Aplaus Panjang Jamaah Padhangmbulan
Kerja besar dan kerja keras seluruh pemain dan tim pendukung “Mlungsungsi” yang berjumlah 90-an orang tak hanya berhenti pada pementasan pada 25 dan 26 Maret di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY), tetapi terus berlanjut pada rencana pementasan-pementasan selanjutnya. Hanya berselang 20 hari dari pementasan pertama di TBY, mereka sudah pentas lagi. Kali ini di pengajian kerakyatan Padhangmbulan Menturo Sumobito Jombang pada 16 April 2022.
Sangat berbeda dalam banyak sisi dengan pementasan di TBY, Pementasan “Mlungsungi” di Padhangmbulan berlangsung dalam suasana enjoy, bahagia, penuh apresiasi dari belasan ribu jamaah dan penonton yang hadir. Area terbuka pengajian Padhangmbulan yang notobene bersifat kerakyatan memungkinkan belasan ribu jamaah dan penonton untuk datang dan menyaksikan. Apalagi mereka duduk lesehan, tak seperti di dalam gedung yang memakai kursi.
Duduk lesehan ini mendorong mereka bukan sebagai penonton individual, melainkan satu kolektivitas. Mereka duduk bareng satu sama lain, ada interaksi di antara mereka, ada kesadaran bahwa mereka adalah satu kesatuan kebersamaan yang siap menikmati dan menyaksikan pementasan yang langka ini. Sehingga, dialog atau pesan-pesan yang disampaikan melalui para pemain “Mlungsungi” jadi benar-benar mendapatkan audiens yang gayung bersambut, nyambung, hidup. Komunikasi di mana pesan-pesan tersampaikan sangat terasa.
Respons-respons para jamaah dan penonton sangat sering muncul dalam tawa yang pecah manakala ada dialog yang mengundang tawa mereka. Bahkan ketika Prabu Durgoneluh muncul, gerakan dan posturnya saja (belum berbicara), sudah langsung membuat mereka gerrr dan paham siapa yang sedang direpresentasikan oleh Prabu Durgoneluh. Alhasil, Reriungan Teater Yogyakarta yang beranggotakan lintas generasi dan lintas latar belakang kesenian ini di Padhangmbulan tidak sedang berhadapan dengan penonton yang duduk individual di kursi gedung teater, melainkan dengan sebuah ‘masyarakat’, yakni masyarakat yang dalam nikmat kebersamaannya siap menyaksikan drama “Mlungsungi”, siap menerima, mencerna, merespons, dan mengapresiasi.
Sepanjang tiga jam lebih durasi pementasan “Mlungsungi” ini, mereka semua penuh atensi dari awal hingga akhir. Layar proyektor sebanyak empat yang dipasang di jalan juga penuh jamaah. Baik yang mendapat tempat di area depan panggung maupun yang tersebar di beberapa sisi dan jalan, semuanya penuh perhatian dan menikmati pementasan hingga akhir. Saat pementasan berakhir aplaus panjang membahana untuk seluruh pemain dan pendukung “Mlungsungi”.
Belasan ribu jamaah dan penonton yang datang pun membawa limpahan berkah bagi para penjual makanan dan minuman dll. yang membuka warung di pinggir-pinggir jalan. Laris manis jualan mereka. Bahkan ada di antara penjual yang mengaku capek berdiri karena melayani pembeli yang tak habis-habis. Hal yang tak terjumpai pada pementasan di gedung teater. Pementasan “Mlungsungi” malam itu tak hanya menyuguhkan drama, cara berpikir, dan kandungan doa untuk Indonesia, tetapi juga ikut memacu berputarnya berkah ekonomi dari masyarakat untuk masyarakat.
Keluarga, panitia, dan keluarga besar jamaah Padhangmbulan sangat bersyukur dan berterima kasih diberi ilmu dan pengalaman baru melalui drama kolosal “Mlungsungi”. Pementasan “Mlungsungi” ini adalah pementasan kemandirian. Tidak terkait pemerintah, lembaga swasta, dll. Pendanaannya “cukup besar” dan cukup ditopang oleh Mbah Nun secara mandiri dan berdaulat.