Corona Tosca
Ada Jamaah Maiyah yang berikhtiar memperkuat posisinya terhadap sebaran Covid-19 dengan cara memperbanyak asupan-asupan penguat kondisi tubuh, karena ia berpendapat bahwa urusan keterjangkitan oleh virus adalah urusan kesehatan badan.
Ada Jamaah Maiyah yang bersama keluarganya berupaya membangun hijab atau tabir tebal terhadap lalu lintas liar virus dengan cara memaksimalkan self lockdown, tinggal di rumah, tidak sembarangan menerima tamu, sangat berhati-hati ke mana pun kakinya melangkah. Karena sekeluarga menyepakati bahwa sakit-tidaknya seseorang bersama anggota keluarganya bergantung pada tingkat kehati-hatian mereka dalam berinteraksi dengan para tetangga, tamu dan semua yang berdekatan dengan mereka.
Ada Jamaah Maiyah yang berikhtiar memasukkan hidupnya di dalam kolam detoks, menjaga hati dan pikirannya dari segala potensi yang buruk, curang, jahat dan dhalim. Sebab ia punya logika bahwa kebenaran perilaku kebaikan pergaulan sesama manusia punya pengaruh besar terhadap kondisi sehat atau sakitnya.
Ada Jamaah Maiyah yang makan-minum lebih higienis, menjaga antibodi, mengistiqomahi segala sesuatu yang berkaitan dengan kesehatan dan stabilitas metabolisme tubuhnya. Ia meletakkan dirinya sebagai khalifah atas hidupnya sendiri. Berangkat dari keputusannya sendirilah ia akan tetap sehat atau menjadi sakit.
Ada Jamaah Maiyah yang memperkuat jasadnya justru dengan berpuasa, membangkitkan ketangguhan sel-sel tubuhnya dan mentawadlu’kan kejiwaannya. Ia melihat bahwa badannya, jiwanya, hidupnya, adalah amanat Tuhan yang ia wajib menjaganya, merawatnya dan melindunginya dari kemungkinan perusakan dari mana pun, termasuk dari segala lingkungan alam dan manusia.
Ada Jamaah Maiyah yang memperbanyak konsumsi apa saja makanan dan minuman sejauh batas yang ia rasakan sebagai kebutuhan badannya, serta meminum beberapa macam yang pahit dan kecut. Rasio yang ia pakai adalah bahwa yang pahit akan membunuh zarrah-zarrah negatif dan yang kecut-kecut membuat setiap serbuk kuman dan virus tidak bisa mengembangkan dirinya.
Ada Jamaah Maiyah yang memperbanyak perbuatan baik, menolong orang yang membutuhkan, menyayangi siapa pun yang maslahat untuk itu, karena ia percaya kehidupan punya dan memberlakukan logikanya sendiri, punya naluri hulu-hilir, punya disiplin sebab-akibat serta apapun saja bertasbih kepada Allah yang berjanji “faman ya’mal mitsqola dzarrotin khoiron yaroh waman ya’mal mitsqola dzarrotin syarron yaroh“.
Ada Jamaah Maiyah yang mempertekun ibadah wajibnya dengan menambahkan sunnah-sunnahnya. Kemudian wirid dan dzikir menyempurnakan lelakunya, baik sesudah ibadah maupun kapan saja dan di mana saja batinnya berdzikir. Sebab di dalam perspektif berpikirnya ia menemukan bahwa sehat-sakitnya dia, selamat-tidaknya ia dalam menjalani kehidupan, manfaat dan mudlarat apapun yang melimpah kepada-Nya – pasti berasal dari sumber dan akar kejadian hidup, yakni Tuhan.
Ada Jamaah Maiyah yang di samping ajeg memelihara kesehatan tubuh dan antibodi pertahanannya, menetapkan waktu jam-jam tertentu untuk khusus menghadap Allah secara batin. Lewat tengah malam ia shalat tahajjud dan memasrahkan permohonan dari ketidakberdayaannya kepada Allah Yang Maha Berdaya: Sehabis shalat ia konsentrasi mewiridkan Astaghfirullahal’adhim 33X, Ya Rahman Ya Rahim 33X, Ya Syafi Ya Haalim 33X dan Ya Hadi Ya Mubin 33X. Kalau ia merasa diberi kekuatan dan kenyamanan oleh Allah, 33X itu minimal, ia meneruskannya hingga 100X, bahkan sesekali sampai 1000X.
Ada Jamaah Maiyah yang wiridannya sangat eksploratif. Dari doa baku seperti “Bismillahilladzi la yadhurru ma’asmiHi syai`un fil ardli wala fis-sama`I wa Huwas Sami’ul ‘Alim”, atau yang sederhana dari tradisi Maiyah “Ya Hafidh Ya Hafidh ihfadhna. Ya Rahman Ya Rahim irhamna”. Atau ndridil setiap saat “Ya Dza rahmatan wa syifa`an”. Ada yang dari Surat Al-Hasyr ayat 21 “Lau anzalnaa hadzal Qur`ana ‘ala jabalin laro`aitahu khosyi’an mutashoddi’an min khosyyatillaah. Wa tilkal amtsalu nadlribuha linnasi la’allahum yatafakkarun”.
Ada yang membiasakan baca Ayat Kursi dengan “wala ya`uduhu hifdhuhuma” diulang 9X untuk memantapkan hatinya baru diakhiri “wa Huwal ‘Aliyyul ‘Adhim”. Bahkan ada yang menghormati dan menjunjung hasil ijtihad dan niat mulia para Ulama terdahulu, misalnya legenda Kaum Muslimin tradisional Jawa Maulana Syekh Subakir:
YA MAROJA JAROMA YA
siapa yang menyerang, berbalik menjadi berbelas kasihan.
YA MARANI NIRAMA YA
siapa datang bermaksud buruk, malah akan menjauh.
YA SILAPA PALASI YA
siapa membuat lapar akan malah memberi makan.
YA MIRODA DAROMI YA
siapa memaksa malah menjadi memberi keleluasaan/ kebebasan
YA MIDOSA SADOMI YA
siapa membuat dosa, berbalik membuat jasa
YA DAYUDA DAYUDA YA
siapa memerangi, berbalik menjadi damai
YA SIYACA CAYASI YA
siapa membuat celaka berbalik menjadi membuat sehat dan sejahtera
YA SIHAMA MAHASI YA
siapa membuat rusak berbalik menjadi membangun dan sayang.
Ada yang melakukannya secara biasa, konvensional tradisional, yakni membaca saja. Ada yang selama membaca ia bersujud. Ada yang berendam dalam air. Ada yang berpakaian lengkap putih-putih Maiyah dan membaca sambil mandi diguyur grojogan atau pancuran air. Ada yang berbagi jumlah hitungan wirid dengan anak-anak dan istrinya. Ada yang sambil kerja naik motor tapi hatinya tidak pernah lepas wiridan.
Ada yang tetap bekerja keluar rumah, ke kantor, warung atau kegiatan penghidupan yang lain, dengan sebelumnya menggosokkan sabun serbuk di seluruh tubuhnya, terutama tangan dan wajahnya.
Ada yang mencari tempat hening sepi selewat tengah malam. Duduk bersila. Mewiridkan “Ya Hadi Ya Mubin”. Memejamkan matanya tetapi memperbenderang penglihatan batinnya. Ia melihat Coronavirus berupa lingkaran-lingkaran, bulatan-bulatan, gerak-gerak gelembung atau bercak-bercak berwarna merah tajam. Dalam pejaman mata ia menatapnya dengan mengerahkan seluruh daya-jiwanya, dengan terus menderaskan wiridannya. Kemudian ia melihat bercak-bercak merah itu pelan-pelan berubah menjadi pink, kemudian oranye, akhirnya berubah menjadi biru, kemudian hijau, kemudian menyatu jadi tosca.
Jamaah Maiyah yang melakukan itu lantas mayakini bahwa ia sebagai wakil Tuhan yang diamanati untuk mengelola kehidupan dengan prinsip mashlahat dan barakah, pada tahap tertentu diperkenankaan oleh Allah untuk mengatasi warna merah itu sehingga menjadi tosca. Dari bahaya menjadi indah. Dari ancaman menjadi kenikmatan. ***