Pak Kanjeng
Naskah: Emha Ainun Nadjib (1993)
Pak Kanjeng adalah naskah yang dipentaskan untuk mengkritik penguasa Orde Baru sebagai respons terhadap kesemena-menaan rezim Orde Baru ketika membangun waduk Kedung Ombo. Pada November 1993, Mbah Nun mementaskan Pak Kanjeng yang memotret perlawanan Pak Jenggot dalam menolak pembangunan waduk Kedungombo, Boyolali, Jawa Tengah. Ia menjadi representasi rakyat kecil yang ditindas hak-haknya oleh hegemoni pembangunan Orde Baru.
Pak Kanjeng diperankan oleh tiga aktor yang menggambarkan sebuah pribadi yang terpecah menjadi tiga: yang keras melawan, yang lunak toleran, dan yang ragu-ragu. Itu merupakan tiga faset kejiwaan Pak Kanjeng dalam menghadapi kekuasaan Negara.
Majalah Tempo pada 27 November 1993 mencatat bahwa Pak Kanjeng, monolog karya Mbah Nun ini dipentaskan dengan tiga pemeran dan sebuah forum penyutradaraan oleh sembilan sutradara. Sebuah lakon yang berhasil dipentaskan di Purna Budaya Yogyakarta karena tadinya agak sulit mendapat izin pentas. Dan juga menurut catatan Bernas pada 2 September 1993, sulitnya mendapat izin pentas karena karya-karya Mbah Nun dengan kritik kerasnya pada Orde Baru saat itu, dalam dinamika kesenian acapkali mengundang reaksi aparat keamanan yang berbuntut pada pembatalan atau pelarangan.
Namun bagi Mbah Nun sendiri, Pak Kanjeng bukan terutama sebuah pertunjukan. Ia adalah laboratorium budaya. Laboratorium Pak Kanjeng yang lalu dalam pementasan-pementasan selanjutnya menjadi Komunitas Pak Kanjeng (KPK)–di masa itu Komunitas Pak Kanjeng menjadi pelopor penggunaan kata “komunitas” untuk sebuah perkumpulan di Indonesia–dan di kemudian hari bermetamorfosa menjadi Gamelan KiaiKanjeng.