CakNun.com

Hasil Pemilu 2024: Allah Sayang Cak Nun

Jamal Jufree Ahmad
Waktu baca ± 6 menit
Foto: Penyo (Dok. Progress)

Hasil pemilu itu kan mencerminkan tingkat kedewasaan dan ketidakdewasaan rakyatnya.

Sudah satu tahun, sejak awal 2023, Cak Nun menyampaikan itu di Surabaya. Tidak lama berselang usai itu dilontarkan, seantero jagad pemberitaan dan media sosial nasional ribut, karena kalimat di atas masih ada buntutnya.

“Bahkan algoritma pemilu. Sekarang pada pemilu 2024 nanti Anda tidak mungkin menang. Sudah ada yang menang dari sekarang. Karena Indonesia dikuasai F yang namanya J. Dikuasai Q yang namanya AS bagian dari sepuluh naga, bukan sembilan lagi. Dan dikuasai H yang namanya L.”

Lantas Cak Nun diserang, bahkan tahapannya sampai dihina, oleh para penyembah Tuhan J.

Namun tidak sampai setahun kemudian, muncul fenomena Mahkamah Keluarga. Penjilat dan hamba sahaya Tuhan J pun meradang. Ada informasi A1 dari sahabat saya–elit di Ka’bah Hijau yang kini ikut thawaf lingkaran elit lain menaiki mobil balap Red Bull. Bahwasanya para penunggang Red Bull yang dongkol kepada Cak Nun saat itu, pada akhirnya setuju dan membenarkan ucapan beliau: J ternyata memang F.

Para penggemar futurologi yang menyayangi Cak Nun mungkin berbesar hati, bahwa sebagian yang diutarakan beliau di Surabaya waktu itu, ternyata kemudian benar-benar terjadi. Lalu mereka berdoa agar Allah juga menyayangi Cak Nun. Minta Allah untuk tidak mempermalukannya. Doa mereka, semoga yang dikatakan Cak Nun terwujud sepenuhnya.

Hari ini tampaknya mereka bahagia. Doa yang dipanjatkan terkabul. Dari hasil pemilu, kesimpulan mereka Allah sayang Cak Nun.

Akan tetapi, di balik kebahagiaan itu, diam-diam mereka memendam kesedihan, karena paslon presiden yang dijagokan, keok. Yang lebih menyedihkan lagi, itu tandanya, menurut mereka sebagian besar rakyat belum juga dewasa.

Mereka selama ini telah dilatih berpuluh-puluh tahun oleh Cak Nun, dengan cara Sinau Bareng. Mereka melingkar berdiskusi dan saling mengkritisi, dengan indah dan bahagia, yang itu menjadikan mereka dewasa.

Lalu dalam perjalanan kampanye pemilu ini, mereka merasa tampaknya ada secercah harapan di sana. Mereka melihat metode melingkar, diskusi dua arah langsung itu diadopsi dua paslon presiden untuk mendesak, nylepet, dan menabrak. Semua kegiatan itu sangat diminati dan ramai, digemari generasi muda yang sangat dicintai Cak Nun. Mereka berharap paslon-paslon itu menang.

Harapan itu begitu kuat mereka dekap, sampai meresap dan masuk menjelma mimpi dalam tidurnya yang lelap.

Sesungguhnya mereka tak sadar, bahwa harapan kemenangan itu bertentangan dengan doa agar Allah menyayangi Cak Nun tadi. Kalau menang, tentu yang telah diucapkan Cak Nun di awal tidak bisa sepenuhnya terwujud.

Mereka yang menyayangi Cak Nun punya harapan. Cak Nun pun memendam segudang harapan atas nasib bangsa ini.

Antara Harapan dan Kejengkelan

Ada banyak harapan Cak Nun yang terpancar dari gagasan dan pemikirannya. Terlebih bila dilihat secara zoom out dari luasan cakrawala pemikirannya. Akan tetapi, setidaknya, mari kita zoom in pada dua hal saja.

Pertama, mengenai kalimat Cak Nun yang dikutip di awal tulisan ini. Harapan akan kedewasaan rakyat.

Kita telah menyaksikan Cak Nun dan KiaiKanjeng berkeliling diundang ke berbagai pelosok masyarakat kecil, baik yang muslim maupun non muslim, para nahdliyyin dan muhammadiyyin, hingga aliran-aliran lain.

Keluh kesah rakyat yang disampaikan kepada Cak Nun dalam lingkaran Sinau Bareng selalu mengandung protes dan kemarahan kepada pemimpin. Mulai tingkat desa, sampai pemimpin nasional. Tetapi di dalam jawaban Cak Nun malah selalu terdapat nada kejengkelan kepada rakyat.

Butuh waktu agak panjang buat saya memahami cara berpikir yang diajarkan Cak Nun dalam kejengkelannya itu. Bukan Cak Nun namanya kalau tidak mengajarkan supaya presisi dalam berpikir.

Salah satu yang harus jangkep dipakai adalah presisi sebab-akibat. Tingkah laku pemimpin yang rakyat protes itu, adalah sebagai akibat yang disebabkan oleh keputusan rakyat sendiri. Sebabnya karena rakyat yang selalu salah memilih pemimpin.

Mari kita perhatikan contoh jalan rusak yang dikeluhkan warga sebuah propinsi yang bertahun-tahun tidak diperbaiki gubenurnya. Seorang pelawak tunggal papan atas nasional yang sekarang berkarir di Amerika sempat mengingatkan juga, itu terjadi ya karena salah warganya sendiri, mengapa memilih gubernur itu.

Jengkelnya Cak Nun tidak lantas berhenti hanya dalam kejengkelan. Cak Nun menyayangi rakyat kecil. Maka sejak usai reformasi 1998, beliau mendidik rakyat untuk semakin pintar dan kritis dengan mengajak langsung Sinau Bareng. Upaya mengubah keadaan dengan bergerak di dalam lingkungan elit negeri ini, lantas ditinggalkan. Karena sesungghnya problem mendasarnya terletak pada manusianya, pada rakyatnya yang 250 juta lebih itu.

Dengan terjun langsung ke pelosok, harapannya, rakyat menjadi pintar dan dewasa. Supaya rakyat bisa mengubah sistem yang sudah semrawut ini, dan pada akhirnya nanti bisa memilih pemimpin yang benar. Ketika rakyat sudah pintar dan dewasa kelak, diharapkan tidak terjadi lagi rekayasa sistem. Sehingga tidak lagi memilih pemimpin yang sudah tampak kasat mata, sudah cetho welo-welo lahir lewat akal-akalan mahkamah dan komisi pemilihan.

Dalam benak mereka yang menyayangi Cak Nun tadi, kemudian timbul pertanyaan. Dari hasil pemilu 2024 ini, yang 52 persen rakyat pemilihnya adalah generasi muda belia, apakah harapan kecemerlangan Indonesia tahun 2045 akan terwujud? Karena generasi pemilih dengan kualitas seperti inilah yang nanti akan memimpin.

Duhai mereka yang menyayangi Cak Nun, saya ingin bertanya balik. Apa yang bisa diharapkan dari generasi yang masih bisa diajak untuk menyepelekan persoalan kualitas memimpin dengan cukup berjoget-joget saja?

Apa yang bisa diharapkan dari generasi yang tidak mengkritisi dan menutup mata akal-akalan aturan yang penuh nepotisme?

Apa yang akan diharapkan dari generasi yang masih bisa dimanipulasi emosinya untuk memilih pemimpin atas pertimbangan kasihan belaka?

Lalu, bisa apa kita dengan kondisi rata-rata IQ manusia Indonesia yang hanya 78, paling rendah se-Asia Tenggara?

Dan sederet pertanyaan berikutnya yang masih panjang daftarnya.

Dan pasti juga sangat banyak yang membantahnya. Indonesia akan baik-baik saja kok tahun 2045. Generasi ini akan hebat, membawa negara ini maju.

Maju seperti barat? Ah, sudah banyak yang bilang mereka sudah memasuki masa senjanya. Mereka sudah mau tenggelam. Sekarang, maju itu seperti Cina dong. Nah, supaya maju seperti Cina, jangan terlalu demokratis kayak Amerika ya.

Demokrasi itu berisik. Terlalu banyak suara. Bising.

Demokrasi membiarkan banyak pakar ngomel, para pejabat ahli mengkritik, mahasiswa demonstrasi, buruh teriak-teriak, para guru besar prihatin. Kesemuanya sangat mengganggu. Maka, sebaiknya rakyat diam saja. Jangan banyak omon-omon. Daripada nanti dibentak Oppung, “Jangan banyak cakap kau! Kelen percaya saja sama aku! Tak usah banyak kritik. Kerja saja sana. Kalian nggak tahu kondisinya gimana!”

Jadi, Indonesia akan dibawa maju menurut siapa? Untuk saat ini jelas bukan menurut mereka yang menyayangi Cak Nun. Indonesia maju cukup menurut J, L, dan ular-ular naga panjangnya.

Versi kemajuan itu menjadi subjektif. Sesuai ilmu, pengetahuan, dan pengalaman yang berkuasa. Mungkin mereka sudah geram sekali. Negara ini terlalu banyak masalahnya. Harus segera diperbaiki dan menjadi lambat kalau harus berdemokrasi ala Amerika. Masalah sudah bertumpuk.

Perihal masalah ini pun, ternyata ada banyak versinya. Selain ilmu, pengetahuan, dan pengalaman, harus punya kemampuan komprehensifitas melihat masalah. Untuk itu kita bisa zoom in kepada harapan Cak Nun berikutnya.

Kapal Retak

Kedua, tentang masalah Indonesia.

Semua orang sepakat, negara dan bangsa ini punya segunung masalah. Semua ingin memperbaiki dan menyelesaikannya. Supaya kualitas Indonesia menjadi lebih baik. Dalam hal ini, setidaknya buat saya, Cak Nun melihatnya dengan lebih komprehensif.

Untuk mempermudah pemahaman, mari kita berangkat dari filosofi yang sering diajarkan Cak Nun. “Kalau melihat daun, jangan lupa melihat rantingnya. Kemudian lihat buah-buahnya. Tidak cukup sampai di situ, lihat pula batangnya. Hingga kemudian, lihat terus, telusuri sampai akarnya. Sehingga kamu akan melihat secara utuh pohon. Dan ternyata, dengan melihat pohon utuh, kita tidak bisa mengabaikan tanahnya, buminya, alamnya, sampai penciptanya.”

Intinya adalah melihat keterkaitan dan tidak bisa mengabaikan keterkaitan itu. Tidak bisa tidak. Alias harus. Karena keterkaitan adalah keniscayaan yang tidak bisa dibantah.

Selanjutnya, agar lebih memudahkan, kita melihat Indonesia dengan menggunakan analogi. Analogi yang rasanya tepat menggambarkan negara ini adalah dengan sebuah kapal besar. Cak Nun sudah menggambarkan dengan istilah yang sudah dinaskah-dramakan dan dialbumkan lagunya oleh Franky Sahilatua: Perahu Retak.

Semua orang yang sepakat tadi, juga sepakat melihat kapal Indonesia memang bermasalah. Ada yang menilai hanya bengkok-bengkok atau karatan saja. Ada yang melihat mesinnya cukup diservis saja. Ada yang bilang kapalnya hanya perlu dipercantik saja, yang masalah hanya nahkodanya saja. Ada yang memandang tidak hanya nahkoda, tapi awak kapal juga bermasalah.

Cak Nun sejak tiga puluh tahun lalu sudah tegas, bahwa kapal Indonesia ini sudah retak. Dengan memakai filosofi pohon tadi, ditelitilah retak kapal ini. Setelah memperhatikan keterkaitannya, keretakan itu diakibatkan kekeroposan. Keropos karena bahan baku rangkanya berkualitas jelek. Ditambah lagi, struktur desain kapal sudah tidak tepat sejak awal. Harap dimaklumi, para pembuat kapal ini dulunya memang terburu-buru dan sepertinya bingung.

Bila kapal ini dipaksakan terus berlayar, bisa-bisa akan tenggelam. Kapal ini harus dibawa ke galangan, dihancurkan, dan besi-besinya bisa dijual ke orang-orang Madura pengusaha besi rongsokan. Harus dibangun kapal baru dengan filosofi, desain, dan struktur yang dibuat tidak dalam keadaan bingung, dengan bahan baku berkualitas tinggi.

Berangkat dari analogi kapal retak yang akan tenggelam ini, bisa dibaca kalau harapan Cak Nun adalah adanya kapal Indonesia yang baru. Dibangun oleh manusia-manusia Indonesia baru.

Akan tetapi, dari perspektif ini, tampaknya kapal baru itu masih akan sangat lama terwujud. Mengingat 52 persen generasi muda belia yang nyoblos kemarin, bagi mereka yang menyayangi Cak Nun, generasi ini dipandang belum cukup “dewasa”, yang tercermin dari hasil pemilu 2024.

Saya akhirnya sadar, barangkali Allah menyayangi Cak Nun dengan membiarkan yang diucapkan beliau pada awal 2023 itu betulan terjadi, juga sesuai dengan harapan Cak Nun tadi. Akan adanya kapal yang baru.

Jangan-jangan memang harus tenggelam dulu untuk kemudian dibangun yang baru?

Atau, seperti bangsa Eropa, sebelum mengalami pencerahan harus melewati kegelapan dulu?

Atau, mengutip RA Kartini, habis gelap terbitlah terang. Untuk melihat terbitnya terang kita harus bergelap-gelap ria terlebih dulu?

***

Semua orang telah mempunyai harapan. Kayaknya, boleh juga saya memiliki harapan.

Harapan saya sederhana. Saham-saham yang saya beli bisa cuan multibagger, berlipat-lipat. Melihat hasil pemilu 2024 kemarin, hari ini tampaknya bisa berburu emiten-emiten milik ular-ular naga panjangnya.

Dari visi-misi paslon pemenang sudah jelas, yang berpotensi cuan tentu sektor konstruksi dan properti. Maka saham PANI bisa dikoleksi, karena ibukota baru itu pasti tetap lanjut. Lalu ada sektor komoditas, kayaknya kalau beli ADRO akan menguntungkan. Oh iya, ada TOBA, saham kerajaannya oppung bisa dilirik.

Harapan ini cukup beralasan, karena manajemen sekuritas saya pernah membisiki. “Mas, menteri jalan-jalan itu, pas dia jadi cawapres kemarin, walaupun kalah, duit modal nyawapresnya balik dan untung. Karena nilai saham SRTG jadi meroket. Kalah aja cuan, apalagi kalau menang.”

Hmmm… menarik. Kayaknya hari ini saya akan borong saham ULTJ dan CMRY. Sentimen emiten sektor consumer goods ini pasti akan positif. Karena akan ada program susu gratis. Hehe.[]

Chicago, 15 Februari 2024

Jamal Jufree Ahmad
Staff Progress Sekretariat Cak Nun dan KiaiKanjeng. Redaktur dan desainer grafis CAKNUN.COM. Kontributor utama Wikipedia entri Emha Ainun Nadjib. Tinggal di Chicago.
Bagikan:
Exit mobile version