Kembali ke Huma Berhati
Kemiskinan atau kemelaratan atau ketidakberdayaan ekonomi pastilah merupakan suatu hal yang tidak perlu dibanggakan, diromantisir atau apalagi didendami. Bahkan Nabi Muhammad Saw, tangan kanan konglomerat Siti Khadijah, membagi-bagi kekayaannya untuk modal dan infrastruktur penduduk Madinah sebelum beliau berhijrah dari Mekah. Artinya, dari orang kaya, Nabi seakan-akan memiskinkan dirinya. Secara teknis ekonomi memang benar-benar miskin, bahkan Nabi sering tidak bisa makan sampai mengganjal perutnya dengan batu. Beliau memakai satu pakaian, satu pakaian lainnya dicuci dan satunya lagi di almari. Beliau ngesol sepatunya sendiri, menjahit tambalan pakaiannya sendiri.
Tetapi karena kaya dan miskin itu memuat beragam-ragam parameternya, dan tidak terbatas ekonomi saja, maka saya pakai ungkapan “Nabi seakan-akan memiskinkan dirinya”. Definisi atau tanda paling mendekati fakta miskin adalah kalau seseorang lebih cenderung meminta dibanding memberi, atau lebih cenderung minta dikasihani dibanding mengasihi. Biasanya juga dipakai kamar-kamar pada manusia: ada orang miskin harta tapi kaya jiwa, atau sebaliknya: kaya harta tapi miskin jiwa. Rasulullah kaya raya jiwa raga dan harta, yang menyebarkannya ke banyak orang tanpa minta dikembalikan atau apalagi mempersyaratkan bunga atas pinjaman itu. Rasulullah memberikannya, bukan meminjami mereka.
Untuk sampai pada pemahaman yang tepat dan penerapan yang proporsional hal kaya dan miskin, manusia memerlukan landasan, kelengkapan, kebulatan, komprehensi dan dialektika nilai, pengetahuan dan ilmu tentang betapa luasnya dimensi-dimensi hakikat kehidupan. Kalau manusia terjebak dalam perangkap materialisme, tidak mampu mentransendensi tipudaya keduniaan, apalagi kalau itu terjadi pada masyarakat dan pemerintah suatu negara, maka bangsanya akan sampai ke jurang kehancuran, minimal keterpurukan, atau sekurang-kurangnya kebingungan mengolah masa depan.
Komunitas Dipowinatan, Dinasti dan KiaiKanjeng, saya bersama mereka puluhan tahun, rata-rata tak ada yang berasal dari keluarga kaya, untuk tidak mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang miskin. Di antara mereka, yang setelah berproses lama akhirnya menjadi manusia yang terbaik, saleh, dan lazim disebut “husnul khatimah”, bahkan paling berprestasi secara “profesional” berdasarkan tugas-tugas sosial budayanya — adalah justru yang berasal dari keluarga yang paling miskin, yang levelnya terbawah dari stratifikasi sosial ekonomi masyarakat. Bukan lantas bisa diasumsikan bahwa miskin membuat baik dan kaya membuat manusia jadi buruk. Tetapi ketepatan nilai yang diberlakukan di lingkaran kelurga, masyarakat dan negaralah yang mementukan su` atau husn seseorang atau suatu kelompok pada akhirnya.
Umbu Landu Paranggi guru puisi Malioboro kami semua adalah seorang Raja yang legowo meninggalkan singgasana dan otoritasnya, tanpa membawa harta benda apapun dari kekayaan kerajaannya. Rakyatnya sampai hari ini meyakini bahwa Sang Raja sering pulang dan duduk di singgasananya, meskipun beliau selalu berada di Bali dan dulu di Yogya. Bahkan permaisuri dan putra-putrinya selalu merasakan dan mengalami kehadiran Bapak mereka sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu.
Hanya sesekali saja kalau darurat Sang Raja ini nongol di pelabuhan untuk mengambil seekor kuda di tengah lalu lintas perdagangan kuda dari pulaunya ke Jawa. Orang sufi sejati ini sama sekali tidak memikirkan dirinya, eksistensinya, kariernya, masa depannya atau apapun yang bermuara pada kepentingan duniawinya, apalagi jabatan Raja dan singgasana Kerajaannya. Masyarakat dan Kerajaannya sudah nyawiji ajur-ajer dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka sejak ia berhijrah ke Yogya dari Sumba, fokus kehidupannya adalah menemani proses pencerdasan hidup kaum muda yang melingkar di sekitarnya. Sejak 1968 sampai hari ini. Tak ada seserpih pun ia “menitipkan nasib”nya sendiri kepada siapa dan apapun saja.
Sejak 1970 itu ia sudah mewanti-wanti bangsanya agar merenungkan ulang dan ulang:
Apa ada angin di Jakarta
Seperti di lepas desa Melati
Apa cintaku bisa lagi cari
Akar bukit Wonosari
Ia pun sudah mengerti keterpencilan pilihannya, keterpinggiran perjuangannya:
Yang diam di dasar jiwaku
Terlempar jauh ke sudut kota
Kenangkanlah juga yang celaka
Orang usiran kota raya
Tetapi tetap ia menjalankan kewajibannya untuk menunjukkan “shirathal mustaqim” masa depan generasi demi generasi bangsanya:
Pulanglah ke desa
Membangun esok hari
Kembali ke huma berhati
Tetapi tak mungkinlah ada di antara stakeholders Negeri yang ia cintai sepenuh hidupnya ini yang berpikir, baik untuk dirinya, apalagi untuk masyarakatnya, untuk “pulang ke desa”. Apalagi mencari dan merenungkan apa maksudnya “huma berhati”, di tengah riuh rendah kemewahan dan sakit jiwa globalisasi ini.