CakNun.com
1982

Sajak Tamu Entah Siapa

Dari Kumpulan Puisi Nyanyian Gelandangan

Tamu itu datang dan kuketahui tiba-tiba ia sudah berada di
ruang tengah rumahku. Siapa dia?
Ketika kami ngomong, ia sudah tahu semuanya tentang diriku,
seluk-beluk rumahku, kebunku, kolam ikanku,
bahkan ia tahu persis
setiap kata-kata dalam batinku. Dan lebih dari itu, dengar, ia
berkata: “Di bawah tanah rumahmu ini terdapat barang yang
amat berharga. Aku akan mengambilnya dan kau akan menjadi
kaya raya, cuma ada beberapa syarat yang kuminta….” Aku
tersenyum saja dan menganggukkan kepala. Tergiur aku
rasanya. Ah, entah kenapa, ingin aku menyembah tamuku yang
mulia. Tapi tidak. Aku punya sesembahan tersendiri. Kukira
cukuplah aku menghormati ala kadarnya saja.
Lihatlah rambutku sudah kupotong persis
seperti rambutnya. Ia memberiku pakaian seperti yang
dimilikinya. Entah bagaimana tapi akhirnya aku bergerak
seperti geraknya, berjalan seperti jalannya, berkelakuan seperti
kelakuannya, kubangun rumahku seperti sarannya, kulakukan
segala sesuatu yang dianjurkannya, dan — ah! Hasrat-hasratku
pun kini mirip seperti hasrat-hasratnya.

Hari-hari berikutnya aku melihat dia berhasil menggali barang-
barang berharga itu dan ia bawa pulang sebagian besarnya. Aku
tak apa-apa, aku ini penyabar, dan toh aku sudah kaya
raya. Dan yang penting, aku sudah bagaikan dia. Hati kecilku
bilang aku ini sedang tertidur lelap dalam bangunku, tapi semua
orang tahu hati kecilku ini tolol dan sia-sia.

1982

Lainnya

57

57

Tuhanku
inilah nasib seorang hamba-Mu: seekor ulat yang lunak tubuhnya bergeletar-geletar di permukaan kulit
lengan kirinya menuku leher hingga seluruh bulu-
bulu tubuhnya berdiri karena putik kelembutannya
diraba-raba olehnya.
ia ambil potongan kayu kecil untuk menjentiknya
agar terlempat, tapi tak bisa, bahkan tiba-tiba seekor
ulat lain yang bentuknya lentik dan penuh rambut
harus menggeriap di permukaan kulit lengan
kanannya menuju leher.
ia tersentak dan bangkit!—tiba-tiba ia yakin bahwa
ia hanya terbangin dari sebuah mimpi—ia
bergembira setengah mati karena itu, tapi tak sedia
dalam ingatannya ulat itu masih menempel di
kulitnya dan ia tak mau ulat itu terseret mengusik-usik
dan menggores kenangannya.
ia ingin tidur lagi dan bermimpi menjentik ulat
itu agar terlempar dan gagal berjalan menuju tempat
persembunyiannya, tapi tak bisa, setiap kali jari
menjentiknya, ribuan kaki-kaki ulat itu yang berbaris
menempel erat-erat di kulitnya, menggeriap-geriap,
hingga terasa juga di rongga
dadanya.
maka terpaksa ia potong lengan kirinya dan lengan
kanannya, darah mengucur deras, mengucur terus
tidak kunjung tuntas, dan tiba-tiba dari arah dadanya
mendadak muncul seekor ulat yang warnanya
menggeriapkan sehingga kulit-kulitnya tak berani
bersentuhan dengan apapun, bahkan kedua telapak
kakinya ingin meloncat dan terbang saja agar tak
menyentuh tanah, tetapi tatkala dilakukan hal itu
ternyata tubuhnya toh menyentuj udara.
dan celaka! dari arah-arah ubun-ubunnya, keningnya,
pipinya, telinganya, hidung dan mulutnya, terasa
ulat-ulat berjalan mengoles-oleskan kelembutannya,
semua menuju leher!—tidak, ia tak mau—maka
ia iris pipinya, ia cungkul matanya, ia papras hidung
nya, ia gali ubun-ubunnya, ia tebas telinganya,
ia sayat-sayat dadanya, ia hancur leburkan seluruh
tubuhnya, ia tak mau ulat-ulat itu diam-diam
menuju lubang gelap persembunyian dan
mengancam jiwanya, tapi wahai! Tiba-tiba seluruh
tumpukan kepingan-kepingan tubuhnya itu kini
menjadi ulat-ulat-ulat nyawanya terkesiap
dan ia merasa dicelupkan ke dalam cairan
lendir-Mu—itu semua membuatnya takut
bergerak dan tak berani tak bergerak takut berdenyut
dan tak berani berdenyut.

Kepada Tuhanku

Kepada Tuhanku

Waktu aku mendekati-Mu
Atau waktu aku berusaha melupakan-Mu
Engkau membantingku
Dengan kekalnya kasih sayang-Mu
Sekarang bagaimanakah caranya
Hidup ini harus kupelihara

Exit mobile version