Tujuh Langit Manusia Jawa
Dalam forum persembahan kepada Allah swt tujuh hari wafatnya Dalang Ki Seno Nugroho, saya dianugerahi pemandangan tentang Tujuh Langit, melalui pengalaman, kata, idiom, spektrum, perspektif dan hidayah-pandang manusia Jawa.
Dalam cara dan jarak pandang Langit Pertama, yang dipahami oleh mayoritas ummat manusia sampai abad 21 ini: manusia itu debu kecil di Spektrum Tujuh Langit yang luasnya tak terkukur dan tak terjangkau. Tetapi di dalam pengertian “dzat” Khaliq dan kemakhlukan, Tujuh Langit itu berada di dalam jagat batin setiap manusia.
Langit Pertama itu Kasat atau Nadhar atau Luar atau Njaba atau Katon atau lazim disebut Materi dan Materialisme.
Materi dan Materialisme adalah pasal pertama yang dikhalifahi oleh manusia dengan bekal Khalaq atau daya ubah atau ikhtiar atau daya olah atau kreativitas. Hewan memakan rumput dan daun, manusia mengolahnya menjadi sayuran, sebagaimana padi diberaskan kemudian dinasikan dan diolah menjadi bermacam-macam pewujudan baru. Serta segala bahan materiil di tangan kreatif manusia.
Sejak awal Manusia sudah mengandung Langit Ketiga di dalam diri kemakhlukannya, tetapi kalau tidak mampu mengambil keputusan atas skala prioritas olah kemanusiaannya, maka ummat manusia akan terjebak dan keserimpet di antara Langit Pertama dan Langit Kedua: yakni peradaban dan ideologi materialisme yang dibangun dengan peralatan kapitalisme.
Manusia yang Pendidikannya sejak bayi belajar mengetahui dan menyadari Langit Ketiga atau Langit Batin atau Dunia Dalam atau Ruh atau Rohaniah, kehidupannya akan terbangun berdasarkan kemenyatuan dan keseimbangan antara Luar dan Dalam, Dunia dan Akhirat, makrokosmis dan mikrokosmos, sangkan paraning dumadi. Burung saja bisa membangun Susuh atau rumahnya, maka bukan keistimewaan kalau manusia mampu bikin rumah dan Gedung-gedung. Tetapi keistimewaan manusia adalah memiliki alat atau cara untuk mengerti posisi dan koordinat “Susuh”nya dalam alur atau peta sangkan paraning dumadi. Manusia mengerti rumah sejatinya di sorga, menyadari bumi dan dunia tempat pengembaraan atau “outbond” sementaranya, serta berjuang untuk “mudik” ke kampung halaman sejatinya yakni Jannatun-Na’im.
Keistimewaan makhluk manusia itu disediakan oleh Sang Pencipta di Langit Keempat. Di dalamnya ada ilmu hingga ngelmu, ada kata dan bahasa, ada deskripsi dan kognisi, ada peta perjalanan, ada pangkal dan ujung yang keduanya adalah titik yang sama.
Dengan fasilitas itu di Langit Kelima manusia ditugasi untuk tajmil atau memperindah kehidupan dengan batu bata kebenaran dan semen kebaikan, atau “mamayu hayuning bawana”. Dititipi “rahmatan lil’alamin”.
Dan itu semua pada Langit Keenam tidak ada alternatif lain kecuali manusia mempersembahkannya kepada Maha Sangkan Paran, Ilaihi roji’un. Sehingga setiap titik, garis, bidang dan ruang, setiap benda, peristiwa dan pengalaman, diilmui oleh manusia sebagai manifestasi dari kemenyatuan konsep Dunia dan Akhirat sekaligus. Itu satu-satunya jalan untuk menjalani kehidupan di arus dinamis “Inna lillahi wa inna ilaiHi roji’un”.
Jika kehidupan pribadi dan keluarga, interaksi sosial, bangunan kebudayaan dan suluk peradaban dijalani oleh manusia secara eskalatif dari Langit Pertama sampai ke Langit Keenam, muncullah “kun fayakun” perkenan Allah untuk nyawiji atau menyatu atau manunggal atau bertauhid dan mentauhid dengan-Nya di Langit Ketujuh.
Itulah Ilmu dan pengetahuan yang diijtihadi oleh Maiyah bersama semua jaringan masyarakat Al-Mutahabbina Fillah untuk memahami dan menjalani eskalasi suluk perjalanan untuk membangun Islam dan menemukan “Silmi”, yang himpunan tetesan-tetesannya menjadi Telaga Haudl atau Al-Kautsar, yang Ki Dalang Seno Nugroho sudah mencelupkan kedua kakinya di tepian genangan airnya.