CakNun.com

Di TVRI Tidak Ada Putri Yang Tertukar

Reportase Sinau Bareng CNKK dalam HUT ke-53 TVRI Yogya, 9 Agustus 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 10 menit

Kamis 9 Agustus 2018 Masehi, presiden negeri tetangga akhirnya memutuskan siapa yang cocok menjadi pendampingnya untuk maju kembali dalam pencalonan pemilihan capres dan cawapres tahun depan. Tentu, karena ini adalah perhelatan memilih presiden maka tidak pernah juga ada dalam pikiran para warga negeri tersebut untuk mengajukan sosok pemimpin, presiden saja cukuplah itu pun sudah dengan biaya pertikaian dan pertengakaran tak henti-henti.

Apakah ini memang proses dalam menuju demokrasi? Sejak kapan pula demokrasi adalah tujuan? Ingar-bingar santer terdengar, tapi yang terseret arus dukung-mendukung serta anti-menganti, tentu hanya para domba yang merasa mesti mempertahankan lahan perumputannya atau yang merasa perlu memperluas lahan merumputnya dan demikian itu mereka merasa perlu menjadikan diri mereka serupa serigala.

Tentu saja juga, tulisan ini tidak sedang membahas kondisi negeri imajiner tersebut. Sebab, selain para kawanan Domba Berhati Serigala, tampaknya yang masih menjaga roso manungso-nya tidak benar-benar menganggap ini semua persoalan serius. Nun di sana, di seberang negeri imajiner itu para manusia sedang berkumpul pada malam hari menghayati nikmatnya menjadi manusia yang lumrah, yang wajar pada Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di halaman TVRI Yogyakarta, Jl. Magelang.

//Sepinya hati Garuda //Dijunjung tanpa jiwa //Menjadi hiasan maya //Oleh hati yang hampa

Suara Ibu Novia mengalun lirih dengan sapuan nada dari KiaiKanjeng. Sebelumnya Mbah Nun sempat membacakan secara puitik lirik “Garuda Sepi”. Sejak mendengarkannya, dalam benak saya entah bagaimana terpampang adegan kumpulan domba yang menggotong jasad Garuda dan bersiap menyantap potongan demi potongannya dengan berahi serupa serigala pada mangsanya. Mungkin hanya imajinasi saya saja.

//Dendam rindu tiada kata //Disayang tanpa cinta //Dipuja dan dihina

Sejak awal acara dimulakan, Mbah Nun mengajak para generasi Maiyah dan juga tentu sohibul bait TVRI Yogyakarta yang sedang dalam rangkaian perayaan ulang tahunnya, untuk menegakkan logika-logika dasar dalam berpikir, jangan sampai salah tempat apalagi tertukar. Logika ini bukan soal pikiran kognitif saja, tapi output-nya tentu kita akan menjadi lebih luas dan dengan keluasan itu barulah kita bisa menampung ruang dan waktu.

Tak jarang, kepungan kesempitanlah yang membuat orang-orang terlalu spaneng sehingga banyak hal yang tidak perlu jadi soal lantas dipersoalkan betul. TVRI ini misalnya sedang menghadapi kenyataan bahwa rating-nya secara rata-rata (tentu data ini kalau kita mau teliti harus kita baca data primernya, di sini kita ambil impresinya saja dulu) selalu berada di bawah stasiun tivi swasta yang penuh acara hiburan seperti Indosiar atau RCTI namun tetap berada di atas stasiun tivi berita semisal TV One dan MetroTV.

Mbah Nun menjangkepkan logika, bahwa TVRI maqom-nya tidak selevel untuk bersaing dalam hal rating dengan stasiun tivi lain karena memang urusannya berbeda. Artinya, TVRI juga tidak perlu benar-benar menanggapi dan merspons hal semacam ini. Kita berada pada dunia di mana kita dikepung tolok ukur dari yang asing bagi kita lantas kita coba merespons dengan membuat diri kita setara dengan tolok ukur alien itu, akhirnya kita kehilangan kedaulatan.

Dalam sejarah Islam juga pernah (dan masih sedang) terjadi ketika gelombang Nahdah di Mesir mencuat, adalah respons dari ummat Islam yang merasa perlu memiliki apa yang dimiliki Eropa. Mulai dari konsep negara, bentuk organisasi, ideologi, parpol, aktivisme sampai pada kelanjutannya tanpa sadar mengadopsi pemahaman mengenai apa itu agama sendiri. Pada masanya, kata “Nahdah” sampai juga ke negeri yang sedang kacau belia di seberang itu.

Maka itu kita perlu belajar hal-hal mendasar. “Anak muda yang datang saat ini mbok sinau,” saran Mbah Nun. Kita banyak luput hal-hal mendasar, kita jargon-jargonkan “jangan lupakan sejarah” tapi kita juga tidak siap untuk menerima pembacaan data sejarah yang kira-kira hasilnya akan menggoncang heroisme tokoh yang terlanjur kita junjung, kita puja, kita wali-walikan bahkan kita bekukan jadi pahlawan. Mbah Nun memberi contoh betapa kurang detail dan presisinya kita mempelajari Sokarno, sikap dan perilakunya apa saja, bagaimana proses belajarnya.

Lainnya

Exit mobile version