CakNun.com
Kebon (171 dari 241)

Menadahi Cliwikan atau Grojogan

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 5 menit
Porong, Sidoarjo, 25 Juli 2007.
Foto: Adin (Dok. Progress).

Allah mentanazzulkan dua pelajaran hidup kepada saya melalui Sidoarjo. Yang pertama adalah Gus Ud atau di sana dikenal dengan panggilan Mbah Ud yang makamnya di Pagerwojo. Yang kedua adalah melalui luapan lumpur, yang sebenarnya hanya satu di antara lima titik potensial luapan lumpur di wilayah tapal kuda kluwenangan Surabaya Jawa Timur.

Kisah persentuhan dengan Gus Ud sudah sedikit saya serempetkan di Kebon. Pada saat-saat awal ribuan korban luapan lumpur mengutus perwakilannya untuk minta tolong kepada saya, melalui Maiyah Bangbang Wetan, kemudian Padhangmbulan dan Mocopat Syafaat, sebenarnya Gus Ud juga berkenan mengawal. Terutama ketika sejumlah perwakilan itu akan saya bawa ke Cikeas untuk pertemuan dengan Presiden waktu itu yakni Susilo Bambang Yudhoyono.

Pak Win Bupati Sidoarjo waktu itu agak meremehkan dan tidak percaya bahwa SBY akan menerima korban lumpur. Karena berdasarkan informasi dari jalur resmi birokrasi, baik di Kantor Pemkab, Pemprov, Sesneg dan Istana, tidak ada jadwal itu. Tapi malam sebelum teman-teman perwakilan korban lumpur melaju ke Jakarta, difasilitasi oleh Bu Novia Kolopaking, Mbah Ud sempat menemui sebagian teman itu di sebuah gardu dekat tepian “lautan” lumpur. “Wis kono budhalo tututono Cak Nun, tak kancani”, kata beliau.

Gus Ud sendiri rumahnya tidak tertimpa luapan lumpur. Di awal tahun 1960-an Gus Ud bilang ke tetangga-tetangganya di Kedungcangkring, bahwa “mene-mene nek ono segoro lumpur, aku gak melok nglangi lho rek”. Dan tatkala lumpur itu meluap, yang menurut para Geolog Internasional merupakan efek domino garis retakan sesudah letusan Gunung Merapi, desa tempat tinggal Gus Ud memang tidak dilimpahi lumpur.

Sesudah itu Gus Ud hijrah ke desa Bethèk Mojoagung Jombang timur dekat kompleks makam Syekh Sulaiman untuk melakukan ronda “walayah”nya dalam koordinasi dengan Mbah Dul atau Haji Abdul Lathif Sumobito. Setiap Idul Fithri, sebelum kami para cucu Mbah Dul sowan ke Sumobito dari Menturo, Dungpapar, Swidheng, Sepanjang, Wonocolo dll, di mbalé depan rumah Mbah Dul selalu sudah ada Gus Ud, yang memang selalu menjadi orang pertama yang berkunjung sungkem ke Mbah Dul setiap hari raya.

Berkat pertengkaran saya dengan Gus Ud di Bethèk, saya matur kepada Ibu saya minta dibelikan Mushaf Al-Qur`an dan minta disekolahkan di SD Bakalan. Bukan di SDI Mansyaul Ulum yang didirikan oleh Ayah saya sendiri di Menturo. Kelak 50-60 tahun kemudian di Yogya saya didawuhi oleh Gusti Yudhoningrat yang posisinya sedang teraniaya oleh kasus sindikasi egosentrisme dan infiltrasi Vatican-Hamengkubawanan tentang filosofi “cecikal, bebakal, tetinggal”. Saya jadi lebih paham kenapa saya memilih bersekolah di SD Bakalan yang latar belakang masyarakatnya justru abangan, dibanding Menturo yang jauh lebih santri.

Andaikan Pak Win Bupati Sidoarjo percaya, pasti dia akan bertandang mengawal rakyatnya bertemu dengan SBY di Cikeas. Tetapi memang urusan lumpur Sidoarjo ini fokus pengurusannya memang bukan Pemerintah, melainkan kemuliaan hati kemanusiaan yang menghasilkan shadaqah hampir 11 triliun rupiah untuk membangun kembali belasan ribu yang tenggelam oleh lumpur. Untungnya Pak Win tidak mengganggu semua proses itu, sehingga tidak menjadi masalah bagi para korban lumpur.

Sekali Pak Win mentuanrumahi korban lumpur, ketika ditemukan bahwa untuk ribuan rumah yang sudah berada di bawah lautan lumpur, terdapat kesulitan teknis untuk mendata ukuran tanah dan rumah mereka. Maka saya inisiatifi untuk disumpah, dikasih formulir, dan masing-masing penduduk mengisi sendiri berapa luasan tanah dan rumahnya, untuk dibangunkan kembali oleh pihak yang berinfaq.

Jadi sumpah itu dilaksanakan karena tidak ada cara untuk mengukur secara teknis dan obyektif. Sebenarnya setiap korban lumpur bisa memanipulasi data tanah dan rumahnya. Dan itu potensial sangat merugikan pihak yang bersedekah akan membiayai pembangunan rumah-rumah mereka. Hanya saja mereka tidak berani melakukannya karena upacara sumpah yang saya selenggarakan berlangsung sangat khusyuk dan serius. Memang sempat ada sebagian yang terlanjur melakukan riba, mengkorupsi dengan cara menambahi luasan tanah dan rumahnya, tetapi kemudian atas keinsyafan sendiri mereka meminta formulir lagi untuk diisi apa adanya.

Seluruh pergaulan saya dengan Gus Ud menampakkan ke mata kepala saya berbagai fadhilah, karamah dan keterpenuhan janji Allah secara ajaib, Sementara proses penanganan korban lumpur memberikan pelajaran kepada saya tentang betapa manusia pasti akan dihadang oleh kehancuran kalau ia menempuh hidupnya dengan jahalah, ammarah bis-su` dan hasad atau kedengkian.

Para pelaku jahalah, ammarah bis-su` dan hasad ini adalah orang-orang hebat dari kalangan kelas menengah, dengan institusi kapitalistiknya yang berlabelkan keswadayaan dan social charity, kemudian media-media massa tertentu, sejumlah tokoh, dan sedikit dari kalangan korban luimpur sendiri yang mengeksploitasi keadaan. Saya punya catatan lumayan detail mengenai kehancuran mereka. Dari yang pupus kariernya, terbakar pabriknya, bangkrut perusahaannya, bubar kaluarganya, ada Direktur Perusahaan yang melorot jadi karyawan pom bensin, ada yang usaha perumahannya diterpa sunyi senyap, bahkan sampai tingkat Malaikat Izrail mengambil nyawanya.

Sebagian korban lumpur yang beristiqamah dengan kejujuran, ketabahan dan kesabarannya, sangat bisa mendalami firman Allah ini:

قَالُواْ بَلَىٰ وَرَبِّنَاۚ قَالَ فَذُوقُواْ ٱلۡعَذَابَ بِمَا كُنتُمۡ تَكۡفُرُونَ

“Sungguh benar, demi Tuhan kami”. Berfirman Allah: “Karena itu rasakanlah azab ini, disebabkan kamu mengingkarinya).”

Saya diseret masuk ke urusan lumpur tidak untuk menjadi mediator, sebagaimana hampir semua kasus dan konflik di muka bumi ini ditangani dengan metode-metode mediasi.

Dalam pertemuan dengan perwakilan korban lumpur di Rumah Makan “Kendi”, saya menegaskan bahwa saya bukan mediator. Saya bukan bekerja untuk mentabayyunkan dua pihak. Saya bukan pegawai Perusahaan Bakri Group. Saya bukan petugas LSM atau NGO. Saya bukan ASN. Saya juga bukan penduduk Sidoarjo. Sejatinya saya tidak berdosa apa-apa andaikan saya menolak amanah itu dan kelon saja di rumah dengan istri dan bercengkerama dengan anak-anak saya.

Tetapi kalau memang saya dipojokkan di suatu sudut kewajiban yang saya harus melakukan sesuatu, “yaj’al lahu makhrajan”, maka semua pihak harus menjadi satu jamaah dan patuh kepada saya sebagai Imamnya. Semua korban lumpur, semua bagian dari Pemerintah yang terlibat, Nirwan Bakri dengan semua stafnya, harus berbaris bershaf-shaf di belakang saya. Yang diperkenankan Allah bukan hanya “yaj’al lahu makhrajan”, tapi juga “yarzuqhu min haitsu la yahtasib” sampai hitungan kelipatan 3, 5, 6 kali lipat harga asli tanah dan rumahnya.

Ada seorang aktivis di Yogya yang saya pegang lehernya dan akan saya cekik karena dia mendoakan semoga Bakri bangkrut. Tahun-tahun itu saya mendoakan yang sebaliknya, semoga Alllah melancarkan rizki Bakri, karena dia bersedia memenuhi rayuan saya untuk mengeluarkan uang hampir 11 triliun rupiah untuk membiayai pembangunan rumah 13.256 KK korban lumpur, meskipun secara resmi hukum mereka tidak bersalah. Jadi ribuan rumah yang terbangun itu bukan ganti rugi, bahkan juga bukan ganti untung. Itu 100% rahmat Allah Fattah Halim melalui tangan mulia Nirwan Bakri. Bukan Aburizal Bakri atau lainnya.

“Jahalah, ammarah bis-su` dan hasad Sidoarjo itu sedemikian rupa merupakan salah satu puncak fitnah dalam sejarah hidup saya. Ada sekitar 34 institusi yang ammarah-nya bis-su`i. yang memfitnah saya di milis-milis internet tetapi dengan jahalah. Sampai-sampai Bu Novia Kolopaking nglurug langsung ke Sidoarjo, menyewa Rumah Makan Porong dari jam 09.00 pagi hingga 17.00 sore dan mengundang semua yang melontarkan tuduhan-tuduhan kepada saya. Sebab kalau memang saya yang bersalah, Bu Novialah di dunia ini yang paling berkepentingan dan berhak menghajar saya.

Dan tak seorang pun yang datang untuk membuktikan tanggung jawab tuduhannya. Itu pelajaran semester hampir akhir bagi saya tentang kepengecutan manusia, terutama yang terpelajar dan modern-modern. Semeter terakhirnya adalah ketika kemudian menyebar media sosial atau sosmed, dari Twitter hingga Youtube. Tetapi saya bersyukur tidak ada yang datang memenuhi undangan Bu Novia. Sebab ternyata yang berama-ramai datang ke Restoran Porong adalah sekitar 3.000 penduduk korban lumpur. Kalau sampai mereka menjumpar para pemfitnah, penghasut dan ahalul ammarah bis-su` itu, mustahil saya dan Bu Novia membentengi mereka dari kemungkinan hajaran sampai matèk lèdhèh.

Bahkan saya tidak punya argumentasi untuk membantah bahwa yang terjadi adalah pernyataan Allah

إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بِ‍َٔايَٰتِ ٱللَّهِ لَهُمۡ عَذَابٞ شَدِيدٞۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٞ ذُو ٱنتِقَامٍ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa dalam memberikan balasan siksa.”

Sampai hari ini saya bersama semua penghuni Gua Kahfi Kadipiro tetap siap menadahi seluruh kemungkinan cliwikan atau grojogan dialektika kasus ini di Rumah Maiyah Kadipiro.

Lainnya

Tak Usah Kau Minta Maaf

Tak Usah Kau Minta Maaf

Siapa sajakah dalam pemahaman berdasarkan pengalaman hidup kita “golongan yang berbondong-bondong menuju neraka, ila jahannama zumaro” sementara ada “golongan lain yang berduyun-duyun ke gerbang sorga, ilal jannati zumaro”?

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version