Melatih Diri Sadar Batas
Judul di atas, yang sekaligus menjadi tema Pengajian Padhangmbulan, Senin, 25 Maret 2024, berangkat dari asumsi bahwa perilaku manusia dan produk budaya yang dihasilkannya belum sadar batas.
Memakai terminologi yang disampaikan Mbah Nun, belum sadar batas maksudnya ngegas terus tanpa ngerem. Gaya hidupnya, prioritas cita-citanya, nafsu berkuasanya digas pol.
Hingga dosis yang paling ekstrem, gas pol rem blong membentuk citra kesadaran diri bahwa manusia bebas melakukan dan menguasai apa saja, karena ia (menjadi) tuhan itu sendiri. Dia (Firaun) berkata: Akulah Tuhanmu yang paling tinggi (QS. An-Nazi’at: 24).
Manusia modern tidak cukup bodoh mendeklarasikan hal itu. Selain akan berhadapan dengan MUI dan Polres atas tuduhan aliran sesat, pernyataan verbal atas pengakuan diri sebagai tuhan tidak efektif untuk talbis pencitraan. Barangkali kampanye Firaun dalam menuhankan dirinya masih “polos” alias belum soft karena tidak didukung para “tukang sihir” yang menguasai media sosial.
Namun, watak itu tetap berlangsung hingga kini. Sesungguhnya dia (Firaun) telah melampaui batas (QS. An Nazi’at: 17). Thagha merupakan perbuatan yang menabrak batas nilai-nilai kemanusiaan, baik dalam skala individual (dholuman) maupun sosial (jahulan). Dalam lingkungan kekuasaan, thagha mengabdi pada ananiyah atau egoisme yang justru disembah layaknya mengagungkan sifat-sifat ketuhanan.
Pada konteks yang lain, thagha tidak selalu berupa sosok. Ia bisa hadir sebagai karakter yang tidak kita sadari justru menuntun perilaku sehari-hari. Puncak kebebasan bukan bebas berbuat semaunya, melainkan sadar terhadap batas. Puasa melatih diri agar kita sadar terhadap batas-batas itu.