CakNun.com
Kebon (134 dari 241)

Eternat-Eternit, Onloan-Onlain

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit
Ilustrasi: Adin.

Saya mengalami masa kanak-kanak Menturo yang penuh keindahan alam dan harmoni budaya. Masa menjelang remaja Gontor yang sangat dinamis di mana pintu terbuka lebar antara bumi dengan langit. Masa remaja dan muda Yogya yang mengembarakan saya di sabana ijtihad, alif-ba-ta kasyaf makrifat, padang kreativitas yang merambah ke cakrawala. Kemudian belajar dewasa Yogya miniatur Indonesia di mana harapan bersemai-semai, Pancasila masih wangi, gemah ripah loh jinawi masih menggetarkan jiwa, dan baldatun thayibatun wa Rabbun Ghafur menjadi bagian dari kenikmatan iman dan masa depan.

Kemudian ngunduri tuwo. Bau busuk mulai menyebar. Pohon-pohon kebenaran dan kebaikan layu menguning daun-daunnya. Kebudayaan mengering. Peradaban tanah longsor. Manusia luntur jadi hewan-plus. Siluman merajalela. Kemunafikan dan kekufuran menjarah dunia pendidikan, kemasyarakatan dan politik kekuasaan. Makhluk “ahsanu taqwin” karya Allah Swt mengubah dirinya menjadi “asfala safilin”. Serba memuakkan. Menjijikkan. Kemènyèk. Kemethak. Kemampleng. Temabok. Sangat merangsang adrenalin untuk mbatek ilate dan nafsu untuk nguntir gulune.

Ketika Gus Dur jadi Presiden, ketemu dengan serombongan orang Madura yang menyatakan: “Saya bangunkan gedung untuk PKB Gus. Lengkap fasilitasnya, kecuali eternit-nya yang saya ‘dak paham”. Memang awal 2000-an adalah era ummat manusia mulai “eternat-eternit, onloan-onlain”.

Di tahun-tahun usia tua saya itu muncul teknologi tinggi menyediakan alat-alat yang luar biasa canggih untuk mengakomodasi keburukan-keburukan mental dan moral manusia. Diproduksi alat-alat komunikasi yang membuat manusia bisa melampiaskan kejahatan akhlaqnya, kepengecutan mentalnya, kecengengan sikapnya, kebrutalan hatinya. Dan seluruh kebusukan itu terlindungi tanpa ada regulasi atau sistem kontrol yang bisa mengendalikan, meskipun Negara dan Adikuasa.

Saya sudah mengenal dan terbiasa dengan “jalan sunyi” sejak masa kanak-kanak saya hingga dewasa. Tetapi di dekade ketuaan saya “jalan sunyi” itu ekstrem dan radikal menimpa saya. Pilihan-pilihan hidup saya, terutama yang berkaitan dengan pengenalan saya terhadap “iradah” dan “amr”-nya Tuhan, serta harkat dan martabat kemanusiaan, rata-rata bertentangan dengan masyarakat umum. Terutama dengan mainstream Globalisasi. Yang orang banyak bersorak-sorak, saya mengkerut. Yang orang banyak memuja-muja, saya membencinya. Yang orang banyak menjunjungnya, saya menutup hidung karena kebusukannya. Yang orang banyak mengerubunginya, saya menghindarinya. Yang orang banyak mengejar-ngejarnya, saya meninggalkannya. Yang orang banyak tertawa, saya diam seribu bahasa. Yang orang banyak memilih, saya membuangnya di dalam hati saya. Yang orang banyak mengaguminya, saya mengutuknya.

Saya menjadi manusia antitesis. Saya menjadi warga kemanusiaan yang antagonistik terhadap sangat banyak hal. Saya sangat mengunci mulut saya dan amat menahan diri untuk mengungkapkan isi hati dan pikiran saya yang sebenarnya. Kebanyakan masyarakat tidak mengerti apa yang sebenarnya termuat di dalam jiwa saya tentang dunia, tentang Indonesia dan banyak hal lagi.

Maqam “jalan sunyi” itu membuat saya sangat kesepian. Saya tahu keberadaan saya tidak diikhlasi oleh banyak pihak dalam Negara, Pemerintahan, masyarakat, serta mungkin yang lebih mikro dari itu. Itu semua merupakan tekanan yang sangat berat bagi jiwa saya, dan sangat potensial untuk berakibat buruk terhadap kesehatan tubuh saya. Tetapi saya sehat walafiat sampai detik ini. Saya tidak pernah secara khusus melaporkan kesunyian hidup saya kepada Allah, karena Ia toh Maha Tahu segala-galanya.

أَوَ لَا يَعۡلَمُونَ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعۡلِنُونَ

Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan?

Teknologi baru yang saya sebut di atas muncul sebagai raksasa baru penindas kemanusiaan saya. Kebanyakan orang mungkin malah menikmatinya, tetapi saya tersiksa seperti Rahwana ditindih gunung. Atau mungkin saja saya memang Rahwana yang durhaka. Dan para koruptor, eksploitator dan manipulator yang mendapat kemudahan luar biasa dari teknologi itu, mungkin justru adalah Begawan Kapiwara alias Hanoman, yang menimpakan gunung itu untuk menindih saya.

Saya punya argumentasi lengkap andaikan memilih menjadi radikalis. Minimal revolusioner. Tetapi atas beribu pertimbangan, saya menahan diri. Semuanya itu meletakkan saya dalam ketidakberdayaan yang serius dan berat. Dalam globalisasi teknologi itu saya berposisi tidak berdaya.

Yang paling tersiksa dan menderita oleh itu semua adalah istri dan anak-anak saya. Para pengguna teknologi tinggi yang mengeksploitasi saya itu sangat potensial untuk merusak rumah tangga saya dan menciptakan kekeruhan terus-menerus dalam atmosfer keluarga saya.

Dikepung oleh aplikasi-aplikasi teknologi itu sehari-hari telinga saya diributi oleh suara-suara yang melebihi hak bersuaranya para Nabi. Bahkan yang berkuasa bersikap melebihi kekuasaan Tuhan. Pada saat yang sama mereka melarang “kekerasan”, justru tatkala mereka melakukan kekerasan intelektual dan psikologis kepada Tuhan, Nabi-Nabi dan rakyatnya sendiri.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَرۡفَعُوٓاْ أَصۡوَٰتَكُمۡ فَوۡقَ صَوۡتِ ٱلنَّبِيِّ
وَلَا تَجۡهَرُواْ لَهُۥ بِٱلۡقَوۡلِ كَجَهۡرِ بَعۡضِكُمۡ لِبَعۡضٍ
أَن تَحۡبَطَ أَعۡمَٰلُكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تَشۡعُرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.”

Tetapi terhadap itu semua yang muncul di pikiran saya adalah Pernyataan Ketidakberdayaan. Kalau xaman kasus lumpur Sidoarjo dulu fitnah-fitnah online kepada saya, bisa jelas pelakunya. Sehingga Mbak Novia bisa langsung ke Sidoarjo men-tabayyun-i atau melabrak kalau diperlukan. Tetapi ini urusannya dengan siluman-siluman online. Negara dan lembaga apapun tidak mampu memberikan perlindungan.

Andaikan nama dan wajah saya serta Maiyah bisa dihapus total dari munculan teknologi tinggi itu, mungkin durasi pengadilan kepada saya di akhirat kelak menjadi tidak bertele-tele. Sekarang ini sejauh-jauhnya saya hanya memimpikan Malaikat Isrofil meniupkan terompet raksasanya sehingga “shoihatan wahidatan” dari langit itu meledakkan server-server atau sekalian seluruh Silicon Valley diluluh-lantakkan. Tetapi itu kan “halu”, kata anak-anak milenial. Menurut alam pikiran modern Allah kan bukan Dzat Yang Maha Radikal.

Ada satu sisi saya sangat bersyukur karena salah satu posisi saya adalah menjadi alat atau bahan bagi banyak orang untuk mencari keuntungan. Para pedagang manipulasi atas saya bisa memperoleh puluhan juta, bahkan ratusan juta Rupiah secara rutin. Kata-kata saya, wajah saya, acara-acara saya dijual untuk mengeruk keuntungan materiil, sekaligus mencari laba fitnah dan adu domba. Saya sendiri tidak mendapatkan laba dunia apa-apa. Dan tidak meminta. Sepanjang hidup saya tidak mengejar-ngejar keuntungan dunia. Perjalanan saya adalah berhijrah dari dunia ke akhirat.

Tapi meskipun demikian, di bawah tindihan gunung teknologi digital dan online ini, saya sungguh-sungguh tidak berdaya. Namun itu tidak mengurangi iman saya kepada keadilan Allah. Jangan disangka saya kehabisan kesabaran untuk menyusuri “min haitsu la yahtasib”-nya Allah. Pun jangan ada yang berpikir bahwa saya akan pernah menyerah oleh itu semua.

Lainnya

Pernyataan Yang Mengerikan

Pernyataan Yang Mengerikan

Sejak ketika usia 4 tahun saya mulai disuruh qiro`ah di depan umum, diajari oleh Ibu saya paket “Wa biHi nasta’inu ‘ala umurid dunya wad din”.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
“Jleb!” dan Berlindung pada Bayi

Jleb!” dan Berlindung pada Bayi

Maka Nevi, komunitas Dipowinatan, Kelompok Karawitan Dinasti dan KiaiKanjeng, sekadar “diperjalankan di malam hari”.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version