Apa Andalanku KepadaMu

“Yang hendak kusampaikan dan kukeluhkan bukan hanya penderitaan hidup ummat manusia di sekitarku. Juga tak hanya kesengsaraan batin para sahabat dan anak cucu di sekitarku. Yang juga akan kukeluhkan kepada Rasulullah adalah Iqra` derita batinku sendiri.”
“Kalau tak kepada beliau, lantas kepada siapa? Apakah ada makhluk atau siapapun saja selain Allah dan Rasulullah yang memiliki ruang untuk kutuangi keluhan-keluhan hatiku? Manusia yang berkuasa, tak tahu bahwa aku ada. Manusia yang memiliku kekuatan, tidak melihat bahwa aku penuh kelemahan. Sedangkan manusia yang lemah, yang jumlahnya tak terhitung di sekitarku, menguburku di bawah timbunan batu dan tanah penderitaan yang aku tak mampu menolong. Menenggelamkanku di dasar laut air mata mereka yang aku tak sanggup mengusapnya.”
“Kalau aku langsung hendak mengeluh kepada Allah, aku terlalu jauh dari-Nya, tanpa aku pernah benar-benar tahu apakah Ia dekat padaku. Andaikanpun Ia sungguh-sungguh dekat padaku, aku selalu merasa bahwa tak pantas bagiku untuk berada dekat dengan-Nya.”
“Memang dengan penuh intimitas kalbu dan kemesraan perasaan Allah membisikkan: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” [1] (Qaf: 16).
“Tapi aku tidak pernah percaya kepada diriku sendiri. Aku hanya percaya kepada Allah dan Rasulullah. Sudah habis energi kepercayaanku untuk Beliau berdua, tanpa tersisa untuk diriku sendiri. Apa gerangan yang bisa kuandalkan pada hinanya diriku ini untuk berdekatan dengan-Nya? Meskipun begitu Maha Pemurahnya Ia dengan “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”, tetapi aku wajib tahu diri”.