Sekul dan Uler State
Menjadi beranglah beberapa pemimpin bangsa yang sosialis-religius ini karena di tengah sibuk-sibuknya mempersiapkan lapangan landasan buat taking-off-nya masyarakat yang adil dan makmur ini tiba-tiba ada sementara cecunguk yang merongrong stabilitas rohani negara dengan meniupkan kecurigaan bahwa negeri ini negeri sekuler.
Terkutuklah manusia-manusia yang hanya sibuk bicara apalagi bicaranya ribut seperti kucing bertengkar atau onta patah kaki. Apakah mereka tuli pada gema adzan tiap senja dan fajar, apakah mereka buta membaca papan di setiap gang kampung bahwa ini negeri Pancasila dan angka pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa dan asas tunggal itu bukan saja melindungi agama tetapi bahkan mendorong pemeluk-pemeluknya untuk sholeh dan khusyu’. Sungguh tepat Allah yang berfirman “apakah mereka tidak memperhatikan tanda-tanda itu ataukah hati mereka telah terkunci?”. Atau mereka adalah golongan orang-orang yang tak mengetahui apa yang mereka katakan. Marilah, di negeri bangsa heterogen ini, kita berdoa kepada Tuhan kita masing-masing, semoga orang-orang yang merugi dunia-akhirat macam itu diampuniNya.
Tidak Bung! Tidak usah mintakan ampun aku kepada Tuhan, biarlah aku sendiri yang menempuhnya. Aku hanya mengemukakan kebenaran. Jika kita diterima, biarlah mereka nanti mengalami ayat Allah: “Mereka besok akan tahu, siapakah yang bohong dan berbuat keji!”. Lihatlah agama telah benar-benar terpisah sebagai suatu institusi tersendiri di luar hukum, perangkat sosial, legitimasi-legitimasi ideologi-ideologi, dan seterusnya. Sebagai institusi, agama kabur kanginan; dan sebagai nilai-nilai, agama menggantung di awan jauh, sesekali menabur ke bumi jadi gincu. Agama tersingkir dan terjepit di tengah watak zaman yang industrial. Lebih malang lagi karena arena banjir industri itu adalah hamparan kaum proletar di mana tradisi agama mengakar. Praktik dan alam keagamaan pun meluntur cepat atau lambat. Karena lingkaran yang semakin membengkak dari konsentrasi urbanisasi. Mobilitas sosial baru telah membikin erosi-erosi tertentu pada setiap komunitas keagamaan. Ini semua gejala yang kita tak bisa tutup mata, jelas sudah.
Demikianlah polemik kecil yang besar itu berlangsung dengan serius dan sensitif. Karena semua pihak memanglah sungguh-sungguh sepenuh hati memikirkan bangsa ini me nurut pembangunan manusia seutuhnya. Konflik tidak mesti berarti pertentangan, karena pada hakikatnya masyarakat negeri ini adalah masyarakat konsensus, suka damai dan mampu mengkompromikan hal-hal yang bertentangan.
Karena itu dengan penuh ketulusan dan iktikad baik, seyogianyalah disumbangkan kepada mereka buah atau kembang pikiran. Hal yang belum disebut umpamanya ialah bahwa sekuler itu asal katanya adalah sekul dan uler. Sekul itu nasi, artinya kita ini pemakan nasi, bisa jadi bangsa eksportir beras terbesar maupun jadi importir beras terbesar. Tak mungkin tak makan nasi, sedemikian rupa sehingga hati bangsa kita pun berwarna putih bagaikan nasi rajalele atau setidaknya beras PB. Cuma karena kelaziman kodrat sejarah maka di samping nasi pastilah selalu ada uler alias ulat. Persoalannya hanyalah apakah uler itu makin berkembang biak sehingga kebanyakan nasi mereka yang menguasai, atau bisa di-KB-kan. Dan itu adalah hal biasa dalam sejarah; selalu ada yang kebagian dan ada yang tidak.
Alhasil terserahlah apa negeri ini sekuler atau tidak, tapi masalah utama bangsa ini memang sekul dan uler. Kecuali bagi sebagian orang yang tidak.