Rasio Musibah dan Sunnah ‘Aqliyah
Ketika suatu sore saya berkunjung ke rumah Gus Mus (KH. Ahmad Mustofa Bisri), datang salah seorang kolega Gus Mus dalam keadaan tidak sehat. Di tengah obrolan tamu kita ini mengeluh bahwa ia sedang dalam penanganan Dokter untuk mengelola sakitnya menuju kesembuhan. “Tetapi sebenarnya saya kurang mantap dan sedikit kurang percaya kepada ilmu Kedokteran modern”. Lantas ia meminta pendapat saya.
Wallahu a’ lam benar atau salah, tepat atau meleset, ketika itu saya spontan menjawab: “Menurut saya, Panjenengan jalani saja. Yang utama dari Dokter yang menangani keadaan Sampeyan adalah atensi, kasih sayang dan iktikad baiknya untuk berikhtiar mengantarkan Panjenengan ke arah kesembuhan. Soal metode kedokteran modern, sama saja dengan metode lain yang tradisional atau yang alternatif dan kreatif. Posisinya tetap hanya ikhtiar. Allah sendiri pada akhirnya yang menentukan sembuh tidaknya kita. Sebab kita juga tidak sakit kecuali atas izin Allah. Semoga penghormatan Penjenengan kepada niat baik Dokter membuat Allah mengapresiasi sikap silaturahmi Panjenengan dan membuat-Nya berkenan menyembuhkan Panjenengan”.
Di setiap Maiyahan, ratusan orang membawa ke depan saya botol-botol berisi air dan minta saya mendoakannya. Ada yang untuk keperluan penyembuhan, pelancaran rezeki, ketenangan hidup, kerukunan keluarga dan macam-macam lagi.
Selalu saya jelaskan kepada khalayak bahwa tiupan saya atas air itu tidak mengandung kekuatan atau memuat kesaktian apa pun, juga tidak karena saya tiup lantas Allah mengabulkannya. “La haula wa la quwwata wala syifa`a wala rahmata wala barokata illa billah”. Rasionya jelas. Kesembuhan, ketenangan, kelancaran, kebahagiaan dan apa pun saja semata-mata milik Allah.
Hanya saja, karena kesulitan menjelaskan, terkadang saya berkelakar tapi sungguh-sungguh: “Allah dan para Malaikat menyaksikan bahwa kita se-lapangan ini saling mencintai karena Allah, saling memperkuat satu sama lain, saling mendoakan yang terbaik. Sehingga mungkin hal itu menyebabkan Allah tidak tega untuk tidak mengabulkan permohonan semua Jamaah Maiyah yang membawa air itu”. Tiup air di Maiyahan itu bukan kebenaran ilmiah, bukan kebenaran spiritual dan bukan kebenaran dalam ranah dan konteks apa pun. “Al-haqqu min Rabbika”, kebenaran semata-mata berasal dari Allah, sehingga memang hanya ada di tangan kaperkasaan Allah.
Maka saya tidak mendikotomikan, mempolarisasikan atau memperbandingkan, membenarkan atau menyalahkan metode kesehatan apa pun. Baik yang dari Negara paling modern maupun yang dari suku terasing di hutan rimba. Saya sendiri juga sedang dalam proses perawatan sejumlah Dokter yang menyayangi saya, di Yogya dan Tulungagung. Sebagaimana respons kepada Tamunya Gus Mus di atas, yang saya utamakan adalah penghormatan dan rasa syukur saya bahwa rekan-rekan Dokter modern itu “care” kepada hidup saya. Soal diagnosa atau terapi yang ditimpakan kepada saya oleh para Dokter, bisa saya bantah, tetapi bantahan saya juga berposisi sama relatifnya dengan yang saya bantah.
Allah menjelentrehkan masalahnya: “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. Sangat jelas bahwa tidak menimpa apa pun kepada kita kecuali atas izin Allah. Bahkan di Maiyah kita mengesksplorasi beberapa kemungkinan di sekitarnya. Ada “izin”, berarti inisiatornya belum tentu Tuhan. Ada “perintah”, berarti memang Allah sendiri yang menghendakinya. Juga “ujian” atau “cobaan”, subjeknya adalah Allah sendiri. Memang rumit untuk mengidentifikasi dengan presisi ilmu pengetahuan: kalau kita sakit, itu salah kita sendiri dan Allah mengizinkannya atau membiarkannya, ataukah memang Allah yang melimpahkan sakit kepada kita. Itulah sebabnya setiap manusia perlu setiap saat melatih dan mengasah kedekatan komunikasinya dengan Allah.
Tapi dalam ayat di atas, perhatikan solusi yang ditawarkan oleh Allah. Kalimatnya adalah “dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya”, bukan “dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan menyembuhkannya”. Kesembuhan itu lokal, parsial, fakultatif dan eksklusif. Petunjuk atau hidayah itu universal, tanpa batas, inklusif apa aja, termasuk kemungkinan untuk sembuh. Oleh karena itu selama era Corona, shalat kita bukan terutama “mohon penjagaan dan kesembuhan”, melainkan “mohon petunjuk, panduan, tuntunan, bimbingan”. “Ya Rahman Ya Rahim, Ya Hadi Ya Mubin”.
Imanensi atau keniscayaan rasio semacam itulah mungkin yang menseyogyakan setiap keluarga dan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan Negara sangat perlu memproses “sunnah ‘aqliyah” atau tradisi intelektual, atau keteguhan penggunaan akal pikiran — kepada rakyatnya. Kalau tradisi urusan-urusan besar kita dalam menjalankan proses ber-Negara, ber-Demokrasi, ber-Pemilu dan Pilpres tidak mengaktivasikan “tradisi intelektual” — semoga sekurang-kurangnya dalam kehidupan sehari-hari, berkeluarga, bersosialisasi, bebrayan dan silaturahmi — jangan sampai terlepas dari “sunnah ‘aqliyah”. ***