CakNun.com
Bagian Empat: SULUK

Korupsi sebagai Kasus Penyakit Jiwa

Buku Titik Nadir Demokrasi, Emha Ainun Nadjib, Zaituna, 1996.
Buku Titik Nadir Demokrasi, Emha Ainun Nadjib, Zaituna, 1996.

Korupsi di mana-mana. Korupsi di hampir semua lapisan. Dari pamong-pamong desa hingga yang paling atas.

Korupsi di hampir semua petak-petak di mana uang mengalir, bahkan pun sampai di sekitar koper dan surban ratusan ribu para calon haji.

Korupsi di setiap tahun, bulan, hari, dan mungkin juga jam, menit dan detik.

Korupsi menjadi salah satu “sahabat” sehari-hari kita. Korupsi menjadi salah satu identitas terpenting dari bangsa yang besar ini, bangsa yang selalu merasa besar ini, bangsa yang selalu membesar-besarkan dirinya ini.

Korupsi atas uang orang banyak.

Korupsi otoritas birokrasi yang sesungguhnya merupakan amanat.

Korupsi hak-hak, yang asal-usul asasinya bahkan dari Allah langsung.

Korupsi kewenangan, di mana para petugas yang digaji rakyat merasa “GR”, tak tahu diri dan bahkan yakin bahwa mereka adalah atasannya rakyat.

Korupsi makna atas ratusan kalimat filosofi kebangsaan, prinsip-prinsip dasar kenegaraan, undang-undang, konsep dan aturan-aturan.

Korupsi interpretasi di kantor-kantor para buruh rakyat, serta juga di sel-sel dan jaringan otak mereka.

Korupsi penafsiran dalam penataran-penataran, instruksi dan “petunjuk”. Kegilaan nasional kita semua dalam menggunakan kosa-kata “petunjuk” — tak lain tak bukan — adalah perbuatan takabur kepada Tuhan, pemilik tunggal hidayah.

Korupsi keragaman menjadi ketunggalan. Disuruh bersatu tetapi tak boleh ada dua atau tiga. Padahal kalau hanya ada satu maka tak diperlukan persatuan ataupun kesatuan.

Korupsi atas hal-hal yang paling kasar, wadag, materi sampai korupsi atas kasunyatan yang lembut, yang amat.

Korupsi atas batu sungai, tambang tembaga, kata-kata mutiara, gelondongan kayu, sampai korupsi atas informasi mengenai para Nabi dan Tuhan.

Korupsi informasi tak hanya di koran- koran yang memasang jargon maha indah di leher penampilannya.

Korupsi dari tingkat yang halus-ringan dan hanya merugikan nilai itu sendiri serta yang bersangkutan, sampai korupsi yang besar- besaran yang memotong usus nasib berjuta- juta orang.

Korupsi di kantor kelurahan, kecamatan, kabupaten, gubernur, di rombongan kloter sekian di hotel-hotel Madinah, di batok kepala orang-orang yang setiap saat dijunjung-junjung sebagai pemimpin — sampai si terjunjung sampai percaya bahwa ia memang benar-benar manusia yang tak pernah korup dan layak dijunjung-junjung, dipikul dhuwur dan kelak dipendhem jero.

Korupsi tak terasa korupsi karena milik bersama, dilakukan bersama, ditutupi dengan alibi-alibi bersama, ditaburi harum wewangian retorika dan excusing yang bisa didaftar berpuluh-puluh dari berbagai sudut, sisi dan disiplin.

Korupsi menjadi kecenderungan sehari- hari.

Menjadi “naluri alamiah” tradisi kebudayaan kita.

Menjadi makanan pokok sehari-hari.

Menjadi candu yang membuat orang merasa rugi kalau tak melakukannya.

Baik karena candu itu sudah menjadi potensialitas kerakusan pribadi, maupun karena secara kolektif tak pernah ada jaminan bahwa kalau seseorang tidak korup maka lainnya pun tidak.

Tentu saja kehidupan kita bukannya sedemikian gelap pekat dan tak ada kebaikan, tak ada kejujuran atau kejernihan.

Tapi tulisan ini mengajak kita untuk bercermin.

Dan bercermin yang dimaksudkan bukanlah sejenis narsisisme: kita mengagumi kegantengan dan kecantikan wajah kita.

Yang kita tatap di cermin terutama justru jerawat-jerawat kita.

Jangan khawatir: anda tidak termasuk para koruptor, pada level manapun.

Anda orang jujur dan selalu manatap Tuhan berdiri tepat di hadapan Anda setiap saat.

Anda orang yang selalu berdua dengan-Nya dalam kepatuhan dan kejujuran.

Tuhan tidak Anda “letakkan” di samping, tidak Anda perlakukan sebagai “pihak ketiga” sehingga Anda sebut “Ia” — dan bukan “Engkau”.

Tapi pandanglah wajah-wajah kami!

Lihatlah ornamen-ornamen jerawat korupsi dan ngembeng-nya wajah korupsi di wajah kami.

Ya, kami-kami yang pejabat tinggi maupun pejabat rendahan.

Kami-kami yang orang sentral maupun orang periferikal.

Kami-kami orang atas maupun orang bawah.

Kami-kami orang penting maupun orang tak penting.

Kami-kami para pemerintah maupun pejuang kepentingan rakyat.

Kami-kami para aktivis, seniman, intelektual, LSM, penyangga demokrasi.

Kami-kami semua, memiliki kadar, sifat dan wilayah korupsi ini?

Mau diilmiah-ilmiahkan dan diakademis-akademiskan bagaimana lagi?

Mau dianalisis kayak apa lagi korupsi ini: “makhluk” bikinan manusia yang jauh lebih besar dan jauh lebih kuat dibanding manusia ini?

Mau dipandang dari macam-macam sudut-sudut pandang dan sisi-sisi penilaian sampai beberapa dekade sejarah lagi.

Sudut sistem. Sudut budaya. Sudut antropologi.

Atau segala macam latar belakang yang sebelah mana lagi yang akan kita papar-paparkan demi agar kita tampak serius mengurusi dan memprihatinkan masalah korupsi — untuk kemudian kita kecapekan karena tema satu ini tak pernah usai, tak makin mereda, membosankan untuk dipersoalkan namun menikmatkan untuk terus dilakukan dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Atau bertanya apakah engkau, wahai Emha, sedang marah-marah oleh berita tentang korupsi dan korupsi dan korupsi? Padahal korupsi dan korupsi dan korupsi yang — dibeberkan, yang diurus, yang dibawa ke altar pengadilan — itu sesungguhnya hanya sepersekian persen dari realitas yang sebenarnya dari korupsi dan korupsi dan korupsi?

Emha menjawab: Tidak. Ambillah dunia seluruhnya, genggam di tanganmu, kepalkan, padatkan seluruh harta dunia ini, ngangakan mulutmu, masukkan padatan itu, telanlah, suruh ia mengembara di ususmu yang melingkar-lingkar, kemudian aku doakan: duburmu tidak sobek karena itu.

Ambillah negara ini, tanah ini, tambang ini, asset ini, akses ini, modal ini, perusahaan ini, hutan ini, gedung-gedung ini, nurani rakyatmu ini — apapun saja, ambillah.

Ambillah, monopolilah, curilah, rampoklah, begallah. Dan aku tak punya urusan pribadi dengan itu semua. Aku tak punya kepentingan pribadi terhadap itu semua.

Bertengkarlah manusia.

Bersainglah pembesar-pembesar.

Sikut-sikutanlah kakap-kakap.

Sabot menyabotlah kalian kaum raksasa. Aku tak punya urusan pribadi dengan itu semua. Caploklah planet bumi ini, kluwung-ilah tujuh samudera, rendamlah badanmu di kawah-kawah gunung. Jaringlah waktu, zaman, kurun. Cengkeramlah kukumu hingga ke 1998, 2003, dan nyanyikan lagu penyair romantik “Aku ingin hidup seribu tahun lagi!”

Itu semua tak menyedihkanku. Tak mem- buat diriku prihatin atau berang. “Aku pribadi” tak punya urusan dengan keserakahan apapun di sekelilingku. Adapun kalau engkau mendengarkan ada semacam keprihatinan, kemarahan atau kesedihan — itu tak berasal dari “diri pribadi”-ku melainkan dari “diri sosial”-ku.

“Diri pribadi”-ku abadi hingga ke Tuhan. “Diri sosial”-ku terbatas: kalau engkau tiba pada tahap di mana Tuhan mengalungkan tanganmu sendiri di lehermu, sambil menutup mata, hati dan telingamu, serta membuatmu “tak bisa kembali” — maka diri pribadiku akan tertawa keras-keras karena diri pribadi itu diberi hak oleh Tuhan untuk bersikap acuh dan meninggalkan segala kebodohan, segala ketegangan dan penyakit jiwa manusia di muka bumi.

Orang yang capek-capek menghabiskan hidupnya untuk hanya mencari harta, memeras energinya untuk menyabet uang siang dan malam, serta yang menjual harga kemanusiaannya untuk maling hak orang alias melakukan korupsi tak ada julukan lain kecuali, bodoh, tegang dan sakit jiwa.

Ilmu pengetahuannya tentang dirinya, tentang manusia, tentang dunia, harta, serta tentang hidup dan mati — mengalami kekeliruan dan ketidakilmiahan secara mendasar. Ia sangat tegang terhadap segala yang sudah dimilikinya, yang akan dimilikinya, yang bisa dimilikinya, yang tak bisa dimilikinya, serta yang ingin dimilikinya.

Itu membuatnya sakit jiwa. Dan merusak negara dan rakyatnya.[]

235

Lainnya

Stoicism Alias Tawakkal

Stoicism Alias Tawakkal

Setelah menjalani hidup sejak 1953 dan menjalani usia “Abu Sittin” (usia 60-an) saya menulis Kebon sampai seri ke 226, menjadi orang tua sok tahu, berlagak mengerti banyak hal, seolah-olah paling matang dan bijaksana, sedemikian rupa sampai beberapa bulan terakhir ini saya dihinggapi rasa bosan kepada diri saya sendiri, tiba-tiba saya mendapat kejutan.

Berat Hatiku Kepada Indonesia

Berat Hatiku Kepada Indonesia

Saya tidak berkeberatan dan tidak kecil hati melihat Indonesia dengan pemerintahnya, kaum intelektualnya, lembaga-lembaga penyangganya, para stakeholders-nya, semakin ke sini, semakin ke era-era mutakhir, semakin bergerak ke ujung waktu, semakin meremehkan Islam.

Exit mobile version