CakNun.com

Profesor Doktor Jalan Ramai

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

Saya mensyukuri, mengucapkan dan merayakan hari ini sebagai pengeling hari kelahiran Sabrang, pukul 06.10 pagi di Klinik AL seberang Kraton Pakualaman Yogya Minggu pagi 10 Juni 1979. Jam-jam sebelumnya, malam Minggu saya membaca puisi di Diskotik Hotel Ambarukmo. Tentu saja peristiwa itu absurd karena mengawinkan dua dunia yang sangat berjauhan dan sangat berbeda landasan maupun gol nilai-nilainya.

Di era akhir 1970-an diskotik sangat marak di Yogya. Ia adalah ujung tombak budaya pop hura-hura. Diskotik adalah icon kaum muda modern pada periode itu, sementara puisi adalah “jalan sunyi” yang sangat tersembunyi. Bayangkan saya ditugasi untuk bikin jembatan antara dua dunia yang hampir tidak ada bahan persambungan dan perjodohannya, selain bahwa pelakunya sama-sama manusia.

Di masyarakat penyair Malioboro, salah satu tanda kenaikan tingkat seorang pejalan syair adalah kalau sesudah begadang semalaman bersama Umbu di Malioboro, ia pulang ke daerah selatan tidak berjalan kaki melewati jalan besar protokol kondang yang bernama Malioboro, wajahnya kota Yogyakarta. Melainkan ndlesep masuk ke gang-gang dari Pasar Kembang ke selatan atau dari Jalan Perwakilan sebelah timur. Komunitas Umbu punya suatu romantisme bahwa Malioboro adalah “jalan ramai”. Kalau warga penyair Malioboro balik ke kost di kampungnya lewat gang-gang, berarti ia sudah mulai menikmati “jalan sunyi”.

Sabrang adalah anak yang lahir di “jalan sunyi” tetapi ia harus bergelut dan menguasai bahasa dan budaya “diskotik” dan “jalan ramai”. Infrastruktur sejarah kelahiran Sabrang jelas “jalan sunyi”, tetapi ternyata kemudian harus memanggul tugas dan beban “jalan ramai”. Berkah Allah kepada Sabrang bukan kuliah di Al-Azhar Cairo kemudian jadi saingan Ustadz UAS bergelar Ustadz SMDP, melainkan menjadi ujung tombak Letto. Itu jelas “jalan ramai”, beda dengan KiaiKanjeng yang sunyi pol.

Ketika dia balita hingga SMP dia juga tidak terlatih seperti “jalan sunyi” yang saya lalui di desa anak tiri Menturo, rumah Pak Carik Gontor, kemudian “Pondok Nggon Kotor”, Kadipaten dan Patangpuluhan. Yang dialami Sabrang tidak terlalu kondusif untuk benar-benar menempuh masa depan di “jalan sunyi”. Ia tidak terlatih untuk cuci pakaian sendiri, tahan pegang korek api atau memompa ban sepeda. Sabrang tidak pernah mengalami Dapur-C di Gontor yang masak sendiri, sesekali ngutil tempe di warung Dapur-B, mandi mandiri di rumah orang desa Bani Miran atau Bani Gudel.

Sabrang anak milenial. Ilmu dan pengetahuannya milenial. Dia fisikawan dan matematikawan dengan kelengkapan komprehensif kosmologis. Semesta dan cakrawala pengetahuannya seribu kali lipat dibanding pengetahuan Bapaknya. Daya analisisnya jauh melampaui kakak-kakak apalagi bapak generasinya. Kejelian makrifatnya terhadap realitas bumi sama sekali tidak bisa ditandingi tidak hanya oleh generasi tua, bahkan pun tidak juga oleh yang segenerasi dengannya.

Sabrang adalah profesor doktor lulusan jalan sunyi yang sekarang harus menguasai bahasa dan strategi sosialisasi masa depan di arena diskotik globalisasi dan jalan ramai old maupun new normal dunia pasca Covid-19. Di Maiyah Sabrang bisa menjawab sangat banyak hal yang Bapaknya tidak bisa menjawab. Sabrang tidak hanya punya “kalkulator zaman” untuk mengolah masa depan Maiyah, tapi juga hari depan Indonesia dan seluruh ummat manusia di dunia.

Dia harus berlatih sangat keras untuk menguasai sistem komunikasi dan pengelolaan Abad 21 hingga ke depan. Tahap “tapa ngrame” sudah dilalui selama Maiyah, sekarang dia harus menemukan cara untuk terjun ke medan perang. Dia harus menandingi Bapaknya soal kerajinan dan ketelatenan. Bangsa dan Negaranya Sabrang tidak memiliki penghulu untuk menempuh masa depan, dan selalu ngawur menempuhnya. Para Marja’ Maiyah kita harapkan turut memacu Sabrang agar iman dan islamnya meng-ihsan di proses Indonesia dan dunia ke masa depan. Sabrang sudah lumayan “pinter langit”, sekarang harus berproses memastikan dia juga “pinter bumi”. Sebagaimana Maiyah sudah berlatih “pinter akhirat” tapi belum kunjung “pinter dunia”. Mestinya Sabrang adalah bagian dari tim Maiyah yang memandu proses menutupi lubang kekurangan dan kelemahan Maiyah itu.

Lainnya

Domba Zaman Serigala Sejarah

Domba Zaman Serigala Sejarah

“Sehingga tak satupun yang bukan serigala.
250 juta domba Nusantara tak mengerti itu semua.” (Tetes, #SGKN201901, 10 – Domba dan Serigala)

Dua ratus luma puluh juta, bukan jumlah domba yang sedikit.

Redaksi
Redaksi
Exit mobile version