Ngono Yo Ngono Nanging Ojo Ngono
Setiap orang hari ini memang dianjurkan atau diseyogyakan untuk membangun sendiri di dalam hati dan pikirannya kesadaran lockdown atas hidupnya, disuruh atau tidak oleh pihak manapun. Kenapa? Bukan karena supaya ia selamat dari kemungkinan tertular Coronavirus di pasar, sekolahan, terminal, mal, stadion, kantor atau tempat kerumunan manapun. Melainkan sebaliknya, agar ia bisa menghindari dari kemungkinan mencelakakan siapapun saja yang ia bertemu dengannya, melalui penularan Coronavirus.
Semoga Tuhan lebih menyayangi hamba-Nya yang lebih mementingkan keselamatan orang lain daripada mengutamakan dirinya sendiri. Hampir setiap orang memang menegakkan keyakinan dan tawakkal dalam hati dan pikirannya: “Ke manapun saya pergi, karena life must go on, bismillah saya berlindung kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang dari segala macam marabahaya terutama virus Corona”. Harapan dan doanya mesti ditambah “semoga kehadiranku di manapun tidak mencelakakan siapapun”.
Kalau kita yakin bahwa Allah mengabulkan, maka kita keluar ke mana saja kita mau. Kalau kita tidak bisa mengukur apakah doa kita pantas dikabulkan oleh Allah, maka kita tidak ke mana-mana.
Kemudian setelah lewat 14 hari dan ia merasa baik-baik saja. Padahal ia tertular Coronavirus justru pada hari ke 14 itu, entah dari dan lewat mana atau siapa. Dan masa inkubasi Corona memaksa dia untuk menunggu lagi 14 hari lagi dalam ketidak-tahuan. Jadi sebenarnya berapa kali 14 hari harus dijalani oleh setiap orang untuk benar-benar bersih dari Corona?
Ketika tahap inkubasi belum sampai pada hari di mana penderitanya mulai mengetahui ia terpapar atau tidak, tidak seorang pun tahu apakah ia akan menulari atau tertular, karena semua dan setiap orang merasa baik-baik saja.
Betapa lemahnya manusia dan betapa kerdil ilmu pengetahuannya. Itulah sebabnya muncul logika bahwa salah satu opsi keselamatan manusia adalah mungkin bersumber pada kerendah-hatian dan rasa tahu dirinya di hadapan Tuhan. Itu pun tak bisa dipastikan, sebab bisa saja Allah justru mengakhiri hidup seseorang melalui Corona, demi menyelematkannya dari peluang untuk lebih banyak berbuat dosa.
Sedemikian nisbi ilmu kita dan tidak menentu pengetahuan kita tentang nasib maupun takdir, sehingga bisa diasumsikan bahwa letak keselamatan manusia adalah pada hubungan baiknya dengan Tuhan. Kalaupun tidak diselamatkan oleh Allah dari Corona di dunia, semoga itu karena Ia menyelamatkannya di Akhirat. Definisi kehidupan manusia sangat jelas: Wallahu a’ lamu bis-shawab. Dan hanya Allah yang benar-benar mengerti kebenaran tentang apapun saja.
Maka dimuliakanlah oleh Allah swt nenek moyang bangsa Jawa yang mengajari anak cucunya suatu pedoman hidup yang sederhana bunyinya namun mencakrawala maknanya: “Ngono yo ngono nanging ojo ngono”. Manusia harus mempertanyakan kembali dan terus-menerus apa saja dari kehidupan ini yang ia merasa tahu, yang mungkin ia “sok tahu” atau “rumangsa bisa”, sehingga diubah dengan sikap mengistiqamahi “bisa rumangsa”. “Asa an tukrihu syai`an wa huwa khairul lakum wa ‘ asa an tuhibbu syai`an wa huwa syarrun lakum”. Apa yang kau pikir itu buruk bagimu bisa jadi itu yang baik, dan apa yang kau sangka baik bisa jadi itu yang berbahaya bagimu.
Ummat manusia di seluruh dunia dipojokkan oleh Coronavirus. Ada yang lantas mendekat ke Tuhan, ada yang sembrono dan lalai, ada yang tetap sombong, ada yang bingung dan menantikan nasib saja. Coronavirus adalah masalah medis, tapi bisa juga lebih luas dari itu, meskipun amat complicated untuk menghitung presisinya. Ia juga masalah logika, cara dan keputusan berpikir, menguji bagaimana Sekolah dan Universitas menyediakan ilmu pengetahuan tentang itu. Mungkin ia juga masalah silaturahmi vertikal, ranah spiritual dan relijius. Bahkan bisa merupakan masalah akidah dan akhlak. Terserah setiap orang memilih wilayah penghayatannya.
Setiap orang, setiap keluarga, setiap kumpulan manusia, ada baiknya mempertimbangkan kembali setiap langkah dan keputusannya: “Ngono yo ngono, nanging ojo ngono”. Gitu ya gitu, tapi belum tentu gitu lho. Benar ya benar, tapi mungkin belum tentu benar lho. Mantap ya mantap, tapi siapa tahu lebih baik agak ragu sedikit. Keraguan bisa lawan katanya keyakinan, tapi bisa juga berarti kehati-hatian. Bahkan keyakinan kalau over-dosis bisa bermakna kesembronoan.