CakNun.com

Warahmatullahi Wa’adzabuh

Corona, 70
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit

Sekitar dua dekade terakhir ini kita mengeluh semakin banyak rahmat Allah yang menjadi adzab dalam kehidupan kita, meskipun memang demikian salah satu kemungkinan yang muncul dari malpraktik peradaban ummat manusia.

Gula dan rasa manis adalah konsumsi sehari-hari sejak berabad-abad silam, yang membuat minuman jadi enak dan membangun energi fisik. Bahkan Yogya semua makanan serba manis, termasuk gudeg. Tapi sudah cukup lama bertahun-tahun belakangan ini gula menjadi ancaman. Bahkan menjadi nama jenis sakit: sakit gula. Bersamaan dengan itu kita adalah bangsa pemakan nasi. Dulu waktu kanak-kanak saya tantang-tantangan untuk “gelut” atau berantem, kalimatnya “Ayo, podo-podo mangan segone, anggitmu gak wani ta aku...”

Sekarang makan nasi juga sampai batas ukuran tertentu menyebabkan sakit gula. Untung ada tradisi budaya penangkalnya secara tradisional: “poso”, “poso mutih”, atau berbagai jenis “tirakat”. Garam juga bikin darah tinggi. Konsumsi-konsumsi pokok manusia yang merupakan pengawal peradaban berabad-abad, sekarang menjadi ancaman.

Rokok kretek ditemukan untuk keperluan pengobatan, sekarang menjadi barang yang paling dikutuk dan dilarang. Akhirnya tak hanya gula, nasi, garam, rokok, sekarang yang baik-baik menjadi buruk, bahkan yang wajib-wajib menjadi haram. Belajar di kelas, jual-beli di warung, pengajian, kebaktian di Gereja, Jumatan,Taraweh bersama, Shalat Ied, bahkan silaturahmi, bersalaman tangan menjadi syubhat dan bahaya sehingga berposisi haram.

Sampai entah berapa lama, semua yang dulu merupakan rahmat dan kenikmatan, sekarang menjadi bala`, “tahdid” (ancaman) atau mushibah atau bahkan juga bisa dimaknai sebagai adzab. “Dan Kami tidaklah menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (An-Nahl). Manusia mendhalimi dirinya sendiri. Dan kalau Allah membiarkan semua atau sebagian manusia atau tidak melindunginya dari peradaban pendhaliman atas diri sendiri, apakah logikanya itu bukan adzab.

Mestinya sistem sosial, ideologi, negara, kebudayaan dan peradaban adalah proses transformasi mengubah “warahmatullah” menjadi “wabarakatuh.” Mengaplikasikan rahmat menjadi wujud berkah. Sekarang dunia memasuki situasi darurat di mana rahmat Allah menjadi “wa’adzabuh.” Semua karena ulah manusia sendiri.

Dan Kami tidaklah menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu adzab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (Hud).

Oleh karena itu salah satu tema pembelajaran terpenting Sinau Bareng Jamaah Maiyah adalah kehati-hatian dan kewaspadaan yang sangat ketat terhadap ilmu atau kepandaian, kekuasaan atau kehebatan, kesaktian atau keampuhan diri — agar jangan sampai menjadi “sesembahan” hidup kita, sebagaimana para ilmuwan akademisi meyakini parameter ilmiah akademis adalah satu-satunya kebenaran, sebagaimana para penguasa yang percaya bahwa mereka benar-benar berkuasa. Jamaah Maiyah selalu memperbaharui kesadaran tentang ilmu paling mendasar dalam kehidupan: “la haula wa la quwwata illa billah”, “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”. Dunia modern dan pelaku peradaban paling mutakhir sudah sangat terang-benderang terpeleset oleh pengetahuan yang licin itu dengan tradisi mungguh dan takabburnya.

Sekarang seluruh ilmuwan dunia didera situasi kelabakan oleh Covid-19. Dan yakinlah bahwa hampir tak ada satu pun di antara mereka yang kembali ke kesadaran dasar “la haula wa la quwwata illa billah”, “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” itu. Di Lab-lab canggih dan mahal para ilmuwan sibuk ber-ijtihad dan ber-tajribah untuk mencari vaksin Corona. Ada ikhitiar mRNA-1273 dari Moderna, Ad5-nCoV dari CanSino Biologics, ChAdOx1 dari University of Oxford, BNT162 dari Pfizer dan BioNTech, INO-4800 dari Inovio Pharmaceuicals, Vaksin dari Novavax, Vaksin dari CureVac, Ii-Key peptide COVID-19 dari Generex Biotechnology, Oral recombinant COVID-19 vaccine dari Vaxart, Self-amplifying RNA vaccine dari Imperial College London, Plant-based COVID-19 vaccine dari Medicago, DNA-based vaccine for COVID-19 dari Takis Biotech, Vaksin dari Johnson & Johnson dan BARDA, Intranasal COVID-19 vaccine dari Altimmune. Para ilmuwan di mana saja, Amerika Serikat, China sendiri, Rusia, Australia, Inggris, bahkan di Kotegede.

Itu pun masih harus dibingkai oleh administrasi kekuasaan untuk menetapkan legal tidaknya sebuah hasil penelitian, masih “benere dewe”. Seorang Dokter mengatakan kepada saya, “dalam keadaan darurat seperti ini segala jenis penelitian yang berniat baik dan apalagi menghasilkan efektivitas penyembuhan bagi pasien Covid-19 mestinya diizinkan dan dibuka lebar”. Sebagaimana orang melakukan shalat, yang mengesahkan shalatnya biar Allah dan realitas hidupnya, bukan administrasi ulama, madzhab dan aliran kekuasaan atas suatu ilmu dan perilaku.

Tetapi batas akal sehat peradaban manusia belum sanggup membuka pintu itu. Mereka harus pegang ketat dan penuh disiplin batas yang mereka temukan, ketahui dan pahami. Sama dengan dokter atau rumah sakit tidak boleh membeli PCR sendiri, kecuali siap ditangkap karena melakukan sesuatu yang ilegal inkonstitusional. Besok-besok Malaikat Izrail harus punya SPN (Serfitikat Pencabutan Nyawa) warganegara dari Pemerintah Pusat. Tidak kebetulan Wakil Presiden kita diambilkan dari tokoh Ulama bahkan mantan Ketua MUI, sebenarnya itu diperlukan untuk menyusun teks sertifikasi untuk Malaikat Izrail. Kalau tidak, Izrail ditangkap POLSEK, POLRES atau POLDA bahkan MABES POLRI sekalian kalau diperlukan. Jadi siapa saja yang sewaktu-waktu didatangi oleh Malaikat Izrail, jangan mau dulu diambil nyawamu sebelum kau minta dari Malaikat Izrail lembar SPN-nya dari Pemerintah Pusat.

Memang kecenderungan manusia sangat tinggi untuk menjadikan dirinya sendiri, termasuk ilmu, pengetahuan dan kekuasaannya sebagai sesembahan yang dituhankan. Kita pikir dulu Fir’aun menuhankan dirinya sendiri memberi pelajaran bahwa kekuasaan itu berbahaya bagi manusia, “tend to corrupt”, berkuasa bisa menyebabkan ia melakukan korupsi. Tidak terbatas hanya pada maling uang dan anggaran. Tapi ternyata juga bisa korupsi ilmu, pengetahuan dengan legacy-nya. Kekuasaan dikorupsi menjadi penuhanan. Ternyata faktanya sekarang tidak hanya kekuasan, tapi juga kepandaian, kehebatan, bahkan kemasyhuran. Makanya Sinau Bareng Jamaah Maiyah selalu mengasah ingatan bahwa semua itu — kekuasaan, kepandaian, kehebatan, keterkenalan dll — tidak laku di hadapan Allah Swt. Balik ke “la haula wa la quwwata illa billah”.

Kembali ke “bahtsul ‘ilmi”, pencarian ilmu, “taharrul ‘irfan”, penelitian, pelacakan pengetahuan, “tajribah”, percobaan, atau secara keseluruhan kita sebut “ijtihad”, perjuangan akal pikiran, menurut Dokter yang saya sebut di atas, NKRI hanya punya tiga (3) Laboratorium yang memenuhi syarat untuk mekanisme penelitian Vaksin Corona. Tidak mungkin seorang dokter ilmuwan melakukan penelitian sendiri tanpa ada Lab yang memenuhi syarat. Meskipun ada etos kerja dan semangat meneliti yang mencukupi dari para Ulul Abshar kita, tetapi tidak ada “habitat” untuk melakukannya. Kalau para penderita trauma Corona, baik yang terjangkit atau belum atau tidak, memerlukan pengetahuan agak pasti tentang vaksin itu, paling cepat menunggu sampai September 2020.

Untuk Jamaah Maiyah, sambil menunggu para pejuang ilmu menghasilkannya, sementara saya sarankan memperbanyak rengeng-rengeng tembang “Turi-turi Putih”. Memperlakukan informasi dari Sunan Giri itu tidak hanya secara estetik, tapi juga menelusurinya sebagai pengetahuan dan ilmu. Maupun juga sebagai “hidayah” pada posisi “min haitsu la yahtasib”. Atau minimal memperbanyak makan pecel yang ada kembang Turinya, atau menjadikannya lalapan sehari-hari.

Tolong jangan terpengaruh oleh tafsir baku selama berabad-abad bahwa “putih” adalah kain kafan. Itu hak tafsir. Puncak kesadaran kehidupan adalah kematian. Tetapi kematian adalah kehidupan. *****

Lainnya

Exit mobile version