Refleksi Pandemi Buat Negeri
Bicara tentang Covid-19, rasanya sudah tidak ada lagi orang yang hidup di masa sekarang yang tidak mengenalnya. Apakah pengetahuannya itu bersifat positif atau negatif. Apakah seseorang menyikapinya dengan percaya ataupun tidak, Covid-19 adalah sebuah tema perbincangan utama dalam setahun belakangan ini. Sebuah analisis editorial terukur dari Komunikasi Indonesia Indicator menginformasikan bahwa dari 34 juta tema-tema perbincangan sepanjang tahun 2020, Covid-19 adalah isu paling besar dan selalu menjadi trending topic di mana-mana.
Jika kilas balik pada penghujung Desember 2019, kita mungkin sama-sama mendengar berita pertama kalinya tentang Covid-19 di Wuhan. Mungkin pada saat itu kita ikut-ikutan menyangka bahwa virus berukuran 0,1 mikron yang berasal dari suatu tempat berjarak 3.488 km itu, tidak akan tiba ke negeri kita. Namun ternyata, Covid-19 menyebar sangat cepat dan tanpa terkendali menerobos kemana saja tanpa batas geografis. Novel Corona virus telah menginfeksi ratusan juta umat manusia tanpa pandang usia, jenis kelamin, etnis, profesi maupun agama. Covid mengakibatkan jutaan kematian serta mengubah wajah peradaban kita.
Dalam hitungan 3 bulan sejak kasus pertama, Corona pun telah sampai ke negeri kita. Secara resminya diumumkan pada 2 Maret 2020. Kita sama-sama telah menjadi saksi sejarah, bahwa 1 bulan setelah diumumkan, Corona telah menyebar ke 34 provinsi. Pada bulan Juli 2020 angka kasus mencapai 100.000 kejadian, November 2020 mencapai 500.000 kasus, dan pada 26 Januari 2021 telah menembus angka 1 juta kasus. Hingga memasuki bulan Juli hingga Agustus 2021 ini, akhirnya penambahan kasus baru dan case fatality rate di negeri kita akhirnya mencapai posisi anak tangga NOMOR SATU di dunia!
Klaster-klaster pun bermunculan dari lingkungan industri, perkantoran, pelayanan kesehatan, pasar dan lain sebagainya. Bahkan Corona sudah mendesak pada lingkaran paling mendasar dari tatanan sosial kita yakni “keluarga”. Muncul istilah “klaster keluarga”.
Dan pada penghujung Mei 2021, kita mungkin sama-sama mendengar atau menyaksikan berita tentang gelombang kedua bahkan tsunami Covid yang terjadi di India, dengan varian-varian baru dari mutasinya yang lebih ganas. Dengan suguhan tragedi pemandangan yang sangat memprihatinkan; pasien-pasien IGD yang membludak hingga ke lorong-lorong koridor Rumah Sakit. Ruang rawat dan ICU penuh terisi, lalu pasien-pasien terhambur bergeletakan di trotoar jalanan, di lapangan-lapangan terbuka, di tenda-tenda darurat. Terjadi krisis suplai oksigen, tenaga kesehatan kewalahan dan kelelahan. Lagi-lagi mungkin, pada saat itu kita mengira peristiwa serupa tidak bakal terjadi di negeri kita. Tapi kembali dugaan kita ternyata keliru. Kenyataan pahit itu kembali terjadi di negeri kita.
Apa yang ada dalam catatan-catatan kita terkait Covid-19 adalah sebuah sekuel sejarah, yang pasti tidak akan dapat terlupakan. Suatu peristiwa yang akan dikenang abadi dan menjadi catatan yang kelak dibaca oleh anak-anak cucu kita; generasi-generasi mendatang.
Timeline media sosial kita belakangan ini dipenuhi postingan “ucapan bela sungkawa”. Saking seringnya postingan berita-berita duka cita itu, sehingga seolah-olah kita menjadi kehilangan rasa, karena demikian terbiasanya kita membacanya. Dahulu berita-berita kematian ini mungkin terdengar jauh, tapi kini tidak mustahil berita-berita itu sudah berada dalam jangkar lingkar terdekat di sekitar kita; mungkin di antara teman dekat, sahabat, tetangga atau bahkan ada anggota keluarga yang telah berpulang akibat pandemi ini.
Semoga mereka semua yang telah mendahului kita, kembali dalam status husnul khotimah.
Angka global kasus Covid-19 di dunia hari ini telah mencapai lebih dari 208 juta kasus, dengan kematian mencapai 4,37 juta. Dan untuk Indonesia sudah mencapai 3,85 juta kasus, dengan kematian 118.000 jiwa. Angka-angka itu tentunya bersifat dinamis dan masih mungkin bertambah. Namun JANGAN PERNAH MELIHAT JUMLAH KORBAN-KORBAN PANDEMI ITU SEBAGAI ANGKA, JANGAN DIANGGAP HANYA HITUNGAN PROSENTASE STATISTIK SEMATA. Setiap jiwa, yang kini telah berbaring di ‘pemakaman-pemakaman khusus Covid’ adalah bagian rakyat negeri ini. Mereka adalah manusia-manusia yang punya keluarga. Ia mungkin suami atau istri dari seseorang, ayah atau ibu dari seseorang, ataupun mungkin anak dari seseorang. Yang setiap anggota keluarganya pada hakikatnya merindukan mereka untuk pulang ke rumahnya masing-masing dalam keadaan sehat dan bahagia. Belasan ribu anak di Indonesia diperkirakan menjadi yatim-piatu karena orang tua mereka meninggal dunia setelah terinfeksi Covid-19.
76 tahun Indonesia merdeka, kini bermunculan kembali kepahlawanan-kepahlawanan di sekitar kita, khususnya dari dunia kesehatan. Ratusan ribu dokter, perawat, bidan, setia berada di “garda terakhir” untuk menjadi benteng pertahanan dan perlawanan menghadapi pandemi ini. Mereka tanpa ragu berjuang, walau dengan tekanan psikologis yang besar dan keselamatan diri dan keluarga menjadi taruhannya, mereka rela memposisikan dirinya menghadapi segala risiko pekerjaan yang tinggi demi kemanusiaan. Sepanjang hari para nakeslah yang setia menemani dan melayani pasien-pasien Covid yang berada dalam keadaan nyaris bergantung sepenuhnya pada orang lain. Melayani dan merawat para pasien-pasien yang sesak nafas di bangsal-bangsal perawatan, melewati hari-hari mereka yang sunyi dalam penderitaan. Tidak ada pemandangan yang lebih mengharukan sekaligus juga menghadirkan kebanggaan, kecuali ketika kita menyaksikan para nakes dengan kostum hazmatnya yang berlelah-lelah bersimbah peluh lalu istirahat duduk sesaat mengambil nafas, setelah seharian melayani para pasien-pasiennya di IGD, ruang isolasi atau ICU. Jangan pernah pula dilupakan, tenaga-tenaga suportif penting lainnya, seperti sopir ambulan, petugas cleaning service, relawan pemulasaran jenazah hingga para penggali kubur. Mereka juga ada dalam posisi bertaruh nyawa setiap harinya atas risiko keterpaparan secara langsung dalam tugasnya.