelamatkan Indonesia yang sejak awal penciptaan sudah diberkahi kesuburan tanah airnya, sehingga dengan kelimpahan rahmat tanah air itu mustahil rakyat Indonesia akan pernah mengalami kelaparan. Aku takjub kepada takdir Allah yeng memfadhilahi takyat Indonesia berupa ketangguhan mental, sehingga mereka tidak pernah tergetar atau senantiasa tidak bergeming oleh krisis negara sedahsyat apapun.

Aku tersungkur bersyukur atas berkah Allah berupa keterampilan iguh penghidupan rakyat Indonesia, sehingga hamparan rakyat kecil itu senantiasa sanggup menghidupi pemerintahnya, jajaran elit dan kelas menengahnya, bahkan menjadi infrastruktur bagi kokohnya bangunan lembaga-lembaga ekonomi besar modernisasinya. Betapa Rahman Rahimnya Allah kepada bangsa Indonesia yang kebesaran jiwa serta keIslaman hati mereka membuat mereka sanggup tenang dan stabil di bawah kepemimpinan nasional serapuh apapun, tetap tersenyum dan tertawa oleh seburuk apapun manajemen kepemerintahan yang mengurusi mereka. Betapa Fattah Halimnya Allah yang melimpahi keajaiaban rakyat Indonesia, yang dalam keadaan hidup termasuk yang terburuk di dunia, namun tetap menjadi bangsa yang paling bergembira dan rakyat yang paling penuh senyuman dibandingkan bangsa-bangsa lainnya.

Robbana ma kholaqta hadza bathila. Tidaklah bathil atau sia-sia kondisi bangsa Indonesia yang sesudah proklamasi kemerdekaan negaranya tidak pernah mampu memilih pemimpin, sehingga diam-diam memiliki kesiapan untuk tidak tergantung kepada kualitas pemimpinnya. Meskipun rakyat Indonesia adalah warganegara yang tidak paham negara, yang tidak berkembang kesadaran bernegaranya, yang tidak pernah belajar dan mempelajari kualitas kepemimpinan dan kepemerintahannya, namun mereka tetap menjadi manusia-manusia yang terbaik di seluruh muka bumi.

Ketidaktahuan mereka atas liku-liku fakta tentang Bung Karno, Pak Harto, Habibie, Megawati, SBY dan siapapun sesudahnya, tidak pernah menjadi masalah, karena mereka tetap merupakan manusia yang berjiwa besar dan rakyat yang tangguh. Ketidakpahaman mereka terhadap ketidakmatangan pendirian negaranya, terhadap diskontinuitas proses sejarah mereka, terhadap pilihan ketidak-otentikan, pembebekan dan taqlid proses bernegara mereka, tidak pernah membuat nasionalisme keIndonesiaan mereka meluntur. Tidak pernah membuat mereka kehilangan wajah dan hati Indonesia.

Di tahun-tahun terakhir ini, situasi komunikasi dan interaksi politik Indonesia sangat didominasi oleh mental anti-Pancasila terutama pengkhianatan terhadap “Persatuan Indonesia”. Dipenuhi oleh subjektivisme yang berakar pada oligarki dan kepentingan sangat primodial. Dikuasai oleh kecurangan berpikir, ketidakadilan cara pandang, kesepihakan sikap yang anti kebersamaan nasionalisme. Bahkan dibusuki oleh kebrutalan komunikasi, kebusukan interaksi sosial, kerendahan budaya serta ketidakberadaban yang hampir tiada taranya. Hati, pikiran, dan pergaulan budaya masyarakat dikotori oleh jurnalisme sampah, alat-alat canggih komunikasi namun di-drive oleh hasad dan fitnah. Perhubungan di antara rakyat yang semestinya bermuatan silaturahmi, pertalian kasih sayang, digantikan oleh komunikasi barbar dan kanibal.

Akan tetapi secara ajaib Allah tetap melindungi dan menyayangi bangsa Indonesia. Keadaan mental dan budaya rakyat Indonesia memang semakin mudah diperdaya, terlalu gampang terpesona. Semakin tidak mengerti apa dan siapa yang semestinya dijunjung dan yang seharusnya dihindari atau ditinggalkan. Bangsa Jawa mengenal filosofi “Ojo kagetan”, tetapi rakyat Indonesia, termasuk yang Jawa, sangat mudah dikejutkan oleh sensasi dan hoax, sehingga beramai-ramai ikut memfitnah. “Ojo gumunan”, tetapi rakyat Indonesia semakin mudah terpesona, semakin gampang dimakan oleh isu pencitraan, semakin tidak memiliki sistem kontrol budaya, intelektual, bahkan spiritual. Biasanya kalau manusia tidak mudah terkejut dan tidak mudah kagum, membuat mereka lantas mudah meremehkan atau “Dumeh”. Tetapi rakyat Indonesia sekarang “menelan” ketiga-tiganya: terlalu mudah “gumunan” dan “kagetan” sementara pada saat yang sama juga terlalu mudah “dumeh” atau meremehkan sesuatu hal atau seseorang.

Akan tetapi secara dahsyat pula Allah mengayomi rakyat Indonesia. Tidak serta merta memerintahkan “kun fayakun” berupa “shoihatan wahidatan” atau suatu kejutan sejarah yang besar. Mungkin juga Allah melakukan hal ini:

ٱللَّهُ يَسۡتَهۡزِئُ بِهِمۡ وَيَمُدُّهُمۡ فِي طُغۡيَٰنِهِمۡ يَعۡمَهُونَ

Allah akan membalas olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.”

Sehingga gambaran kondisi Indonesia adalah:

مَثَلُهُمۡ كَمَثَلِ ٱلَّذِي ٱسۡتَوۡقَدَ نَارٗا فَلَمَّآ أَضَآءَتۡ مَا حَوۡلَهُۥ ذَهَبَ ٱللَّهُ بِنُورِهِمۡ وَتَرَكَهُمۡ فِي ظُلُمَٰتٖ لَّا يُبۡصِرُونَ

Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah kemudian melenyapkan cahaya yang menyinari mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.”

Akan tetapi hatiku tetap berat atas Indonesia. Hatiku “’azizun ‘alaihi ma ‘anittum”. Hatiku tidak tega kepada derita Indonesia. Meskipun sehari-hari aku dikelilingi oleh wajah-wajah rakyat Indonesia yang selalu penuh senyuman dan tawa ceria, namun aku mendalami derita di lubuk hati mereka, namun ditutupi oleh kemampuan mereka yang canggih untuk selalu bersyukur atas apapun saja yang mereka alami.

Maka di setiap larut malam, kuwiridkan kudzikirkan:

وَنُرِيدُ أَن نَّمُنَّ عَلَى ٱلَّذِينَ ٱسۡتُضۡعِفُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَنَجۡعَلَهُمۡ أَئِمَّةٗ وَنَجۡعَلَهُمُ ٱلۡوَٰرِثِينَ

Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi dan akan menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi tanah air.”

Lainnya

Belajar Manusia Kepada Sastra

Belajar Manusia Kepada Sastra

Sastra Generasi Millenial

Sejak hampir dua dekade yang lalu lahir Generasi Millenial, juga dalam sastra.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version