Corona di Benaman Jiwa
Jamaah Maiyah tidak rewel tentang apakah yang diterapkan oleh Pemerintah adalah PSBB atau PSPB atau BBSP atau Lockdown atau Gemnas (Gembok Nasional), Gemprof atau Gemkab, atau apapun. Jamaah Maiyah tidak perlu mempersoalkan, berargumentasi atau apalagi membantah pengumunan Jubir Ahmad Yurianto tentang berapa jumlah orang yang terpapar, yang meninggal dan yang sembuh. Juga tidak usah cemas Datuk Musa Malaysia bilang soal Corona Indonesia adalah bom waktu. Atau informasi apapun.
Itu semua akan menambah sakit dan lemah semua pihak: “qornan ‘ala qornin”. Indonesia tidak terbiasa dan tidak begitu suka atau tidak hobi mencari kebenaran. Pencarian kebenaran di Indonesia terpeleset dari urusan rasio-intelektual menjadi masalah mental dan psikologis. Hasilnya bukan objektivitas kebenaran tantang apa yang terjadi. Hasilnya adalah sakit hati, kebencian kemudian pemusuhan dan akhirnya pelestarian permusuhan. Pada hakikatnya Bangsa Indonesia Zaman Now sudah lama memiliki jenis virusnya sendiri, yang merusak pikirannya, menghancurkan hatinya, melemahkan mentalnya dan membuat jiwanya kehilangan tatanan sebagaimana dulu para Malaikat merakitnya atas panduan Allah Swt.
Virus itu terletak di pendaman jiwa bangsa ini sudah sangat lama, karena keinginannya terlalu lama tak tercapai, permusuhannya tak pernah bisa dieliminasi sehingga dipendam terus sampai sewaktu-waktu mengamuk, kebenciannya berkembang biak, ketidak-sehatan akalnya bahkan diresmikan secara sistemik dan terstruktur sedemikian rupa. “Fi qulubihim maradlun fa zada humullahu maradla”. Begitulah kondisinya begitu mengurusi Negara, politik, kekuasaan, jabatan.
Di dalam kalbunya terdapat virus penghancur kehidupannya, dan Tuhan memutasikan virus-virus itu menjadi semakin parah dan semakin parah. Biar saja sekarang “wa lahum ‘adzabun alim”. Dan percayalah bangsa ini, terutama Pemerintah dan kelas menengahnya, tidak akan belajar dan mempelajari apa yang sesungguhnya menjangkiti mereka. Apalagi kalau Tuhan transparan bilang “bima kanu yakdzibun” — semua itu menjangkiti mereka karena sangat getol memelihara dusta. Dusta intelektual. Dusta politik. Dusta budaya. Bahkan dusta sosial dan spiritual. Janganlah menanyakan tentang barang hilang kepada Maling.
Meskipun demikian rakyatnya ajaib. Mereka bisa tenang dalam kecemasan. Mereka berlaku normal dalam situasi darurat. Mereka sanggup bergembira dalam kesedihan. Mereka terbiasa “nekad”, mencapai level sangat tinggi di atas “tekad”. Kalau mau keluar rumah ya keluar saja. Hati kecilnya berkata “di rumah ya bisa mati, di luar rumah ya bisa mati”.
Saya ingat sahabatnya Mbak Via almarhum Brigjen Kusmayadi dalam perang di Timor Timur tertembak tangannya dan Panglima Yunus Yosfiah memerintahkan evakuasi. Tapi Pak Kus tidak mau. “Saya mundur bisa mati, saya maju bisa mati”. Maka dia maju terus dan berhasil mengeksekusi Presiden Fretilin.
Kira-kira seperti itu jiwa rakyat Indonesia. “Ainama takunu yudrikkumul mauta, walau kuntum fi burujin musyayyadah”. Kamu berada di mana saja maut akan menghampirimu, meskipun kamu berlindung di Gedung yang besar tebal tinggi kokoh. Mau lockdown atau tidak, pakai masker atau tidak, jaga jarak fisik atau tidak, kalau Allah tentukan mati ya mati. Kalau tidak ya tidak.
Nanti baru ada analisis apakah itu taqwa atau kekonyolan. Apakah itu tawakkal atau kesembronoan. Apakah itu keberanian atau ketidak-waspadaan. Itu kehebatan atau penyakit.
Jamaah Maiyah dengan hati-hati dan pelan-pelan dengan berbagai thariqah dan riyadlah, mempelajari itu semua. Sekarang konsentrasi ‘uzlah , memperbaiki kehidupannya bersama keluarganya masing-masing. Terserah kerjasamanya di Gua Kahfi mereka. Siapa yang tidur 309 tahun dan memaknainya. Siapa yang jadi sinar matahari dari lubang kanan timur. Siapa yang mendirikan Masjid dalam jiwa kebersamaannya. Siapa yang jadi kaki anjing Ar-Raqim atau Kithmir. Siapa yang bagian bertanya kepada Allah berapa jumlah mereka dan bagaimana posisi dan keadaan “Pasukan Virus” di luar Gua. Juga siapa yang bertugas pergi ke pasar, berbekal sikap sopan santun lemah lembut, jaga jarak dan pakai masker dzikir dan wirid.
Jamaah Maiyah sebisa mungkin berkoordinasi untuk saling tolong-menolong, terutama bab penghidupan harian. Secara online setiap Simpul Maiyah bisa mempetakan dan mengantisipasi segala kemungkinan di antara Jamaah Maiyah di wilayahnya. Dihitung juga seberapa jauh dan seberapa mampu Jamaah Maiyah menolong masyarakat yang mereka bisa menjangkau.
Selebihnya masing-masing berkonsentrasi melakukan Muhasabah pada dan tentang keluarganya masing-masing. Pasti banyak sekali kesadaran dan penyadaran baru yang diperoleh selama ‘uzlah, yang sebelumnya tidak bisa diperoleh di tengah kebebasan sosial. Narapidana di sel-sel penjara punya peluang lebih jernih dan lebih luas untuk lebih menyadari makna kehidupan, arti keluarga, harga silaturahmi, mahalnya kebersamaan serta kesejatian nilai hidup.
Apalagi Jamaah Maiyah memasuki penjara Gua Kahfinya masing-masing tidak karena dipaksa oleh Covid-19, melainkan mengambil alih kemudlaratan itu menjadi ide kemashlahatan baru. Setiap keluarga sekarang menjadi lebih jernih dan jujur melihat sejatinya hubungan kekeluargaan mereka bagaimana. Ada pendaman-pendaman yang berbahaya atau tidak. Ada ganjalan-ganjalan yang perlu dipapras atau tidak. Ada rahasia-rahasia yang selama di Gua Kahfi baru terasa dan ketahuan atau tidak. Bagaimana hubungan pribadi, psikologis dan percintaan antara Ibu dengan Bapak, sebagai lelaki dengan perempuan, sebagai suami dengan istri, sebagai manusia dengan manusia. Apa saja kekurangannya selama ini, mungkin atau tidak diselenggarakan kebersamaan untuk memperbaikinya.
Apa yang lebih dominan dalam wujud silaturahmi antar anggota-anggota keluarga selama ini. Permakluman atau penolakan? Penerimaan atau penepisan? Transparansi atau ranjau-ranjau psikologis? Apa yang terpenting yang harus dibangun kembali di antara semua itu? Mungkinkah teori klasik modern diterapkan: misalnya, duduk bersama dan berembug berdiskusi. Atau tetap satu orang menjadi lautan, lainnya menjadi sampah. Yang satu melampiaskan, lainnya nyegoro? Atau bagaimana baiknya? Masing-masing keluarga Jamaah Maiyah ber-iqra` kembali, dengan landasan “bi ismi Rabbika”, yakni “alladzi khalaqa”, yang Maha Menciptakan karakter masing-masing, fadhilah masing-masing, kelebihan-kekurangan masing-masing, asal-usul nasab masing-masing. Kalau perlu detailing ya shio dan primbon masing-masing sebagai wacana Ijtihad.
Walhasil Jamaah Maiyah menilai kembali segala sesuatu di dalam keluarganya dan merundingkan ketetapan yang terbaik yang sebaiknya mereka lakukan mulai sekarang.
Itu semua tergolong masalah kecil, dibanding hal-hal yang menyangkut bumi dan langit, yang para ilmuwan manusia sok tahu, sementara kebanyakan manusia malah sangat malas sehingga awam tentang ilmu yang menyangkut manusia sendiri. “Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Jamaah Maiyah tidak “gumun” kepada segala ilmu para ilmuwan. Yang mereka kagum adalah bahan-bahan atau fakta-fakta ciptaan Allah yang coba didekati atau diteliti oleh para ilmuwan, yang para ilmuwan sendiri belum tentu kagum kepadanya. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”. Itulah sebabnya Jamaah Maiyah bisa berkumpul Sinau Bareng selama 8 jam dan pulang ke rumah beberapa saat sebelum Subuh.
Jamaah Maiyah terbiasa menangis selama lantunan cinta, kemudian mendadak tertawa dalam “tahadduts bin-ni’mah” di Maiyahan mana saja. Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam penciptaan langit? Bawalah kepada-Ku Kitab yang sebelum (Al-Qur`an) ini atau peninggalan dari pengetahuan orang-orang dahulu, jika kamu adalah orang-orang yang benar”.
Allah menggelar sajadah waktu Panjang untuk pembenahan hidup Jamaah Maiyah. Mungkin bukan sebulan dua bulan. Bisa jadi setahun dua tahun. Jamaah Maiyah merundingkan dan menyusun dengan keluarganya masing-masing apa saja yang sebaiknya mereka kerjakan sejak pagi hingga malam setiap hari selama rentang waktu anugerah Allah itu. “Orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka”. *****