CakNun.com

IMPERSONATION

Mukadimah Kenduri Cinta edisi Agustus 2024
Kenduri Cinta
Waktu baca ± 4 menit
Kenduri Cinta edisi Agustus 2024

Beberapa kekaburan ‘elementer’ yang menyangkut persoalan itu mungkin tidak perlu terlalu menjadi fokus pembicaraan kita. Misalnya, jika pengertian nasionalisme bisa kita lacak melalui konsep ‘bangsa’, maka apa sesungguhnya faktor utama yang melandasi bangunan komitmen yang disebut ‘bangsa’? Sejak di Sekolah Dasar, kita diberi pengertian bahwa bangsa itu merupakan kumpulan dari suku-suku bangsa. Jadi, ras. Perbedaan antara bangsa ini dengan bangsa itu menunjukkan perbedaan ras ini dengan ras itu. Tetapi orang Sumatera yang Melayu tidak sebangsa dengan orang Malaysia, dan mutiara-mutiara hitam Irian Jaya itu bangsa Indonesia.

Maka pengertian ‘bangsa’ pada kenyataannya sekarang ini lebih bersifat politis dari pada antropologis. Dengan demikian maka rangka nasionalisme lebih bisa diterangkan oleh konsep ‘negara’ dibanding konsep ‘bangsa’.

Nasionalisme Muhammad, Emha Ainun Nadjib, 1988

Tentu sejarah terbentuknya negara-negara tidak lepas dari pembahasan bangsa-bangsa. Semangat kebangsaan muncul paling mudah jika muncul musuh bersama, sepertinya itu juga yang melandasi terbentuknya bangsa Indonesia. Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda hingga Proklamasi 1945 adalah tonggak Sejarah lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tapi, bangsa Indonesia sudah lahir jauh-jauh hari sebelumnya. Sumber daya alam yang semestinya didayagunakan untuk kesejahteraan bersama masyarakat, tetapi pada prosesnya muncul sekelompok orang yang berusaha menguasainya. Rahmat Tuhan yang seharusnya dapat didistribusikan seluas-luasnya untuk menjadi berkah secara merata, justru dimonopoli oleh penjajah. Ketidakadilan dirasakan, penjajahan menjadi musuh bersama yang menumbuhkan semangat perjuangan berbangsa, senasib sepenanggungan. Singkatnya seperti itu, walaupun detail sejarah tentu tidak sederhana dan boleh jadi banyak lembaran-lembaran sejarah yang tercecer.

Evolusi konsep teritorial kekuasaan terjadi sejak awal adanya konsep kepemilikan. Pertalian darah atau mungkin dari kesepakatan-kesepakatan tertentu, komitmen untuk menjaga sumber daya alam, lantas sekelompok orang mengklaim suatu wilayah menjadi teritorial milik mereka. Boleh jadi berupa wilayah perburuan hewan atau mungkin berupa wilayah untuk pertanian. Mereka saling bekerja sama menjaga wilayah dari kelompok lain. Terkadang mereka juga berusaha merebut wilayah kelompok lain dalam rangka perluasan wilayah. Atau, bisa juga karena ada dinamika perpecahan, wilayah teritorial mereka pun terpecah.

Semakin kompleksnya urusan hidup internal koloni maupun hubungan antar koloni sangat berpengaruh pada tatanan hidup dalam koloni itu. Pembagian tugas mungkin terjadi secara alami pada awalnya. Namun, pada tahap berikutnya, perlu ada kesepakatan-kesepakatan yang dapat memaksa anggota koloni harus mematuhinya. Demikian pula dengan mekanisme pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan kelompok itu. Bisa saja suatu kelompok harus dipimpin oleh orang terkuat pada kelompok itu untuk menghadapi serangan dari kelompok lain. Namun, berbeda pada kelompok lainnya, bisa jadi perlu ada musyawarah dalam menentukan tempat menggembala ternak pada situasi damai.

Pada masanya, ide dan gagasan bernegara pun bermunculan dengan berbagai bentuk dan sistem pemerintahan. Tentu banyak hal yang menjadi faktor penentu dan proses panjang dari sebuah negara sehingga dapat berdiri dalam berbagai bentuknya akan melibatkan banyak pihak. Entah itu bentuk kerajaan, kekaisaran, presidensial, parlementer, demokrasi, liberal, federal, aristokrasi, dan beragam lainnya. Sayangnya pada proses berikutnya, negara sering kali menjadi alat tirani kekuasaan. Politik menjadi alat untuk berkuasa bagi sebagian orang agar dapat memiliki kewenangan penuh dalam mengelola negara. Jika sampai terjadi penindasan, separatisme sangat mungkin terjadi. Sebaliknya, dengan tujuan untuk membentuk negara yang lebih besar, penggabungan wilayah dari beberapa negara menjadi satu negara juga mungkin terjadi.

Optimisme memunculkan cita-cita luhur pada setiap bangsa demi kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dalam wilayah teritorial negara. Negara Indonesia dilahirkan untuk mempersatukan suku-suku bangsa di nusantara yang sangat beragam. Proklamasi 1945 mewujudkan persatuan itu. Tapi yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah setelah 79 tahun kemerdekaan cita-cita besar proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah tercapai?

Sistem demokrasi yang dipercaya sebagai sistem terbaik hanya tampil sebagai cap pembenaran seolah-olah inilah sistem terbaik. Sistem kerajaan yang dicela karena dianggap wujud dari otoritarianisme, mungkin tidak lebih buruk dibandingkan sistem yang ada saat ini. Otoritas pengelolaan wilayah yang diberikan oleh pusat kepada daerah terkecil tidak jauh berbeda dengan sistem kerajaan. Sosok seorang raja dulu menjadi faktor keseimbangan antar wilayah kekuasaan, semestinya sosok presiden juga dapat menjadi penjamin keseimbangan. Di bawah Undang-Undang Otonomi Daerah, yang terjadi malahan saling tidak percaya antar level kepemimpinan, membuat semuanya saling berkelahi dalam menentukan kebijakannya masing-masing.

Demokrasi saat ini dipilih oleh Bangsa Indonesia sebagai sistem negara dengan satu orang satu hak suara. Sejak Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, hingga kini, perubahan rezim terus berlangsung. Ketika negara ini didirikan, disusunlah Undang-Undang Dasar Negara dengan Pancasila sebagai dasar negara. Pemerintah yang berkuasa seharusnya berpijak pada dasar negara itu, namun sampai hari ini, kesejahteraan rakyat belum terjamin seperti yang diamanatkan Undang-Undang Dasar. Rakyat pada akhirnya hanya menjadi pelengkap penderita yang dibutuhkan kehadirannya setiap lima tahun sekali saat pemilu berlangsung. Undang-undang yang dibuat oleh negara malah digunakan untuk kepentingan individu dan kelompoknya semata.

Kita memiliki bekal untuk mengelola negara ini: ilmu, iman, dan akal. Sebagai khalifatullah di bumi, manusia mampu mendayagunakan ketiganya demi kesejahteraan rakyat. Namun, ketika berkuasa, banyak yang tidak memilih untuk mewujudkannya. Nikmatnya kekuasaan sering membuat terlena bagi mereka yang sedang berkuasa.

Sumber daya alam dikeruk secara ugal-ugalan oleh para penguasa. Peperangan antar negara juga sering kali terkait dengan kekuasaan teritorial atas sumber daya alam. Persatuan Bangsa-Bangsa sebagai organisasi internasional tak mampu mengatur seluruh bangsa untuk saling mensejahterakan. Ego masing-masing bangsa melahirkan persaingan dan peperangan, yang awalnya diciptakan bangsa-bangsa untuk saling mengenal dan bekerja sama demi kemanusiaan, kini berubah menjadi monster-monster kekuasaan. Lantas seperti apa dan bagaimanakah kepribadian, jati diri dan karakter bangsa kita ini?

Seringkali kita mendengar sebuah kalimat: “Negara harus muncul!”. Kalimat itu hampir selalu kita dengar saat rakyat mendapat tekanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagaimana seharusnya Negara itu muncul dalam rangka menampilkan keberpihakannya kepada rakyatnya? Sementara kita sendiri masih rancu untuk membedakan mana Pemerintah dan mana Negara? Mana Kepala Negara dan mana Kepala Pemerintahan? Mana pejabat Negara dan mana pejabat Pemerintah? Mana kas Negara dan mana kas Pemerintah?

Benarkah sebenarnya Negara adalah yang kita saksikan hari ini? Apakah memang sebuah Negara harus berlaku seperti yang kita alami di Indonesia ini? Atau jangan-jangan, Negara Indonesia ini sedang melakukan impersonasi terhadap dirinya? Mengaku sebagai Negara, tetapi sebenarnya tidak berlaku sebagaimana Negara semestinya?

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta, majelis ilmu, sumur spiritual, laboratorium sosial, basis gerakan politik bahkan universitas jalanan yang tidak pernah habis pembahasan SKS nya, kurikulum dan mata kuliahnya selalu bertambah, dosennya adalah alam semesta.
Bagikan:

Lainnya

Exit mobile version