“Anak Pingit” dan “Anak Liar”
Pergeseran-pergeseran pola perilaku sosial budaya kaum muda Kota Yogya dewasa ini, kalau mau diamati dan dicermati sungguh-sungguh, tentu memerlukan “multimetoda” dalam sejumlah upaya penelitian. Manusia, masyarakat, dan sejarah, pada hakikatnya senantiasa berlalu dari pengetahuan kita dengan hanya meninggalkan satu dua jejak, yang sedikit saja kita pahami dan sadari, sebagai ombak dan gelombang berganti bentuk setiap detik.
Ilmu-ilmu sosial “harus” tidak terlalu dipercaya, apalagi “Ilmu Sosial Koran” yang sifat utamanya adalah “melancong”, melihat sekilas-lintas, memandang ala kadarnya. Demi kebenaran realitas, demikianlah kebenarannya sosok kualitas dari apa yang coba saya tuliskan ini. Jadi, jangan terlalu dijadikan pegangan.
Apalagi saya hanya “minta tolong” kepada gejala-gejala sosial budaya yang rasanya tidak cukup punya kepantasan untuk dijadikan titik tolak suatu usaha pencermatan. Misalnya saja saya bermaksud berangkat dari kenyataan bagaimana anak-anak Yogya berlalu lintas dua tiga tahun terakhir ini.
Lalu, bagaimana mahasiswa dan pelajar mendaftarkan diri menjadi konsumen utama bertumbuhnya pub atau lomba budaya artifisial dan superfisial sekaligus — mungkin kontes kliwir, lomba memalsukan diri menjadi seolah-olah penyanyi, kontes kostum hitam-putih trendy, dan lain sebagainya, meskipun belum sampai pada tingkat lomba aroma ketiak atau kontes menghitung jumlah bulu hidung.
Meski demikian, harus tidak kita lupakan juga refleksi “kulturalisme” melalui jenis-jenis gerakan politik mahasiswa, model-model budaya pemelukan agama dari sayap paling kanan hingga paling kiri, atau juga kaitannya dengan naif dan tololnya modus-modus acara budaya kaum muda di tayangan televisi, termasuk “sukses”nya arus global deintelektualisasi dan depolitisasi.
Garis-Garis Curam di Jalanan
Barangkali Anda sudah tahu betapa kacau dan uniknya lalu lintas jalanan Kota Yogya dewasa ini. Kalau Anda mengamati dan mengalaminya sampai tingkat intensitas dan jangka waktu yang memadai, Anda akan menemukan sebuah angle untuk uraian Anda tentang psikologi sosial.
Di jalanan Kota Yogya, Anda berpapasan dengan rendahnya pemahaman dan kesadaran etika dengan psikologi kekuasaan, dengan egoisme atau intoleransi sosial, dengan keliaran atau terkadang kenakalan dan keputusasaan.
Saya yakin tidak ada frekuensi pelanggaran lalu lintas melebihi yang terjadi di Yogya. Lampu merah diterobos adalah pemandangan yang lazim. Para pengendara motor menggoreskan garis-garis curam meliuk-liuk: mereka penggemar slalom dan mempraktikkannya di tengah keriuhan lalu lintas.
Bus-bus menjadi “priagung” yang berhenti kapan saja mau berhenti dan meletakkan pantatnya di depan puluhan kendaraan lain di mana saja ia mau. Motor dan becak melintas ke arah kanan dulu baru — kalau ingat — memberi tanda. Yang berlangsung dalam “film lalu lintas” adalah irama-irama pribadi, bukan kerja sama dan solidaritas kolektif.
Yang mobil atau motornya jalan pelan tidak merasa harus meletakkan diri di tepian; mereka adalah mandor yang ongkang-ongkang dan merokok santai di tengah para buruh yang bekerja keras. Meskipun pukul 03.00 dini hari Anda jangan sekali-kali merasa aman untuk menjalankan kendaraan melintasi lampu hijau karena sangat mungkin ada motor atau mobil menyilang yang seringkali bahkan tanpa lampu.
Mereka adalah pembalap-pembalap dengan “kesadaran gas” dan amat sedikit membawa di otaknya “kesadaran rem”. Juga tanpa perspektif ke depan — meskipun di depannya belum jelas bagaimana keadaan, meskipun muncul dari tikungan atau gang sempit — gas tetap saja menjadi “panglima”. Tentu saja di samping keliaran dan kenekatan, itu adalah cermin ketololan. Itu sama sekali bukan keberanian, melainkan kebodohan, kedunguan.
Kemudian, amatilah para pelamun. Orang-orang melintaskan badannya di jalan raya, sementara pikiran dan hatinya entah diletakkan di mana, mungkin di angka-angka utang atau entah apa. Para pelamun khas Yogya ini terdiri dari pengendara itu sendiri, para penyeberang jalan, becak, sepeda, atau pejalan kaki di pinggir jalan.
Sungguh, cukup bagi Anda mengamati jalanan Yogya untuk menemukan pantulan-pantulan dari sakit jiwa sosial masyarakat kita. Semula saya “menuduh” bahwa pelaku utama kekacauan komunitas jalanan itu adalah anak-anak muda. Tetapi, itu tidak benar karena egosentrisme, psikologi kekuasaan, dan rendahnya kooperasi sosial itu juga “diselenggarakan” oleh mobil-mobil pelat merah, pengendara-pengendara yang membuat Anda hampir sakit jantung, tetapi urung marah sesudah melihat bahwa si oknum itu ternyata sudah tua dan berwajah memelas. Bahkan sekarang, jika malam sudah larut, pelanggar itu juga motor atau mobil polisi….
Pergeseran Perilaku Sosial Budaya
Dari jalanan Yogya, kita telah coba menemukan beberapa indikator terpenting dari substansi dan pola-pola perilaku sosial budaya kaum muda kota itu. Tentu saja itu bukan “harga mati” karena realitas sosial selalu bersifat “cair”.
Akan tetapi, sempat teruraikan atau tidak dalam tulisan ini karena terbatasnya ruangan, kita bisa memproyeksikannya sendiri-sendiri atau menemukan paralel-paralel antara dunia lalu lintas dengan wilayah-wilayah kehidupan kaum muda lainnya.
Misalnya, cerminan lalu lintas mengenai rendahnya moral sosial atau etika lingkungan: kita bisa temukan hal yang sama pada pola-pola pergaulan baik pada skala keluarga, lingkungan kampung, maupun keterkaitan urusan antarmanusia dan kelompok masyarakat yang lebih luas.
Kita lihat tumbuhnya kelompok-kelompok kecil mahasiswa, yayasan, dan LSM-LSM “pemula” di kalangan kaum muda, sebenarnya merupakan antitesis dari arus umum saat kepedulian sosial sangat rendah.
Sekolah dan universitas hanya mengajarkan kepandaian, informasi, dan keterampilan mengejar kepentingan pribadi. Contoh-contoh soal dari ketidakteladanan kaum birokrat, pamer kemewahan di TV dan jalan-jalan protokol, tidak mendidik kaum muda untuk peka menghubungkan dunia glamor dan angkuh itu dengan keterhinaan orang kecil dan miskin.
Saya tidak menyimpulkan bahwa di kalangan kaum muda Yogya itu etika sosial makin rendah. Mungkin sekadar potret realitas ketika modernitas kita memang semakin tidak acuh terhadap dimensi etika dan moralitas.
Pada kondisi seperti itu, kaum muda selalu berada pada posisi transisional sehingga apa yang tampak sebagai dekadensi moral dan etika bisa jadi sekadar merupakan tahap tempat berlangsungnya transformasi nilai etika yang belum tiba pada kesepakatan baru. “Saf” kosong pada masa transisional itu tentu saja diisi oleh “setan”, egosentrisme, dan lain sebagainya itu.
Dalam pada itu, yang paling memprihatinkan adalah suburnya dorongan psikologi untuk berkuasa. Ini terjadi di setiap lapisan dan lekuk-lekuk realitas sosial, bahkan mampu menyelusup ke dalam saraf naluri, cara berpikir, dan kesadaran.
State, militerisme, dan otoritarianisme telah menjadi referensi utama pendidikan lingkungan kaum muda kita. Seorang anak muda tidak pernah kenal peluru, tetapi naluri perilakunya bisa saja cenderung “menembakkan peluru” dalam setiap keterlibatannya.
Di dalam pergaulan, di dalam berorganisasi, di dalam berdagang, mereka ditradisikan untuk “memakai lars (sepatu) untuk menginjak”. Bukan salah Bunda mengandung karena yang melahirkan mereka memang Bapak generasi yang tidak sadar apa yang mereka sejarahkan.
Anak Pingit dan Anak Liar
Berlangsungnya proses deintelektualisasi (yang digantikan oleh pendidikan hedonisme dan konsumtivisme), serta proses depolitisasi (yang malah diisi oleh pendidikan untuk berkuasa), menciptakan kaum muda dengan kepribadian ganda. Di satu pihak mereka adalah anak pingit, anak mami yang manja dan bergantung. Namun, di lain pihak mereka sekaligus juga anak liar yang rendah etikanya dan bodoh secara sosial.
Keterpingitan memiliki “kaplingnya” sendiri dalam peta perilaku sosial budaya mereka, sementara “kapling” lainnya dipakai untuk melampiaskan natur keliaran, yang pada mulanya berupa hakikat kebebasan kemerdekaan dan kreativitas.
Karena mereka dilarang untuk kreatif dan eksperimental di bidang-bidang yang kualitatif dan relevan untuk itu — kecerdasan dan eksperimen mereka-mereka dipentaskan di jalanan, di tempat-tempat hiburan — tetapi tanpa muatan kualitas, selain terbatas pada kreativitas lomba kepalsuan, lomba reka-reka, dan lain-lain yang memperlakukan kegagahan ilmu dan etos modernitas yang telanjur merasa diri maju.
Kaum muda itu bagai komunitas mudatstsirun: orang- orang berselimut, atau kaum yang terselimuti. Oleh apa? Oleh banyak segi-segi pendidikan ketidakcerdasan, ketergantungan, tetapi — ironisnya — juga berkekuasaan.
Pantas Tuhan bilang “Qum!”. Berdirilah. Mandirilah. Mandiri pemikiran, mandiri sikap, mandiri pilihan, mandiri politik, mandiri ekonomi, mandiri budaya, mandiri kewiraswastaan. Hanya dengan itu mereka punya perangkat untuk memenuhi amanah, “Fa-andzir!” Berilah peringatan. Lakukan kontrol sosial. Berposisilah terhadap kelaliman dan kepalsuan.
Madubroto, 27 Januari 1991, dari Buku Sedang Tuhan Pun Cemburu