CakNun.com

Tarekat Nurcholishy

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit

Kita boleh curiga kepada kimia tanah dan air sumur di Jombang Selatan yang dulu membesarkan Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, serta Asmuni “An-Diweky”. Pasti terdapat kandungan zat tertentu yang aneh di sana yang mendorong the three crazy boys ini rajin menyodorkan hil-hil yang mustahal.

Kemah Islam dan bagian tertentu dari Indonesia dibikin riuh rendah oleh banyak hal bermutu yang dilontarkan oleh golongan khawasy ini. Kita heboh dengan “Tak ada Tuhan selain Tuhan”-nya Cak Nur, “salam selamat pagi”-nya Cak Dur; tetapi kita lupa dengan lemparan persoalan yang lebih sosial-kontekstual, seperti ketika Cak Ni, aktor yang mumpuni ini, mengungkapkan parodi: “Orang kaya kok salah? ‘Ndak bisa! ‘Ndak bisa!”

Atmosfer sejarah tertentu membuat akal sehat kita semakin tak memiliki rangkapan-rangkapan, sehingga mutiara Asmuni itu buram di mata kita. Cuaca yang sama tidak memungkinkan kita memperdebatkan secara terbuka kontroversi sepak terjang politik seorang tokoh NU seperti Gus Dur, sehingga kita tumpahkan kepengapan hati dengan cara memaki cipratan-cipratan ludah tak penting darinya. Juga ketidakbiasaan kita untuk berepot-repot dengan pikiran, memojokkan kita untuk menggerundali Cak Nur: What the hell pembaruan pemikiran Islam? Pembaruan Mbahmu! “Mbok ya jangan model-model,” ucap A.R. Fakhruddin, kepala rombongan Muhammadiyah.

Seperti juga Muhammadiyah yang tak merasa dirinya mujaddid — meski itu amat ditekankan dalam pelajaran Kemuhammadiyahan — Cak Nur juga tidak melihat dirinya sebagai pembaru. Benar. Ajaran Islam kok diperbarui!

Cak Nur menyebut apa yang ia lakukan selama ini tak lebih sebagai penyegaran pemahaman. Saya sendiri menyaksikannya – secara agak bombas—sebagai semacam muazin sejarah. Cak Nur berazan, tidak dalam arti fiqih, tapi dalam kerangka muamalah. Tidak ada yang baru dari izi azan: yang berbeda “hanya” cara berazan.

Ia memproses suatu “teaterikalisasi azan”, sehingga telinga kita selalu segar atau gatal. Cak Nur mempribumisasikan “seni azan” — setidaknya demikian niatnya. Kalau sesekali Anda undang Asmuni untuk kasih pengajian, bisa dipastikan azan-sosialnya akan membumi sekali: pakai slendro atau pelog. Tetapi kita mafhum, seni azan Cak Nur itu diaransir berdasarkan laras doremifasol.

Dengan metodologi (Barat) doremifasol itu Cak Nur percaya agar ia tak menjadi Guru Muslim yang sekadar mewarisi substansi dari kitab suci dan sunah Nabi. Cak Nur tidak melihat bahwa Quran, Sunah, Islam itu sendiri adalah metodologi, adalah cara berpikir, adalah kerangka filsafat, logika, model persepsi. Islam memandang dunia, kehidupan, serta dirinya sendiri secara Islam. Kepribumian bukanlah Arab atau Indonesia: tanpa saya menafikan keniscayaan “kultur lokal”. Kepribumian adalah Islam itu sendiri, yang merupakan kata kerja dan proses pencarian. Kepribumian adalah Islam itu sendiri, karena setiap Muslim selalu merintis untuk berdomisili di rumah Islam.

Maka, ketika penyegaran pemahaman itu ia maksudkan “bagaimana merelevansikan ajaran Islam dengan kehidupan nyata yang terus berkembang, agar sesuai dengan perkembangan masyarakat”, saya tak yakin itu berarti suatu anggapan bahwa Islam tidak mampu relevan karena diri (ajaran)-nya sendiri. “Mustahal” seorang pakar Islam berpendapat demikian. Mustahil pula kalau ia tak membedakan “merelevansikan ajaran Islam” dengan “mencari relevansi ajaran Islam”.

Karena itu — sesuai dengan ratusan anjuran Allah — sebaiknya kita memperlakukan lontaran para the crazy boys itu tidak dalam kerangka “budaya fatwa”, melainkan dalam budaya pencarian, budaya kreativitas. Sehingga, kita tak perlu merasa bahwa Islam dan Tuhan sedang “dikudeta” oleh arek-arek gendheng dari Jombang itu.

Agar “main bingung-bingungan” antara Cak-Cak pakar itu dan kaum awam — seperti diakui Cak Nur — bisa sedikit kendur: bolehlah sesekali kita tak memandang sebelah mata terhadap model “metodologi Asmuni”. Saya kira untuk menjadi Muslim yang baik, dan “masuk surga”, tak selalu harus terlebih dahulu menjadi berilmu setaraf dan secara Cak Nur.

Afalaa ta’qilun, “apakah engkau tak berpikir”, tentulah utama dalam Islam. Tetapi itu tidak harus mengacu kepada metodologi keilmuan Barat. Juga tak dilarang untuk “mBarat”. Ia bukan tidak benar, tapi juga bukan satu-satunya kebenaran.

Karena itu, alangkah penting the crazy boys tersebut untuk dinamika kehidupan kaum Muslimin. Mereka jangan sampai bungkam, kecuali apabila bungkamnya merupakan pernyataan tersendiri.

Mereka mengajak kita terus berdzikir: ingat segala hal yang perlu kita ingat. Ingat bahwa selalu banyak hal yang kita butuh mempertanyakan. Ingat bahwa kesempurnaan iman harus dipelihara oleh akal yang terus menggeliat-geliat. Ingat bahwa ber-Islam itu seperti hidup itu sendiri: bernapas, bergerak, berdialektika. Ingat bahwa setiap hari kita butuh sadar kembali, berikrar kembali, bersyahadat kembali, bersaksi kembali atas segala tantangan yang akal kita haram untuk buta terhadapnya.

Ber-Islam itu berproses. Menempuh shirath — jalan. Melalui dan mencari cara: tarekat. Dan “Tarekat Nurcholishy” barangkali merupakan satu model tarekat fenomenal yang dibutuhkan oleh zaman semacam ini — yang ramuan nilai dan persoalannya amat khas. Kenapa mesti abatsa wa tawalla, bermuka masam dan berpaling?

Mari terus dengarkan ia berazan: sangat khas dan cemerlang, bukan? Ia mengumandangkan Islam secara Indonesia, ia mendendangkan Indonesia secara Islam, sampai batas antara keduanya sedemikian transparan. Ia menjelaskan kemodernan dan Islam sampai tak bisa dibedakan lagi. Dalam meneropong berdimensi-dimensi soal manusia abad ini — proses dehumanisasi, masyarakat industrial, proses-proses politik, dan apa saja — ia adalah sinar ronsen yang ketajamannya amat lembut.

Saya sendiri, ketika berumur 11 tahun, pernah sekali menginap di rumah Cak Nur, dan disuguhi segelas jamu oleh ibunda beliau yang santun. Dewasa ini saya sedang menanti apa reaksi “perut” saya atas jamu sekularisasi Cak Nur, meski istilah itu sudah dibatalkannya. Yang jelas, azan-azan beliau saya dengarkan seperti mendengar suara lembut seorang kekasih.


Dokumentasi Progress. Tulisan dimuat pada Majalah Tempo, 3 Oktober 1987.

Lainnya

Masyarakat Tumpeng Raya

Masyarakat Tumpeng Raya

Makin memuncak tumpeng, makin tergambar proses sublimasi kesadaran dan perilaku manusia menuju puncak, yang inti, yang tersaing, yang kristal.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Debirokratisasi Pendidikan

Debirokratisasi Pendidikan

Salah satu persoalan nasional yang akan (dan sebaiknya direkayasa untuk) menjadi isu nasional adalah masalah pendidikan.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version