CakNun.com

Hijab Corona

Corona, 36
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

Di atas bumi ini terdapat hijab raksasa yang Coronavirus bersembunyi di balik cembungannya, yang pandangan semua manusia tidak punya kemampuan untuk menembus lembaran tabir atau hijabnya. “Bukankah sudah Aku katakan bahwa Aku mengetahui segala rahasia langit dan bumi. Aku mengetahui apa saja yang kamu lahirkan maupun yang engkau sembunyikan,” kata Allah kepada Kakek cikal-bakal kehidupan kita, Adam As.

Kemudian anak turun beliau membangun peradaban dan menjalankan sejarah. Sibuk berdialektika, berbenturan, bermusuhan, saling mengakali dan mencurangi. Allah kasih SOP: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalangan (min dunikum)mu. Karena mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudlaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah kami terangkan tanda-tanda dari Kami, kalau kamu memahaminya”.

Sinau Bareng-lah terus. “yang di luar kalanganmu” — apa maksudnya? Yang tidak se-Agama, se-Iman. Tidak se-Negara dan se-Nasionalisme? Tidak se-Aliran Tarekat? Tidak se-Ormas atau macam-macam kelompok lainnya? Yang bukan Jamaah Maiyah? Yang bukan Nahdhliyin? Bukan Muhammadiyah? Bukan Kampret? Bukan Cebong? Bukan Jokower? Bukan Aniser? Dan beribu-ribu kategori pengelompokan lainnya, yang tradisi Maiyah membuka lebar-lebar bagi siapa pun, dari kalangan mana pun, bahkan jika yang datang ke Maiyahan bukan makhluk manusia, melainkan Jin, Banujan atau lainnya? Atau bagaimana memahaminya?

Kalau gitu jangan pakai “kata benda” atau “identitas”. Pakai fakta empiris saja, yang Allah menyebutnya “tidak henti-hentinya menimbulkan kemudlaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu”.

Betapa tidak mudahnya kehidupan dan betapa lebih tidak mudah dan sama sekali tidak sederhana lagi menjalaninya. Maka Allah wanti-wanti “yassiru wala tu’assiru”, permudahlah, jangan dipersulit, sebab bakunya hidup ini sendiri secara alamiah sudah sangat sulit, sehingga Allah kasih sangu kita: iman, ilmu, akal, kerendah-hatian, semangat jihad dan ijtihad, perjuangan dan pengembaraan.

Ada tak terhitung labirin dan lapisan-lapisan hijab di bumi dan langit, di siang dan malam, di kemarin dan esok. Sekarang seluruh ummat manusia penduduk bumi sedang diajak main petak umpet dengan Hijab Corona.

Pemilihan kata “hijab” oleh kaum mainstream dan elit ini sejak awal sudah saya anggap virus bagi akal, rasio, estetika dan kejiwaan saya. Sejak kecil saya melakukan perjalanan sejarah wacana dan pengalaman budaya yang membuat penggunaan istilah “hijab”, dan bukan “jilbab” (di Al-Qur`an: “jalabib”, plural), semacam virus yang menyiksa perasaan dan ketenangan rasio saya.

Di akhir era 1980 bersama teman-teman memperjuangkan “hak asasi jilbab”. Kami bikin pentas kolosal “Lautan Jilbab” di Yogya, Madiun, dan Makassar. Saya ke toko-toko besar di jalan-jalan protokol Yogya yang dengan aturannya melarang karyawatinya pakai jilbab. Saya datang, saya melotot, saya gebrak meja. Dulu satu kota hanya 2-3 orang pakai jilbab. Sekarang 95% wanita Indonesia pakai jilbab. Di restoran, di kampus dan sekolah, di arena balap mobil dan motor, di mana-mana. Jilbab menjadi primadona komoditas kapitalisme busana.

Tetapi mereka menyebutnya “Hijab”. Dan pemakainya disebut “Hijaber”. Kenapa menggabungkan kata Arab dan Inggris. Kalau pemakai hijab ya “Hajibah”. Saya sungguh-sungguh terpapar virus mainstream ini, di TV, di Mall, di medsos, di panggung-panggung hedonisme dan “hubbud-dunya” lainnya.

Pertama kali saya mendengar kata “hijab” ketika saya di kelas 5 Sekolah Dasar di desa Gontor. Ia tidak berdiri sendiri, melainkan “mudlaf-mudlaf ilaih”: dua kata dalam satu pengertian. “Kasyful Hijab”, orangnya “Kasyiful Hijab”. Itu suatu idiom tasawuf, idiom ilmu dan spiritualitas yang dulu saya menerimanya dengan rasa kekhusyukan dan setengah kagum.

Hijab bukan kain penutup rambut dan kepala. Hijab adalah tabir kehidupan, yang di baliknya terdapat semacam “sirrullah”, rahasia kekuasaan Allah. Hijab adalah misteri penciptaan Allah yang kita semua lahir untuk dilatih menguaknya, membuka rahasianya. Maka kita bersekolah, mencari ilmu dan berjuang menjadi Ulul Abshar, Ulun Nuha dan Ulul Albab, meskipun tidak mungkin bisa menjadi Ulul Azmi.

Menguak rahasia itu bukan sekadar menyangkut melimpahnya keajaiban di alam semesta, di bumi, angkasa dan langit, termasuk di kandungan hati manusia sendiri. Rahasia yang paling ghaib adalah waktu: lima menit lagi nanti akan terjadi apa? Jenis metode futurologi apa yang kamu pakai untuk mengasumsikan masa depan? Tanggal berapa nanti rencananya Malaikat Izrail bertamu ke rumahmu? Kelak anak-anakmu akan tinggal di mana dan mengerjakan apa? Apakah Negara kita ini harga mati tak bisa ditawar-tawar, ataukah bangsa kita harganya sudah mati. Itu pun tidak meninggalkan gading seperti Gajah. Sekarang saja kita mungkin sudah mati harga diri, ambruk martabat, sirna muru`ah, hina dina di dunia.

Semakin hari semakin bertumpuk dan bertambah tebal hijab-hijab kehidupan. Kecepatan lari ilmu dan teknologi kita, terutama teknologi kejiwaan internal dan intrinsik ke dalam diri manusia sendiri, tidak sepadan dengan semakin ragamnya labirin rahasia kehidupan, hijab-hijab nilai, misteri-misteri yang bukan hanya tidak mampu kita ungkapkan, tetapi semakin bertambah dan bertambah.

Sekadar makhluk super-nano yang bernama Coronavirus saja kita “ambyar” sedunia. Tidak usah UFO, tidak usah Jin menjadi pegawainya Nabi Sulaiman, tidak usah runaway lapangan terbang kakek-nenek kita yang luas dan panjangnya lebih 10 kali lipat dibanding yang ada di bandara-bandara super modern pun sekarang ini.

Lainnya

Tuhan dan tuhan-tuhanan

Tuhan dan tuhan-tuhanan

Kali ini tampaknya kita harus berbicara langsung tentang Tuhan dan tuhan.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Kesabaran dan Kebersahajaan Rakyat Jawa

Kesabaran dan Kebersahajaan Rakyat Jawa

Mungkin sedikit yang tahu kalau Mas Iman Budhi Santosa memiliki konsep diri selain sebagai manusia Jawa dia juga punya konsep diri sebagai rakyat Jawa kebanyakan, dan berterus terang kalau dia tidak menyukai aristokrat.

Mustofa W. Hasyim
Mustofa W.H.
Exit mobile version