Lingsem dan Bangkai
Suatu kelompok tokoh pecinta bangsa Indonesia berkumpul dan merencanakan suatu deklarasi yang temanya adalah “menyelamatkan Indonesia”. Dalam waktu dekat mereka berkumpul mematangkan aspirasinya, seminggu berikutnya akan tampil di depan publik untuk mendeklarasikan urgensi penyelamatan bangsa Indonesia.
Beliau-beliau itu mengajak saya bergabung, bahkan diminta untuk membacakan teks deklarasi itu sebagai salah seorang yang mereka sebut “sentral figur”. Pasti sepenuhnya saya menghormati dan mendukung segala upaya untuk kemashlahatan bangsa Indonesia, sebagaimana demikianlah yang saya jalani hingga usia tua sekarang ini bersama dengan semua anak cucu saya Maiyah.
Kalau memakai idiom Al-Qur`an, segala kebaikan dalam kehidupan manusia disebut “syajaratin thayyibatin”, pohon yang baik. Dan pohon menjadi pohon yang baik tergantung tiga hal. Pertama, kebenaran dan ketepatan benihnya. Kedua, kompatibilitas tanahnya. Ketiga, dukungan cuaca dan atmosfirnya.
Benih “menyelamatkan Indonesia” pasti lahir dari asumsi atau kesimpulan (qath’i atau dhanni) bahwa Negeri ini sedang berjalan atau sedang menjalani ketidakselamatan, atau setidaknya menuju jurang kehancuran. Ya politiknya, ya demokrasinya, ya manajemennya, ya kepemimpinannya, ya kedaulatannya, ya perekonomiannya, ya masyarakat dan rakyatnya.
Sabrang pernah mengatakan kepada saya “Indonesia ini tidak berjalan ke manapun kecuali menuju kehancurannya”. Dan Sabrang adalah marja’ pengetahuan dan ilmu saya karena ia lebih actual, lebih lengkap eksplorasi dan risetnya, serta lebih utuh pertimbangan-pertimbangannya atas keadaan kehidupan di wilayah apapun dan manapun. Maka saya tidak punya rujukan untuk membantah aspirasi tentang “menyelamatkan Indonesia”.
Tetapi itu tidak berarti saya akan mematuhi atau memenuhi ajakan Bapak-Bapak Penyelamat Indonesia itu, karena sangat banyak faktor lainnya yang wajib diperhitungkan. Istilah “sentral figur” untuk saya mengandung kesalahan mutlak, karena puluhan tahun saya adalah “marginal figur”. Tidak hanya dari sudut pandang pemetaan NKRI, dari cara pandang ilmu apapun, tetapi juga takdir dari Allah sendiri meletakkan saya sebagai “gharib”, yang terasing, ya “marginal figur” itu. Saya sepenuhnya menjalani sejarah sebagai “alineated person”. Tidak mungkin saya menjadi pejabat Negara. Tidak mungkin saya menempuh karier profesional sebagaimana semua orang boleh menempuhnya dan menjadi. Saya tidak bisa diterima di manapun sebagai apapun, kecuali menampung dan menolong manusia. Tidak seorang bersedia menjadi atasan atau bawahan saya dalam sebuah struktur organisasi. Tidak seorang pun menerima saya sekantor atau seorganisasi dengannya. Hak atau kebolehan atau kewajiban hidup saya hanya satu: menolong dari luar pagar. Saya tidak boleh masuk pagar. Itulah “gharib” namanya.
Kemudian saya agak cemas dan pesimis dengan formula atau metoda “nahi munkar”nya. Yakni: deklarasi. Deklarasi? Pernyataan? Kalau di dalam Islam, levelnya Syahadat. Islam baru men-jadi kalau sesudah syahadat ada shalatnya, ada puasanya, ada zakat dan hajinya. Transformasikan pengertiannya di dalam praksis politik sebuah Negara. Deklarasi atau Syahadat saja bukan hanya tidak cukup, tapi juga sudah akan langsung “lebih besar pasak daripada tiang”. Zaman sedang dikuasai oleh masyarakat belatung: yang lahir dari bangkai, makan dari bangkai, sehingga kebutuhan utamanya adalah membangkaikan siapa saja. Deklarasi akan membuatmu dibangkaikan dan dimakan habis. Bangkai minimal dalam arti karakter, atau yang dikenal sebagai “pembunuhan karakter”. Andaikan para belatung itu punya nyali dan keberanian, pelaku deklarasi benar-benar akan dibunuh secara fisik, kemudian dikrakoti habis.
Saya dan anak cucu saya Maiyah tidak akan bersedia menjadi bangkai, karena juga tidak bersedia memakan bangkai. Maiyah tidak akan “merajuk” dengan ekspresi “aleman” yang pasti tidak efektif, hanya ditertawakan atau malah mungkin dibangkaikan. Tapi Maiyah juga tidak akan “ngebo”, seperti pemain sepakbola yang “nekad” karena ditonton oleh pacarnya. Atau “amuck”, mengamuk dengan ngawur dan kehilangan ukuran. Maiyah mempelajari keadaan dengan hati yang dingin, dengan jiwa yang tenteram, dengan akal yang penuh pertimbangan, keseimbangan dan penyeimbangan. Sudah sejak awal sikap Maiyah sangat terukur terhadap Indonesia, dari sisi dan sudut apapun.
Kemudian saya kemukakan kepada Bapak-bapak itu: Sebagaimana saya pernah alami dengan atau terhadap Pak Harto dalam kasus Kedungombo 1988, saya terbentur oleh budaya dan psikologi Jawa dan terhadap mentalitas “Raja Jawa”. Apa yang dilakukan oleh Bapak-Bapak akan membikin Kepala Pemerintahan kita menjadi “lingsem”, sebagaimana Pak Harto dulu. Lingsem itu semacam dipermalukan, disinggung harga dirinya di depan orang banyak, dan itu bisa mengarah ke “wirang”.
Pengalaman komunikasi dengan kekuasaan itu membuka mata saya terhadap firman Allah di Surat An-Nahl 125 :
ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan perlakuan yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Tidak berarti Bapak-Bapak itu melakukan sesuatu yang tidak baik dengan inisiatif deklarasinya. Kita mengerti relativitas makna baik buruk di antara Agama dan Budaya sering bertentangan. Tetapi bagi psikologi “Raja Jawa”, langkah Bapak-Bapak itu membuatnya lingsem dan wirang. Dan para pengikutnya (Cebong dll) pasti akan mengamuk semena-mena “bila ‘aqlin”. Dan pada prosesnya akan bisa menjadi bumerang, dan akan diupayakan menjadi “menepuk air di dulang terpercik ke muka sendiri”, sebagaimana sudah saya terangkan di atas.
Kemudian, kurang dari sebulan yang lalu saya menyampaikan sejumlah pointers, saran dan rekomendasi yang saya sampaikan ke Istana sebisa mungkin “bilhikmati wal mauidlatil hasanah”. Tentang fakta Covid-19 yang akan rahasia, tentang “Indonesia menyalip dunia di tikungan Corona”, “hard reset NKRI”, “Presiden yang menyejarah karena berkhusnul khatimah” dst. Juga sudah saya/Bapak-Bapak siapkan bagan-bagan teknis strategisnya.
Tetapi ternyata tidak efektif dan belum menjadi mashlahah. Saya tidak memastikan, melainkan mengkhawatirkan bahwa kita sedang berurusan dengan yang Allah swt firmankan juga:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
“Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: Sesungguhnya Bapak-Bapak orang-orang yang mengadakan perbaikan”.
سَوَآءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
“Sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan percaya”.
Meskipun demikian saya tidak mengklaim bahwa:
خَتَمَ ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰٓ أَبْصَٰرِهِمْ غِشَٰوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat”.
Bisa jadi orang lain berpendapat dan meyakini — apalagi dengan habitat dan ekosistem Medsos — bahwa saya dan Bapak-Bapak-lah yang dikunci mati hatinya, ditutup pendengaran dan penglihatannya oleh Allah swt.
Firman-firman Allah bersamaan dan di sekitar itu bertaburan, tetapi saya tidak menikmatinya dengan hati saya menuding-nuding siapapun. Meskipun, sebagaimana wilayah tema yang Bapak-Bapak ungkapkan, saya juga sudah membuat ratusan tulisan di Web caknun.com sejak bertahun-tahun yll. Tetapi hingga saat ini outputnya tetap “sawa`un ‘alaihim”.
Saya berpendapat, mengalami dan meyakini, bahwa kita tidak sedang berada di dalam habitat manusia-Negara yang perubahan-perubahannya bisa dimungkinkan melalui anjuran, saran, rekomendasi, teguran, kritik atau “mauidlah hasanah”. Pengetahuan saya terbentur pada kesimpulan bahwa perubahan hanya mungkin diselenggarakan dengan kekuatan yang memaksakan perubahan. Bahasa Menturonya “dibatek ilate”, atau “ditekek” dan “diancup-ancup ndase ndik kali”. Tetapi yang berhak melakukan itu dalam kebenaran dan ketepatan hanya Allah sendiri saja, dengan “shaihatan wahidatan”, dengan “kun” dalam momentum “kalamhin balbashar”.
Sampai-sampai, karena hanya Allah yang sungguh-sungguh bisa “yughayyiru ma biqaumi Indonesia” ini, saya dikasih lafal doa Malaikat Jibril yang memohonkan kepada Allah perlindungan kepada Nabi kekasih kita Muhammad saw atas ekosistem mental para “Humaqa`” atau para Ahmaq di elite masyarakat:
نَدِعَالِيًّا مَظْهَرَالْأَجٰائِبْ
تَجِدْهُ عَوْنًا لَكَ بِالنَّوَائِب
كُلُّ هَمٍّ وَغَمٍّ سَيَنْجَلْ
بِوِلَايَتِكّ يَاعَالِ يَاعَالِ يَاعَالِ
Saya transfer dan ijazahkan kepada Maiyah untuk mewiridkannya. Dan KiaiKanjeng tadi malam sudah mengaransirnya menjadi sebuah nomor musik. Sungguh tidak mudah menempuh jarak antara keadaan-keadaan yang dialami bangsa Indonesia dan ummat manusia sedunia, dengan “keseyogyaan” yang kita pelajari dari Tuhan Yang Maha Esa ketika Ia menciptakan alam semesta dan manusia hibrida terakhir sejak Nabi Adam ini.
Bersama jutaan anak cucu Maiyah saya sudah lakukan berbagai macam cara dan jalan, kaifiyah, thariqah, riyadlah, wirid, hizib, dari yang ‘amaliyah empiris-lokal, hingga yang intelektual maupun spiritual. Tetapi saya berkesimpulan bahwa modal akhlak dan spiritualitas Bapak-Bapak belum mencukupi untuk layak mendapatkan tuntunan dan pertolongan dari Allah swt dalam hal keadaan bangsa Indonesia.
Apa yang dilakukan oleh Bapak-Bapak itu tentu sangat menggembirakan saya. Tetapi pengalaman saya memberikan pandangan yang berbeda. Maiyah dan saya tidak berhenti ber-ijtihad, ber-istighatsah, ber-isti’anah sampai sekarang dan hingga kapanpun. Tetapi sungguh yang kita hadapi memerlukan hidayah dan pertolongan Allah. Apalagi dibanding seluruh dunia, Indonesia ini “the most weirdest creature in the whole universe”, dari jenis psikologinya, ketangguhan mentalnya, kemalasan berpikirnya, hingga cara mereka memilih Lurah maupun Presiden.
Maka saya mohon izin untuk tidak mungkin memenuhinya. Dan bersama Maiyah saya terus melalukan apa yang selama ini kami lakukan, dengan keyakinan bahwa kemungkinan perubahan hanya “biyadikal khair”, di tangan kebaikan Allah.