Demokrasi Tolol Versi Saridin
Saridin bukan tidak sadar dan bukan tanpa perhitungan kenapa dia memilih nyantri ke pondoknya Sunan Kudus. Saridin itu tipe seorang murid yang cerdas dan mengerti apa yang dilakukannya.
Harap dimengerti murid itu bukan padanan kata dari siswa atau student, sebagaimana manusia zaman modern memaknainya secara tolol. Memang manusia dalam kebudayaan dan peradaban modern kerjanya selalu melawak, tapi mereka tidak pernah sadar bahwa mereka sedang melawak. Mereka lucu, dan bahkan sangat lucu, karena mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka itu lucu.
Coba lihat saja. Di dunia modern ada yang namanya universitas. Wah, gagahnya bukan main lembaga pendidikan ini. Penuh gengsi dan keangkuhan. Kalau sudah lulus darinya, orang disebut “sarjana”.
Padahal sesungguhnya Saridin membuktikan sendiri bahwa para pelaku lembaga pendidikan dunia modern ini ndagel atawa melawak. Mereka pura-pura bikin universitas dengan pemahaman bahwa yang diproduksinya adalah manusia universal.
Padahal nantinya para sarjana keluaran universitas itu kualitas dan cakrawala pandangnya tak lebih dari manusia fakultatif. Anak-anak didik yang usianya sudah dewasa ini tetap saja kanak-kanak sampai tua. Karena sudah bertahun-tahun di universitas masih saja terbuntu di kualitas fakultatif atau bahkan jurusan.
Apa begitu namanya, kata Saridin, kalau bukan ndagel.
Kalau remaja-remaja itu berangkat ke universitas, ngakunya pergi kuliah. Istilah itu sendiri dari bahasa Arab kulliyah. Artinya, suatu keberangkatan intelektual mental, spiritual dan moral menuju taraf kosmopolitanisme.
Segi lawakannya menurut Saridin terletak pada kenyataan bahwa sebenarnya mereka bukan berangkat kuliah, melainkan berangkat juz’iyyah. Ya yang diterangkan diatas tadi: “juz’iyyah” itu artinya berangkat memahami sesuatu secara sektoral, secara fakultatif dan parsial.
Seandainya mereka bukan pelawak, tentu setiap keberangkatan juz’iyyah akan selalu pada akhirnya diorientasikan atau dikembalikan lagi ke spektrum kulliyah atau universalitas. Tapi karena tradisi demikian tidak menjadi habitat utama budaya pendidikan manusia modern, maka hasilnya adalah kesempitan.
Umpamanya kalau mereka disodori pakaian oleh Saridin dan ditanyakan kepada mereka “apa ini?” mereka paling menjawab — “ini baju,” atau “ini celana” “ini cawat” atau “ini dasi”.
Mereka tidak pernah menjawab — “ini kain”, “ini benang”, “ini kapas”, “ini serat-serat” atau mungkin “ini kerja sama antara alam ciptaan Tuhan dengan teknologi ciptaan manusia”.
Pendeknya pada kesimpulan Saridin, jangkauan ilmu mereka atau dangkalnya kedalaman pengetahuan mereka itu hanya bisa diterangkan melalui dua acuan. Kalau tidak bodoh, ya itu; ndagel.
Kalau pembicaraan kita sampai pada soal “dasi” atau “sepatu”, yang merupakan ciri-ciri terpenting dari eksitensi manusia modern. Lebih terasa lagi lawakannya. Kalau sudah mengingat itu, Saridin tersengguk-sengguk karena tawa dan tangisnya menjadi satu keluar dari mulut dan matanya.
Dasi itu menurut pemahaman Saridin adalah benda yang benar-benar tidak bisa dipahami apa kegunaannya, kecuali untuk siap-siap kalau sewaktu-waktu pemakainya ingin kendat atau bunuh diri dengan cara menggantung diri atau menjerat lehernya sendiri. Benar-benar suatu lawakan yang lucu.
Kebudayaan manusia modern selalu menjelaskan dasi dalam konteks sopan santun, kepribadian kelas menengah, simbol gengsi, dan lain sebagainya. Itu semua pada penglihatan Saridin benar-benar abstrak. Bagaimana mungkin kepribadian dikaitkan atau apalagi ditentukan oleh seutas kain yang di ikatkan mengelilingi leher.
Benar-benar sangat lucu. Saridin khawatir Tuhan sendiri bisa geleng-geleng kepala karena kelucuan dasi ini tingkatnya benar-benar rendah. Kepribadian itu masalah software, soal batin, mutu nilai yang rohaniah sifatnya. Kok dilawakkan melalui seutas dasi. Alangkah tidak bermutunya lawakan manusia modern.
Apalagi masalah sepatu, “pakailah sepatu”, kata Saridin menirukan seseorang yang pernah didengarnya di abad 20, “agar kakimu terlindung dari duri atau kerikil tajam di jalanan”.
Padahal para pemakai sepatu justru cenderung menolak untuk berjalan di jalanan. Mereka justru lebih sering melangkahkan kaki di lantai yang pakai karpet tebal dan empuk.
Lantas seseorang itu melanjutkan — “tapi sebelum pakai sepatu, pakailah dulu kaos kaki, untuk melindungi kakimu dari sepatu, agar tidak mlicet atau lecet”.
Di sinilah, menurut Saridin, puncak lawakannya. Orang yang disuruhnya pakai sepatu dan kaos kaki pasti kebingungan — “jadi sebenarnya sepatu ini melindungi kaki ataukah mengancam kaki, sehingga kaki harus dilapisi oleh kaos kaki?”.
Oleh karena itu, sejak abad 16 Saridin sudah sadar untuk tak mau diranjau oleh kebodohan yang canggih atau kepandaian yang ndagel versi kebudayaan modern. Maka ia mateg aji menjadi murid.
‘Murid’ itu kata subjek yang berasal dari kata arada, yuridu, muridan. Artinya, seseorang yang berkehendak. Ingat kata iradat Tuhan? Artinya kehendak Tuhan.
Saridin menjadi muridnya Sunan Kudus karena ia sendiri yang berkehendak untuk itu. Juga ia sendiri yang berkehendak, atau menjadi subjek yang menghendaki segala macam yang menyangkut ilmu dan pengalaman hidup yang akan didalaminya dari sang Sunan.
Dengan kata lain, sesungguhnya Saridin sendiri yang menyusun kurikulum kesantriannya. Itu namanya murid. Kalau seseorang datang ke pesantren atau sekolah lantas pasrah bongkokan dan mulutnya menganga melulu menunggu apa saja terapan kurikulum yang telah disediakan, itu namanya murad, artinya orang yang dikehendaki.
Memang sih pesantrennya Sunan Kudus sudah memiliki kurikulum, sistem pendidikan dan metode pengajaran tersendiri. Tetapi itu sekedar bahan dan masukan bagi Saridin. Tetapi si Saridin sendiri yang mengatur dan menguasai kurikulum itu di dalam dirinya sendiri.
Jadi pada hakikatnya pesantren Saridin terletak di dalam otaknya Saridin itu sendiri. Sekolah Saridin berdiri di dalam hitungan akal sehat Saridin sendiri. Universitas Saridin berlangsung di dalam metode dan proses belajar atau kaifiyah intelektual-spiritual Saridin sendiri.
Itulah sebabnya ia sungguh-sungguh seorang murid.
Menurut pandangan Saridin, sikap menjadi murid adalah perwujudan demokrasi pendidikan. Kalau ia hanya murad, berarti ia menyediakan diri untuk ditindas. Padahal Saridin tahu, di dalam Islam, orang dilarang menindas, dan lebih dilarang lagi kalau bersedia untuk ditindas.
Tapi jangan lupa, pengetahuan tentang demokrasi itu pasti Saridin ambil dari dunia modern juga. Jadi jangan seratus persen percaya kalau Saridin begitu mbagusi ketika menertawakan kebudayaan modern. Sebab sesungguhnya ia juga banyak belajar kepada segala sesuatu mengenai modernitas dan modernisme.
Bahkan ada bulan-bulan di mana ia salah menerapkan prinsip demokrasi ketika mengikuti pengajaran dan pendidikan yang diselenggarakan Sunan Kudus.
Ketika sang Sunan meminta Saridin membuktikan hapalan Qur’annya, satu juz saja, di depan para santri lainnya — dengan mantap ia menjawab: “Sunan, adalah hak asasi saya untuk memilih apakah saya perlu menghapalkan Qur’an atau tidak”.
Demokrasi bagi Saridin ketika itu bertitik berat pada prinsip hak asasi manusia.
Ketika ia diminta mempraktekkan jurus jalan panjang ketika latihan silat, Saridin juga menjawab: “Saya sendirilah yang berwenang untuk mempraktekkan atau tidak mempraktekkan jurus itu sekarang, tidak seorang pun bisa memaksa saya…”
Tetapi sebelum selesai kalimatnya. Sunan Kudus mendadak menghampirinya dan menyerbunya dengan berbagai jurus. Saridin kepontal-pontal, pontang-panting, terjatuh-jatuh, terluka dan keseleo.
“Kalau kamu tidak sanggup menjadi pendekar jangan bersembunyi di balik kata demokrasi!” kata Sunan Kudus sambil mencengkeram leher Saridin yang terengah-engah.